Kamis, 12 Desember 2013

Di Balik Prahara Singapura

Di Balik Prahara Singapura
Ahmad Sahidah  ;   Dosen Filsafat dan Etika di Universitas Utara Malaysia
JAWA POS,  11 Desember 2013

  

SAYA mengunjungi Singapura kali pertama pada 2005. Setelah mengikuti Kongres Persatuan Pelajar Indonesia di Universitas Teknologi Malaysia Johor, saya bersama kawan karib, Tauran, mampir ke Temasek. Di Terminal Larkin, saya telah merasakan suasana negara bekas jajahan Inggris ini. Para penumpang yang mau menaiki bus tampak antre dengan tertib dan tidak berisik. Tak ada satu pun penumpang yang merokok. 

Setelah sampai di terminal yang tak jauh dari Bugis Junction, kami berjalan kaki ke kawasan Little India. Tiba-tiba, bayangan Singapura yang dikenal bersih agak terganggu. Di sini sampah berserakan. Menariknya, ada layar tancap yang sedang menayangkan film India Tamil. Di daerah tersebut memang banyak pekerja asal selatan India yang mencari nafkah. Kami menginap di sebuah penginapan murah. Tidak hanya sempit, di situ air - yang dibeli dari Malaysia - juga malas mengalir. 

Lalu, untuk kali kedua pada 2010 saya berkunjung ke sana melalui udara. Sebelum pesawat mendarat, saya begitu terpesona dengan kehijauan kota yang dirintis Thomas Stamford Raffles ini. Bandara Changi tak hanya besar dengan pusat perbelanjaan yang megah, tetapi juga bersih dan terawat. Sepanjang jalan menuju penginapan di sekitar Jalan Orchard saya menikmati keasrian kota yang dihiasi dengan pohon-pohon yang tertata apik. Tak ada secuil pun kekumuhan. Sejauh mata memandang, kita merasakan keteduhan taman di mana-mana. 

Namun, saya menemui banyak warga yang merokok di depan Mal Plaza Singapura. Tak hanya itu, saya juga melihat beberapa puntung rokok di pojok halte bus. Negara yang dikenal sebagai Kota Denda (Fine City) ini belakangan tidak lagi garang. Keadaan ini sengaja dibiarkan untuk tidak membuat warganya makin tertekan, mengingat biaya hidup yang kian tinggi. Semacam katup untuk lebih santai menjalani keseharian. 

Prahara 

Namun, suasana aman, tertib, dan damai terkoyak. Sebuah bus yang menabrak pekerja asal India memantik rekan-rekannya untuk berbuat rusuh dua hari lalu. Betapapun pihak keamanan berhasil meredam aksi anarkistis itu dalam dua jam, seperti dilaporkan Kontributor Forbes Asia Jennifer Wells, 39 polisi dan staf pertahanan sipil cedera. Begitu pula 25 mobil, termasuk 16 mobil polisi, rusak atau dibakar. Warga lokal tidak menyangka bahwa negaranya yang dikenal sentosa ini tiba-tiba dilanda prahara. Bayangkan! Seorang pekerja tertabrak bus bisa memicu kerusuhan masal. 

Lui Tuck Yew, menteri transportasi, yang juga wakil rakyat dari kawasan kerusuhan meramalkan bahwa amuk massa bisa jadi dipicu oleh alkohol. Di kawasan ini memang banyak kafé dan warung yang menjual alkohol bagi warga lokal dan pendatang. Tak ayal, ada seruan sebelumnya untuk mengekang konsumsi alkohol di tempat umum. 

Namun, bagi sebuah lembaga nirlaba, Worker Transient Count Too, amuk ini mencerminkan pelampiasan buruh migran yang tertekan. Dengan upah rendah dan suasana kerja yang kotor dan berbahaya, jam kerja panjang, serta gaji rendah, mereka terpapar pada risiko mudah "marah". 

Ditegasi, Dicambuk 

Perdana Menteri Lee Hsien Loong dengan lugas menyatakan bahwa peristiwa tragis itu adalah insiden serius. Anak Lee Kuan Yew ini menyatakan bahwa apa pun pemicu peristiwa tersebut, kekerasan, perusakan, dan kejahatan tidak dibenarkan sama sekali. Tambahnya, bagaimanapun keadaan terkendali dan rakyat diminta tenang. Hebatnya, polisi segera bekerja. 400 orang dan 27 pekerja Asia Selatan ditangkap. Jika terbukti bersalah, buruh migran yang terlibat akan dihukum 7 tahun dan cambuk. 

Pada waktu yang sama Menteri Tenaga Kerja Tan Chuan-Jin menulis di Facebook-nya: Stay calm! Avoid racials comments! Why? Emotions is raw and can stir unintended known-on effects. Tentu, ini bisa dipahami mengingat warga lokal yang berkebangsaan India berjumlah signifikan. Apalagi, sejauh pengamatan saya, mereka sangat patuh pada peraturan. Dalam sebuah kesempatan, saya pernah melihat arak-arakan Thaipusam di jalan raya. Betapapun ini merupakan perayaan agama Hindu, mereka tidak menerobos jalan dan tetap mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Bandingkan dengan di negeri kita. Pawai keagamaan sering mengabaikan tata tertib. 

Sebenarnya, Singapura adalah negara terbuka. Warganya biasa melanglang buana dan menyambut baik kehadiran pelancong dan warga luar. Namun, survei oleh C K Loh (2011) bahwa 62,2 persen responden mencemaskan peningkatan penyakit masyarakat, seperti kejahatan, perjudian, dan prostitusi. Hal ini tecermin di Little India. 

Karena itu, Presiden Tony Tan Keng Yam pernah berujar bahwa batas-batas antara budaya migran dan lokal perlu diperhatikan. Betapapun pekerja asing menyumbang pertumbuhan ekonomi, mereka juga harus menghormati nilai-nilai Singapura dan berintegrasi dengan orang setempat (Siok Kuan Tambyah, 2013: 99). Tentu, sebelum prahara menjadi bara, pesona Temasek yang damai, aman, dan tertib mesti dijaga, berapa pun harganya! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar