Rabu (18/12), dalam sidang paripurna DPR berencana mengesahkan
sebuah produk legislasi yang selama era Reformasi banyak mendorong ritme
dinamika sosial. RUU Desa akhirnya akan disahkan menjadi undang-undang
berkekuatan hukum positif dan menjadi sumber hukum bagi pelaksanaan otonomi
desa.
Beberapa poin penting dari RUU Desa yang boleh jadi memuaskan
kelompok sosial yang berkepentingan secara eksistensial politik, adalah
penegasan jabatan kepala desa selama tiga periode dengan satu periode
berlangsung enam tahun. Jadi, seorang kades bisa menjabat selama 18 tahun
jika dipilih masyarakat.
Demikian tuntutan tentang alokasi dana desa dalam diktum
desentralisasi fiskal juha akan dipenuhi. Dalam pasal RUU Desa, sebuah desa
minimal akan mendapatkan alokasi dana APBN sebesar 15 persen, jika dihitung
dari volume belanja APBN sekarang ini desa akan mendapatkan alokasi dana
desa Rp 750 juta rupiah. Dana yang besar dan memadai untuk program
pembangunan desa.
Yang juga penting dan terakomodasi dalam UU Desa—jika
disahkan—adalah desa diwajibkan memiliki dan mengembangkan Badan Usaha
Milik Desa (BUMDes). Melalui BUMDes diharapkan bisa mengembangkan gagasan
membangun unit usaha ekonomi, untuk pendapatan pemerintah desa dan menopang
kemakmuran masyarakat.
Namun, di tengah harapan membuncah pengesahan RUU Desa, ada
kekhawatiran yang meluas di kalangan masyarakat dan pemerhati perdesaan.
Kekhawatiran terhadap potensi penyalahgunaan dana desa
yang akan menjerat aparatur pemerintahan desa dalam sanksi tindak pidana
korupsi. Kekhawatiran akan lahirnya “raja-raja” kecil yang akan berkuasa
atas program pembangunan dan tata kelola pemerintahan desa.
Kesiapan infrastruktur politik pemerintahan desa dan kualitas
SDM penyelenggaraya juga menjadi titik kritis perhatian masyarakat, apalagi
tidak semua desa di Indonesia memiliki standar kerja pelayanan publik yang
memadai. Hal tersebut sebagai dampak warisan politik sentralisme era Orde
Baru.
Neoliberalisme
Namun, bagi kalangan yang memahami peta ekonomi-politik, UU
Desa dikhawatirkan hanya sekadar produk politik dan regulasi yang hanya
memperkuat kemandirian penyelenggara pemerintahan desa dalam mengelola
anggaran dan program pembangunan, namun tidak bisa melindungi desa dari
jerat arus neoliberalisme.
Dogma kebijakan neoliberal yang meruntuhkan entitas desa
sebagai benteng ekonomi negara adalah liberalisasi modal, liberalisasi
pangan, dan liberalisasi pasar. Harus diakui, sejak 1998 desa menjadi ruang
ekonomi yang semakin di bawah “kuasa” modal besar yang bergiat di sektor
pertanian, perkebunan, dan pengolahan hasil alam.
Liberalisasi pangan sangat nyata dari kebijakan impor pangan,
seperti impor beras, terigu, kedelai, susu, dan daging yang membuat buruk
bagi kesejahteraan petani, peternak, dan usaha kecil.
Liberalisasi pasar adalah kehancuran unit ekonomi dan
institusi ekonomi masyarakat oleh arus investasi korporasi. Pasar
tradisional desa (pasar desa) semakin melemah oleh kehadiran jaringan
ritel, yang kini hadir hampir di seluruh desa di republik ini yang dianggap
prospektif secara ekonomis.
Demikian juga ruang niaga tradisional, semakin dikalahkan oleh
ambisi besar modal asing dan modal konsinyasi asing yang semakin menggurita
di perdesaan.
Desa mendapatkan ancaman nyata dari kebijakan pemerintah pusat
yang neoliberal. Penghapusan subsidi migas (BBM) juga memukul kehidupan
petani dalam kenaikan biaya pemasaran hasil produksi pertanian, hal itu
menurunkan surplus keuntungan yang juga marjinal, serta menaikkan biaya
produksi pertanian yang kadang tidak seimbang dengan capaian hasil komoditi
yang masih dibuat standar murah institusi pengendali harga.
Desa dalam UU Desa memang diharapkan bisa berotonomi dan
berdaya. Pemerintah desa bisa mengelola anggaran desa untuk kepentingan
administrasi pemerintahan dan membiayai program pembangunan desa. Mandat
untuk membentuk BUMDes juga bisa diharapkan menjadi kekuatan unit ekonomi
produktif yang mengerakkan sektor ekonomi riil perdesaan.
Namun, sebuah pertanyaan, apakah nanti pemerintah desa,
masyarakat desa, dan BUMDes mampu menghadapi arus desak neoliberalisme?
Desa akan mampu menghadapi arus desak neoliberalisme jika; Pertama,
sanggup mewujudkan otonomi keberdayaan. yang artinya pemerintah desa dan
masyarakat memiliki kekuatan untuk mengembangkan sektor ekonomi riil
perdesaan yang mampu menyerap tenaga kerja dan menghidupi secara layak
pekerjanya, mampu menumbuhkan ruang ekonomi yang didukung kesadaran sosial
masyarakat desa.
Kedua, sanggup mengelola anggaran desa untuk program jaminan
sosial bagi masyarakat miskin, serta merealisasikan konsep pembangunan
partisipatif sesuai kepentingan masyarakat yang tentunya tercantum dalam
rancangan pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes). RPJMDes haruslah
berwatak popular dan prorakyat.
Ketiga, akan sanggup jika BUMDes mampu mengembangkan
kewenangannya untuk menggali sumber ekonomi desa dan mengolah sumber daya
alam desa, menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi masyarakat dan
pemerintah desa.
Desa akan bisa menghadapi desakan neoliberal jika pemerintah
dan masyarakat desa melaksanakan amanat konstitusi, yakni melaksanakan
program-program pembangunan desa yang memihak kepentingan masyarakat,
bukannya membiarkan desa sekadar menjadi ruang ekonomi yang terjarah modal
dari luar desa.
Desa sangat diharapkan bisa mencukupi kebutuhan dasar
masyarakatnya, juga bisa mempertahankan entitas ekonomi yang selama ini
dekat dengan prinsip demokrasi ekonomi. Pasar desa, koperasi rakyat, dan
niaga kecil harus berkembang dalam rahim otonomi desa. Jika hal tersebut
dilaksanakan, desa akan menjadi penjaga kedaulatan republik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar