Diskusi kedaulatan merupakan diskusi yang cukup tua. Dari
perkembangan peradaban dunia, paling tidak dikenal ada empat kedaulatan,
yakni kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara (beberapa literatur menyebutnya
kedaulatan raja), kedaulatan hukum, dan kedaulatan rakyat.
Masing masing kedaulatan itu mempunyai masa jaya dan
diterima sebagai panutan dalam bernegara. Teori kedaulatan Tuhan diterima
dan berjaya cukup lama, yakni 10 abad, dari abad ke-5 sampai dengan ke-15.
Masa ini dikenal sebagai abad kegelapan. Masa yang tidak memungkinkan
perdebatan, terutama tentang kekuasaan yang dijalankan negara atau gereja
sewaktu itu.
Semua warga masyarakat mempunyai kesadaran yang sama,
yang terjadi di dunia merupakan kehendak Tuhan. Oleh sebab itu, keberadaan
raja dan kekuasaan yang melekat di dalamnya tidak perlu dipersoalkan. Itu
supaya tidak menimbulkan masalah yang justru merugikan masyarakat.
Kedaulatan negara berawal pada masa Renaissance dan
setelahnya. Itu saat ditemukan literatur dari zaman Yunani Kuno, yakni
pikiran rasional yang dikemukakan Aristoteles pada abad ke-5 sebelum masehi
(SM). Seorang pelopor gagasan kedaulatan negara adalah Jean Bodin. Paham
kedaulatan negara memberikan arti kekuasaan itu asli dimiliki negara, tidak
berasal dari mana pun.
Hanya negara yang mempunyai kekuasaan. Bahkan, kekuasaan
itu tersentral pada negara, tidak terbagi vertikal atau horizontal.
Kekuasaan negara eksistensinya kekal. Ini identik keberadaan negara.
Kedaulatan negara menjadi pijakan bagi terselenggaranya kekuasaan yang
absolut. Penguasa pada zaman ini tidak bertanggung jawab kepada siapa pun.
Pemahaman kedaulatan negara tersebut mendapat
pertentangan yang cukup sengit dari Krabbe. Ini dengan dasar argumentasi
bahwa sesungguhnya di atas negara masih ada “sesuatu” yang lebih tinggi,
yakni hukum.
Itu karena pada dasarnya negara tunduk pada hukum.
Inilah yang menjadi landasan berpikir bagi penganut teori kedaulatan hukum.
Segala hal yang ada di negara itu patuh dan tunduk pada hukum. Andai tidak,
ada hukuman bagi yang berani melawan atau melanggarnya.
Kedaulatan rakyat muncul setelah JJ Rousseau, dengan
kontruksi kontrak sosialnya, berhasil meyakinkan khalayak bahwa pemilik
sekaligus sumber kekuasaan yang ada pada negara itu adalah masyarakat.
Kekuasaan tertinggi yang dimaksud adalah volonte
general. Volonte general atau kemauan umum itu yang memunculkan pemahaman
bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada rakyat, kini dikenal sebagai
kedaulatan rakyat.
Di Indonesia format kedaulatan rakyat dapat ditemukan
pada dua tempat. Pertama, pada dasar negara, yakni Pancasila. Itu ada pada
sila keempat yang berbunyi, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Format kedua ada pada UUD Negara Indonesia. Semangat
kedaulatan rakyat diformulasi dalam dua pemahaman. Pemahaman pertama,
kedaulatan rakyat berada pada rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Konsekuensi dari pemahaman ini melahirkan lembaga
superbodi yang dikenal sebagai lembaga tertinggi negara. Ini dengan dalih
sebagai perwujudan masyarakat, sekaligus pelaksana kedaulatan rakyat.
Kekuasaan tertinggi tampak dalam berbagai hal, seperti
memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden, meminta
pertanggungjawaban, menyusun panduan bagi presiden dan wakil presiden,
mengarahkan penyelenggaraan pemerintahan selama satu periode, yang dikenal
dengan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Perwujudan lainnya adalah produk kebijakan dan atau
regulasi dari lembaga tertinggi. Ini tidak dapat dibatalkan atau diganggu
gugat oleh siapa pun, dengan cara apa pun.
Setelah perubahan UUD 1945, pemahaman kedaulatan rakyat
diformulasikan menjadi, ”Kedaulatan berada di tangan rakyat, dilaksanakan
berdasar UUD”. Perwujudan dari pemahaman ini adalah DPR, DPRD, DPD, dan
presiden serta wakil presiden dipilih rakyat. Ini dipahami juga untuk memilih
kepala daerah, gubernur, wali kota/bupati yang dilaksanakan oleh rakyat
secara langsung.
Kedaulatan Parpol
Kedaulatan rakyat ternyata telah direduksi menjadi
kedaulatan partai politik (parpol). Secara sadar, penyelenggara kekuasaan
di negara ini menggeser kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan parpol. Itu
mulai pemilihan anggota DPR, DPRD, presiden serta wakil presiden, hingga
kepala daerah. Penentu awalnya berasal dari parpol.
Tidak ada calon anggota DPR atau DPRD yang dapat
dikatakan calon jika belum mendapat restu dari pemimpin parpol. Tidak
pernah ada calon gubernur, wali kota/bupati bila belum ada rekomendasi
parpol. Demikian pula untuk calon presiden (capres) dan wakil presiden
(cawapres). Mereka tidak akan bisa mendaftarkan diri sebagai capres ataupun
cawapres kepada KPU jika belum direkomendasi pemimpin parpol.
Secara konstitusional, reduksi kedaulatan rakyat menjadi
kedaulatan parpol telah dimuat dalam UUD 1945, pasangan capres dan cawapres
diusulkan parpol atau gabungan parpol sebelum pemilihan umum (pemilu)
dilaksanakan. Berdasarkan pasal inilah, terjadi awal pergeseran kedaualatan
rakyat itu.
Parpol sangat menikmati kedaulatan yang dimilikinya,
bahkan kekuasaan parpol tercermin dalam kebijakan anggota DPR dan DPRD yang
terkonsentrasi pada fraksi-fraksi yang ada di DPR dan DPRD. Fraksi
merupakan corong atau pelaksana kebijakan parpol, induk semangnya. Jadi,
DPRD dan DPRD hakikatnya tidak lagi wakil rakyat, tetapi wakil parpol.
Hal tersebut berdampak pada orientasi kerja anggota
legislatif yang sangat patuh pada instruksi parpol. Bahkan, anggota DPR dan
DPRD telah lupa bahwa mereka dipilih rakyat.
Hal tersebut tercermin dari berpindahnya para anggota
DPR/DPRD itu ke lembaga lain, seperti menjadi hakim agung, gubernur,
menteri, atau pemimpin lembaga lain. Mereka tidak ada kata minta izin
kepada para pemilihnya yang semestinya diwakili. Ini sungguh menunjukkan
bahwa mereka, anggota DPR/DPRD yang berpindah profesi, tidak berintegritas
dan bermoralitas terpuji.
Sudah saatnya kita mengembalikan dan merebut kembali
kedaulatan rakyat. Itu dengan memformulasikan perubahan UUD sedemikian
rupa. Jadi, anggota DPR dan DPRD, presiden dan wakil presiden, dan kepala
daerah bekerja dan berorientasi kepada rakyat, sebagai wakil mereka dan
pemilik kedaulatan di negara ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar