Kamis, 12 Desember 2013

Inspirasi Mandela

Inspirasi Mandela
Benny Susetyo  ;   Pemerhati Sosial
KORAN JAKARTA,  11 Desember 2013

  

Dunia berduka karena karena kehilangan seorang pemimpin besar, Nelson Mandela. Tidak banyak pemimpin dunia yang bisa menjadi inpirasi dan teladan manusia untuk perdamaian dan mengajarkan untuk tidak saling benci. Mandela adalah salah satunya.

Mandela dengan segenap kehidupan dan perjuangannya banyak memberi inspirasi tentang kekuatan, martabat, kepemimpinan, dan keberanian. Mandela mengajarkan tentang kebebasan, persamaan, dan anti penindasan. Pemimpin dunia seperti ini selayaknya menjadi acuan cara membangun dunia yang lebih bermartabat tanpa harus membedakan suku, ras, dan antargolongan.

Semua orang berhak untuk mendapat kebebasan. Ketidakadilan dan penjajahan harus dilawan untuk menegakkan kembali harkat dan martabat. Kekerasan harus dihentikan demi menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Banyak pelajaran lain yang bisa dipetik dari seorang Mandela yang begitu gigih berjuang melawan pembedaan di tengah tekanan dari berbagai sisi. 

Negeri tercinta ini membutuhkan sosok yang ulet dan gigih dalam memperjuangkan bangsa terbebas dari ragam kekerasan dan ketidakadilan. Sosok yang bisa menjadi inspirasi bagi para pemimpin bangsa bahwa harkat dan martabat bangsa merupakan anugerah yang tidak bisa diperjualbelikan.

Mandela adalah tokoh gigih yang memberi arti bagi perdamaian universal dengan selalu menegakkan kebenaran melalui upaya perdamaian sejati. Dia juga menjadi inspirasi makna damai sejati yang bisa ditempuh dengan mau memaafkan penindas.

Dari Mandela, manusia belajar tentang figur seorang pemimpin yang lebih mengutamakan gerakan perdamaian tanpa kekerasan. Mandela menjadi sosok pemimpin yang mampu memberi harapan masa depan bangsanya, dengan memutus tali kekerasan melalui rekonsiliasi.

Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan lagi, bahkan lebih besar jika rekonsiliasi tidak diutamakan sebagai wujud utama perdamaian. Rekonsiliasi adalah sebuah upaya untuk mewujudkan tata dunia yang lebih beradab bahwa perbedaan merupakan sesuatu yang pasti dan seharusnya menjadi jalan kebersamaan. 

Upaya saling menghargai harkat dan martabat sesama di tengah perbedaan suku, agama, ras, dan kelompok menjadi kunci bagi terwujudnya perdamaian sejati. Tidak peduli telah berapa lama dia dipenjara, tapi Mandela tidak pernah mengajarkan dendam. Dalam soal kekuasaan, bangsa Indonesia bisa belajar bahwa kekuasaan tidak identik dengan "aji mumpung" dan keserakahan. Kekuasaan harus dimanfaatkan untuk menegakkan keadilan dan membangun cinta kasih.

Mata Rantai 

Kekerasan demi kekerasan dalam berbagai bentuk yang dipicu dari aneka macam alasan, haruslah diselesaikan secara tuntas dengan membangun rekonsiliasi. Sampai kapan pun perbedaan akan selalu ada, tapi bukan menjadi alasan untuk bertikai. Perbedaan seharusnya justru memperkaya sebuah bangsa demi terwujudnya kemandirian dan harkat martabat bangsa.

Kekerasan sangat dikhawatirkan akan semakin membudaya dan dijadikan sebagai contoh satu-satunya cara memecahkan masalah. Kondisi ini tentu saja amat berbahaya ketika masyarakat menilai bahwa hanya dengan cara kekerasan masalah bisa diatasi. Masyarakat menilai bahwa saluran hukum sudah tidak bisa lagi dipercaya menjadi jembatan mencari keadilan.

Hukum tak lagi memiliki kekuatan untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran masyarakat. Hukum dipercaya berpihak hanya kepada mereka yang memiliki kekuasaan dan harta berlimpah. Hukum bisa dibeli dan diintervensi. Pasal-pasalnya mudah dibengkokkan untuk memihak. Keadilan digadaikan untuk kepentingan pribadi. Pemilik keadilan dalam hukum adalah gerombolan mafia.

Dari itu semua, kekerasan menjadi jalan pintas memecahkan masalah. Saluran komunikasi untuk mendapat keadilan sudah dikuasai mafioso. Budaya kekerasan pun berkembang semakin meluas, baik dalam kehidupan publik maupun privat. Akibatnya rasa aman menjadi barang langka di Nusantara ini. Segala kehidupan bangsa begitu dekat dengan aroma kekerasan.

Karena itulah mata rantai kekerasan harus diputus dengan mengutamakan solusi rekonsiliasi. Kekerasan, kini sudah menjadi motif sebagian perilaku budaya masyarakat hingga kini, merupakan mainstream yang mereduksi tata nilai kepribadian dan memberi kesan betapa iklim solidaritas manusia belum sepenuhnya mampu memiliki kepribadian saling mencintai.

Dalam konteks agama, walaupun wacana pluralisme dan toleransi sudah sering dikemukakan dalam berbagai kesempatan, namun tidak mudah dilaksanakan. Walaupun sudah terdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar agama, melainkan kekuatan bersama, namun pandangan atas "agamaku", "keyakinanku" justru sering menjadi dasar dari berbagai perilaku sehari-hari yang bermuatan kekerasan.

Sekalipun masyarakat menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika, praktik di lapangan sama sekali lain. Masih banyak persoalan keagamaan dan kemasyarakatan di Indonesia yang menghantui dan menghambat terwujudnya solidaritas, soliditas, dan toleransi antar-umat beragama.

Walau sudah sering dinyatakan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang sangat menghargai perbedaan dan tidak menggunakan jalan kekerasan untuk menyelesaikan masalah, namun itu semua di lapangan kerap hanyalah merupakan sebuah kebohongan. Begitu mudahnya menistakan perbedaan dengan cara membakar tempat suci ibadah agama tertentu, menghakimi keyakinan lain sebagai sesat, dan seterusnya. 

Akar masalah dari semua ini adalah kebencian. Kebencian inilah awal mula sektarianisme. Di negeri Pancasila tidak diakui sektarianisme. Tapi kenyataan di lapangan justru semangat sektarianisme dan kebencian itulah yang selalu hidup dan mengobarkan aroma kekerasan.

Persis di titik inilah bangsa Indonesia bisa meneladani Mandela. Dia dengan tegas mengatakan bahwa cinta jauh lebih penting dan alami daripada kebencian. "Tidak ada orang yang lahir untuk membenci orang lain karena warna kulit, latar belakang, atau agamanya. Orang harus belajar untuk membenci, dan jika mereka dapat belajar untuk membenci, mereka juga bisa belajar mencintai karena cinta datang lebih alami ke hati manusia dibanding kebalikannya."

Pembangunan karakter bangsa adalah upaya cita-cita bersama untuk mewujudkan kemanusiaan dan keadilan tanpa kekerasan sebagai alat pemersatu kebangsaan. Kondisi kesenjangan ekonomi, faktor kebijakan, peran dominan mayoritas yang tidak menghargai minoritas, pelecehan terhadap martabat kemanusiaan dan keadilan, membuat manusia mudah frustrasi. Bangsa Indonesia harus selalu ingat ungkapan Mandela "Kebencian itu seperti racun yang bisa menghancurkan diri sendiri."
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar