SAYA mengunjungi Singapura kali pertama pada 2005.
Setelah mengikuti Kongres Persatuan Pelajar Indonesia di Universitas
Teknologi Malaysia Johor, saya bersama kawan karib, Tauran, mampir ke
Temasek. Di Terminal Larkin, saya telah merasakan suasana negara bekas
jajahan Inggris ini. Para penumpang yang mau menaiki bus tampak antre
dengan tertib dan tidak berisik. Tak ada satu pun penumpang yang merokok.
Setelah sampai di terminal yang tak jauh
dari Bugis Junction, kami berjalan kaki ke kawasan Little India. Tiba-tiba,
bayangan Singapura yang dikenal bersih agak terganggu. Di sini sampah
berserakan. Menariknya, ada layar tancap yang sedang menayangkan film India
Tamil. Di daerah tersebut memang banyak pekerja asal selatan India yang
mencari nafkah. Kami menginap di sebuah penginapan murah. Tidak hanya sempit,
di situ air - yang dibeli dari Malaysia - juga malas mengalir.
Lalu, untuk kali kedua pada 2010 saya
berkunjung ke sana melalui udara. Sebelum pesawat mendarat, saya begitu
terpesona dengan kehijauan kota yang dirintis Thomas Stamford Raffles ini.
Bandara Changi tak hanya besar dengan pusat perbelanjaan yang megah, tetapi
juga bersih dan terawat. Sepanjang jalan menuju penginapan di sekitar Jalan
Orchard saya menikmati keasrian kota yang dihiasi dengan pohon-pohon yang
tertata apik. Tak ada secuil pun kekumuhan. Sejauh mata memandang, kita
merasakan keteduhan taman di mana-mana.
Namun, saya menemui banyak warga yang
merokok di depan Mal Plaza Singapura. Tak hanya itu, saya juga melihat
beberapa puntung rokok di pojok halte bus. Negara yang dikenal sebagai Kota
Denda (Fine City) ini belakangan
tidak lagi garang. Keadaan ini sengaja dibiarkan untuk tidak membuat
warganya makin tertekan, mengingat biaya hidup yang kian tinggi. Semacam
katup untuk lebih santai menjalani keseharian.
Prahara
Namun, suasana aman, tertib, dan damai
terkoyak. Sebuah bus yang menabrak pekerja asal India memantik
rekan-rekannya untuk berbuat rusuh dua hari lalu. Betapapun pihak keamanan
berhasil meredam aksi anarkistis itu dalam dua jam, seperti dilaporkan
Kontributor Forbes Asia Jennifer Wells, 39 polisi dan staf pertahanan sipil
cedera. Begitu pula 25 mobil, termasuk 16 mobil polisi, rusak atau dibakar.
Warga lokal tidak menyangka bahwa negaranya yang dikenal sentosa ini
tiba-tiba dilanda prahara. Bayangkan! Seorang pekerja tertabrak bus bisa
memicu kerusuhan masal.
Lui Tuck Yew, menteri transportasi, yang
juga wakil rakyat dari kawasan kerusuhan meramalkan bahwa amuk massa bisa
jadi dipicu oleh alkohol. Di kawasan ini memang banyak kafé dan warung yang
menjual alkohol bagi warga lokal dan pendatang. Tak ayal, ada seruan
sebelumnya untuk mengekang konsumsi alkohol di tempat umum.
Namun, bagi sebuah lembaga nirlaba, Worker Transient Count Too, amuk ini
mencerminkan pelampiasan buruh migran yang tertekan. Dengan upah rendah dan
suasana kerja yang kotor dan berbahaya, jam kerja panjang, serta gaji
rendah, mereka terpapar pada risiko mudah "marah".
Ditegasi, Dicambuk
Perdana Menteri Lee Hsien Loong dengan lugas
menyatakan bahwa peristiwa tragis itu adalah insiden serius. Anak Lee Kuan
Yew ini menyatakan bahwa apa pun pemicu peristiwa tersebut, kekerasan,
perusakan, dan kejahatan tidak dibenarkan sama sekali. Tambahnya,
bagaimanapun keadaan terkendali dan rakyat diminta tenang. Hebatnya, polisi
segera bekerja. 400 orang dan 27 pekerja Asia Selatan ditangkap. Jika
terbukti bersalah, buruh migran yang terlibat akan dihukum 7 tahun dan
cambuk.
Pada waktu yang sama Menteri Tenaga Kerja
Tan Chuan-Jin menulis di Facebook-nya: Stay
calm! Avoid racials comments! Why? Emotions is raw and can stir unintended
known-on effects. Tentu, ini bisa dipahami mengingat warga lokal yang
berkebangsaan India berjumlah signifikan. Apalagi, sejauh pengamatan saya,
mereka sangat patuh pada peraturan. Dalam sebuah kesempatan, saya pernah
melihat arak-arakan Thaipusam di jalan raya. Betapapun ini merupakan
perayaan agama Hindu, mereka tidak menerobos jalan dan tetap mematuhi
rambu-rambu lalu lintas. Bandingkan dengan di negeri kita. Pawai keagamaan
sering mengabaikan tata tertib.
Sebenarnya, Singapura adalah negara terbuka.
Warganya biasa melanglang buana dan menyambut baik kehadiran pelancong dan
warga luar. Namun, survei oleh C K Loh (2011) bahwa 62,2 persen responden
mencemaskan peningkatan penyakit masyarakat, seperti kejahatan, perjudian,
dan prostitusi. Hal ini tecermin di Little India.
Karena itu, Presiden Tony Tan Keng Yam
pernah berujar bahwa batas-batas antara budaya migran dan lokal perlu
diperhatikan. Betapapun pekerja asing menyumbang pertumbuhan ekonomi,
mereka juga harus menghormati nilai-nilai Singapura dan berintegrasi dengan
orang setempat (Siok Kuan Tambyah,
2013: 99). Tentu, sebelum prahara menjadi bara, pesona Temasek yang
damai, aman, dan tertib mesti dijaga, berapa pun harganya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar