Kamis, 12 Desember 2013

Parpol Reduksi Kedaulatan Rakyat

Parpol Reduksi Kedaulatan Rakyat
Sulardi  ;   Dekan Fakultas Hukum Univeritas Muhammadiyah Malang
SINAR HARAPAN,  11 Desember 2013
  


Diskusi kedaulatan merupakan diskusi yang cukup tua. Dari perkembangan peradaban dunia, paling tidak dikenal ada empat kedaulatan, yakni kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara (beberapa literatur menyebutnya kedaulatan raja), kedaulatan hukum, dan kedaulatan rakyat.

Masing masing kedaulatan itu mempunyai masa jaya dan diterima sebagai panutan dalam bernegara. Teori kedaulatan Tuhan diterima dan berjaya cukup lama, yakni 10 abad, dari abad ke-5 sampai dengan ke-15. Masa ini dikenal sebagai abad kegelapan. Masa yang tidak memungkinkan perdebatan, terutama tentang kekuasaan yang dijalankan negara atau gereja sewaktu itu.

Semua warga masyarakat mempunyai kesadaran yang sama, yang terjadi di dunia merupakan kehendak Tuhan. Oleh sebab itu, keberadaan raja dan kekuasaan yang melekat di dalamnya tidak perlu dipersoalkan. Itu supaya tidak menimbulkan masalah yang justru merugikan masyarakat.

Kedaulatan negara berawal pada masa Renaissance dan setelahnya. Itu saat ditemukan literatur dari zaman Yunani Kuno, yakni pikiran rasional yang dikemukakan Aristoteles pada abad ke-5 sebelum masehi (SM). Seorang pelopor gagasan kedaulatan negara adalah Jean Bodin. Paham kedaulatan negara memberikan arti kekuasaan itu asli dimiliki negara, tidak berasal dari mana pun.

Hanya negara yang mempunyai kekuasaan. Bahkan, kekuasaan itu tersentral pada negara, tidak terbagi vertikal atau horizontal. Kekuasaan negara eksistensinya kekal. Ini identik keberadaan negara. Kedaulatan negara menjadi pijakan bagi terselenggaranya kekuasaan yang absolut. Penguasa pada zaman ini tidak bertanggung jawab kepada siapa pun.

Pemahaman kedaulatan negara tersebut mendapat pertentangan yang cukup sengit dari Krabbe. Ini dengan dasar argumentasi bahwa sesungguhnya di atas negara masih ada “sesuatu” yang lebih tinggi, yakni hukum.

Itu karena pada dasarnya negara tunduk pada hukum. Inilah yang menjadi landasan berpikir bagi penganut teori kedaulatan hukum. Segala hal yang ada di negara itu patuh dan tunduk pada hukum. Andai tidak, ada hukuman bagi yang berani melawan atau melanggarnya.

Kedaulatan rakyat muncul setelah JJ Rousseau, dengan kontruksi kontrak sosialnya, berhasil meyakinkan khalayak bahwa pemilik sekaligus sumber kekuasaan yang ada pada negara itu adalah masyarakat.

Kekuasaan tertinggi yang dimaksud adalah volonte general. Volonte general atau kemauan umum itu yang memunculkan pemahaman bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada rakyat, kini dikenal sebagai kedaulatan rakyat.

Di Indonesia format kedaulatan rakyat dapat ditemukan pada dua tempat. Pertama, pada dasar negara, yakni Pancasila. Itu ada pada sila keempat yang berbunyi, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.

Format kedua ada pada UUD Negara Indonesia. Semangat kedaulatan rakyat diformulasi dalam dua pemahaman. Pemahaman pertama, kedaulatan rakyat berada pada rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Konsekuensi dari pemahaman ini melahirkan lembaga superbodi yang dikenal sebagai lembaga tertinggi negara. Ini dengan dalih sebagai perwujudan masyarakat, sekaligus pelaksana kedaulatan rakyat.

Kekuasaan tertinggi tampak dalam berbagai hal, seperti memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden, meminta pertanggungjawaban, menyusun panduan bagi presiden dan wakil presiden, mengarahkan penyelenggaraan pemerintahan selama satu periode, yang dikenal dengan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Perwujudan lainnya adalah produk kebijakan dan atau regulasi dari lembaga tertinggi. Ini tidak dapat dibatalkan atau diganggu gugat oleh siapa pun, dengan cara apa pun.

Setelah perubahan UUD 1945, pemahaman kedaulatan rakyat diformulasikan menjadi, ”Kedaulatan berada di tangan rakyat, dilaksanakan berdasar UUD”. Perwujudan dari pemahaman ini adalah DPR, DPRD, DPD, dan presiden serta wakil presiden dipilih rakyat. Ini dipahami juga untuk memilih kepala daerah, gubernur, wali kota/bupati yang dilaksanakan oleh rakyat secara langsung.

Kedaulatan Parpol

Kedaulatan rakyat ternyata telah direduksi menjadi kedaulatan partai politik (parpol). Secara sadar, penyelenggara kekuasaan di negara ini menggeser kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan parpol. Itu mulai pemilihan anggota DPR, DPRD, presiden serta wakil presiden, hingga kepala daerah. Penentu awalnya berasal dari parpol.

Tidak ada calon anggota DPR atau DPRD yang dapat dikatakan calon jika belum mendapat restu dari pemimpin parpol. Tidak pernah ada calon gubernur, wali kota/bupati bila belum ada rekomendasi parpol. Demikian pula untuk calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres). Mereka tidak akan bisa mendaftarkan diri sebagai capres ataupun cawapres kepada KPU jika belum direkomendasi pemimpin parpol.

Secara konstitusional, reduksi kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan parpol telah dimuat dalam UUD 1945, pasangan capres dan cawapres diusulkan parpol atau gabungan parpol sebelum pemilihan umum (pemilu) dilaksanakan. Berdasarkan pasal inilah, terjadi awal pergeseran kedaualatan rakyat itu.

Parpol sangat menikmati kedaulatan yang dimilikinya, bahkan kekuasaan parpol tercermin dalam kebijakan anggota DPR dan DPRD yang terkonsentrasi pada fraksi-fraksi yang ada di DPR dan DPRD. Fraksi merupakan corong atau pelaksana kebijakan parpol, induk semangnya. Jadi, DPRD dan DPRD hakikatnya tidak lagi wakil rakyat, tetapi wakil parpol.

Hal tersebut berdampak pada orientasi kerja anggota legislatif yang sangat patuh pada instruksi parpol. Bahkan, anggota DPR dan DPRD telah lupa bahwa mereka dipilih rakyat.

Hal tersebut tercermin dari berpindahnya para anggota DPR/DPRD itu ke lembaga lain, seperti menjadi hakim agung, gubernur, menteri, atau pemimpin lembaga lain. Mereka tidak ada kata minta izin kepada para pemilihnya yang semestinya diwakili. Ini sungguh menunjukkan bahwa mereka, anggota DPR/DPRD yang berpindah profesi, tidak berintegritas dan bermoralitas terpuji.

Sudah saatnya kita mengembalikan dan merebut kembali kedaulatan rakyat. Itu dengan memformulasikan perubahan UUD sedemikian rupa. Jadi, anggota DPR dan DPRD, presiden dan wakil presiden, dan kepala daerah bekerja dan berorientasi kepada rakyat, sebagai wakil mereka dan pemilik kedaulatan di negara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar