Dunia berduka karena
karena kehilangan seorang pemimpin besar, Nelson Mandela. Tidak banyak pemimpin
dunia yang bisa menjadi inpirasi dan teladan manusia untuk perdamaian dan
mengajarkan untuk tidak saling benci. Mandela adalah salah satunya.
Mandela dengan segenap kehidupan dan perjuangannya banyak memberi inspirasi
tentang kekuatan, martabat, kepemimpinan, dan keberanian. Mandela
mengajarkan tentang kebebasan, persamaan, dan anti penindasan. Pemimpin
dunia seperti ini selayaknya menjadi acuan cara membangun dunia yang lebih
bermartabat tanpa harus membedakan suku, ras, dan antargolongan.
Semua orang berhak untuk mendapat kebebasan. Ketidakadilan dan penjajahan
harus dilawan untuk menegakkan kembali harkat dan martabat. Kekerasan harus
dihentikan demi menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Banyak pelajaran
lain yang bisa dipetik dari seorang Mandela yang begitu gigih berjuang
melawan pembedaan di tengah tekanan dari berbagai sisi.
Negeri tercinta ini membutuhkan sosok yang ulet dan gigih dalam
memperjuangkan bangsa terbebas dari ragam kekerasan dan ketidakadilan.
Sosok yang bisa menjadi inspirasi bagi para pemimpin bangsa bahwa harkat
dan martabat bangsa merupakan anugerah yang tidak bisa diperjualbelikan.
Mandela adalah tokoh gigih yang memberi arti bagi perdamaian universal
dengan selalu menegakkan kebenaran melalui upaya perdamaian sejati. Dia
juga menjadi inspirasi makna damai sejati yang bisa ditempuh dengan mau
memaafkan penindas.
Dari Mandela, manusia belajar tentang figur seorang pemimpin yang lebih
mengutamakan gerakan perdamaian tanpa kekerasan. Mandela menjadi sosok
pemimpin yang mampu memberi harapan masa depan bangsanya, dengan memutus
tali kekerasan melalui rekonsiliasi.
Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan lagi, bahkan lebih besar jika
rekonsiliasi tidak diutamakan sebagai wujud utama perdamaian. Rekonsiliasi
adalah sebuah upaya untuk mewujudkan tata dunia yang lebih beradab bahwa
perbedaan merupakan sesuatu yang pasti dan seharusnya menjadi jalan
kebersamaan.
Upaya saling menghargai harkat dan martabat sesama di tengah perbedaan
suku, agama, ras, dan kelompok menjadi kunci bagi terwujudnya perdamaian
sejati. Tidak peduli telah berapa lama dia dipenjara, tapi Mandela tidak
pernah mengajarkan dendam. Dalam soal kekuasaan, bangsa Indonesia bisa
belajar bahwa kekuasaan tidak identik dengan "aji mumpung" dan keserakahan.
Kekuasaan harus dimanfaatkan untuk menegakkan keadilan dan membangun cinta
kasih.
Mata Rantai
Kekerasan demi kekerasan dalam berbagai bentuk yang dipicu dari aneka macam
alasan, haruslah diselesaikan secara tuntas dengan membangun rekonsiliasi.
Sampai kapan pun perbedaan akan selalu ada, tapi bukan menjadi alasan untuk
bertikai. Perbedaan seharusnya justru memperkaya sebuah bangsa demi
terwujudnya kemandirian dan harkat martabat bangsa.
Kekerasan sangat dikhawatirkan akan semakin membudaya dan dijadikan sebagai
contoh satu-satunya cara memecahkan masalah. Kondisi ini tentu saja amat
berbahaya ketika masyarakat menilai bahwa hanya dengan cara kekerasan
masalah bisa diatasi. Masyarakat menilai bahwa saluran hukum sudah tidak
bisa lagi dipercaya menjadi jembatan mencari keadilan.
Hukum tak lagi memiliki kekuatan untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran
masyarakat. Hukum dipercaya berpihak hanya kepada mereka yang memiliki
kekuasaan dan harta berlimpah. Hukum bisa dibeli dan diintervensi.
Pasal-pasalnya mudah dibengkokkan untuk memihak. Keadilan digadaikan untuk
kepentingan pribadi. Pemilik keadilan dalam hukum adalah gerombolan mafia.
Dari itu semua, kekerasan menjadi jalan pintas memecahkan masalah. Saluran
komunikasi untuk mendapat keadilan sudah dikuasai mafioso. Budaya kekerasan
pun berkembang semakin meluas, baik dalam kehidupan publik maupun privat.
Akibatnya rasa aman menjadi barang langka di Nusantara ini. Segala
kehidupan bangsa begitu dekat dengan aroma kekerasan.
Karena itulah mata rantai kekerasan harus diputus dengan mengutamakan
solusi rekonsiliasi. Kekerasan, kini sudah menjadi motif sebagian perilaku
budaya masyarakat hingga kini, merupakan mainstream yang mereduksi tata
nilai kepribadian dan memberi kesan betapa iklim solidaritas manusia belum
sepenuhnya mampu memiliki kepribadian saling mencintai.
Dalam konteks agama, walaupun wacana pluralisme dan toleransi sudah sering
dikemukakan dalam berbagai kesempatan, namun tidak mudah dilaksanakan.
Walaupun sudah terdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangun bukan atas
dasar agama, melainkan kekuatan bersama, namun pandangan atas
"agamaku", "keyakinanku" justru sering menjadi dasar
dari berbagai perilaku sehari-hari yang bermuatan kekerasan.
Sekalipun masyarakat menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika,
praktik di lapangan sama sekali lain. Masih banyak persoalan keagamaan dan
kemasyarakatan di Indonesia yang menghantui dan menghambat terwujudnya
solidaritas, soliditas, dan toleransi antar-umat beragama.
Walau sudah sering dinyatakan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang sangat
menghargai perbedaan dan tidak menggunakan jalan kekerasan untuk
menyelesaikan masalah, namun itu semua di lapangan kerap hanyalah merupakan
sebuah kebohongan. Begitu mudahnya menistakan perbedaan dengan cara membakar
tempat suci ibadah agama tertentu, menghakimi keyakinan lain sebagai sesat,
dan seterusnya.
Akar masalah dari semua ini adalah kebencian. Kebencian inilah awal mula
sektarianisme. Di negeri Pancasila tidak diakui sektarianisme. Tapi
kenyataan di lapangan justru semangat sektarianisme dan kebencian itulah
yang selalu hidup dan mengobarkan aroma kekerasan.
Persis di titik inilah bangsa Indonesia bisa meneladani Mandela. Dia dengan
tegas mengatakan bahwa cinta jauh lebih penting dan alami daripada kebencian.
"Tidak ada orang yang lahir
untuk membenci orang lain karena warna kulit, latar belakang, atau
agamanya. Orang harus belajar untuk membenci, dan jika mereka dapat belajar
untuk membenci, mereka juga bisa belajar mencintai karena cinta datang
lebih alami ke hati manusia dibanding kebalikannya."
Pembangunan karakter bangsa adalah upaya cita-cita bersama untuk mewujudkan
kemanusiaan dan keadilan tanpa kekerasan sebagai alat pemersatu kebangsaan.
Kondisi kesenjangan ekonomi, faktor kebijakan, peran dominan mayoritas yang
tidak menghargai minoritas, pelecehan terhadap martabat kemanusiaan dan
keadilan, membuat manusia mudah frustrasi. Bangsa Indonesia harus selalu
ingat ungkapan Mandela "Kebencian
itu seperti racun yang bisa menghancurkan diri sendiri." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar