Kamis, 19 Desember 2013

Otonomi Desa Jerat Neoliberalisme

Otonomi Desa Jerat Neoliberalisme
Trisno Yulianto  ;    PNS di Bapermas Magetan
SINAR HARAPAN,  18 Desember 2013

  

Rabu (18/12), dalam sidang paripurna DPR berencana mengesahkan sebuah produk legislasi yang selama era Reformasi banyak mendorong ritme dinamika sosial. RUU Desa akhirnya akan disahkan menjadi undang-undang berkekuatan hukum positif dan menjadi sumber hukum bagi pelaksanaan otonomi desa.

Beberapa poin penting dari RUU Desa yang boleh jadi memuaskan kelompok sosial yang berkepentingan secara eksistensial politik, adalah penegasan jabatan kepala desa selama tiga periode dengan satu periode berlangsung enam tahun. Jadi, seorang kades bisa menjabat selama 18 tahun jika dipilih masyarakat.

Demikian tuntutan tentang alokasi dana desa dalam diktum desentralisasi fiskal juha akan dipenuhi. Dalam pasal RUU Desa, sebuah desa minimal akan mendapatkan alokasi dana APBN sebesar 15 persen, jika dihitung dari volume belanja APBN sekarang ini desa akan mendapatkan alokasi dana desa Rp 750 juta rupiah. Dana yang besar dan memadai untuk program pembangunan desa.

Yang juga penting dan terakomodasi dalam UU Desa—jika disahkan—adalah desa diwajibkan memiliki dan mengembangkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Melalui BUMDes diharapkan bisa mengembangkan gagasan membangun unit usaha ekonomi, untuk pendapatan pemerintah desa dan menopang kemakmuran masyarakat.

Namun, di tengah harapan membuncah pengesahan RUU Desa, ada kekhawatiran yang meluas di kalangan masyarakat dan pemerhati perdesaan.

Kekhawatiran terhadap potensi penyalahgunaan dana desa  yang akan menjerat aparatur pemerintahan desa dalam sanksi tindak pidana korupsi. Kekhawatiran akan lahirnya “raja-raja” kecil yang akan berkuasa atas program pembangunan dan tata kelola pemerintahan desa.

Kesiapan infrastruktur politik pemerintahan desa dan kualitas SDM penyelenggaraya juga menjadi titik kritis perhatian masyarakat, apalagi tidak semua desa di Indonesia memiliki standar kerja pelayanan publik yang memadai. Hal tersebut sebagai dampak warisan politik sentralisme era Orde Baru.

Neoliberalisme

Namun, bagi kalangan yang memahami peta ekonomi-politik, UU Desa dikhawatirkan hanya sekadar produk politik dan regulasi yang hanya memperkuat kemandirian penyelenggara pemerintahan desa dalam mengelola anggaran dan program pembangunan, namun tidak bisa melindungi desa dari jerat arus neoliberalisme.

Dogma kebijakan neoliberal yang meruntuhkan entitas desa sebagai benteng ekonomi negara adalah liberalisasi modal, liberalisasi pangan, dan liberalisasi pasar. Harus diakui, sejak 1998 desa menjadi ruang ekonomi yang semakin di bawah “kuasa” modal besar yang bergiat di sektor pertanian, perkebunan, dan pengolahan hasil alam.

Liberalisasi pangan sangat nyata dari kebijakan impor pangan, seperti impor beras, terigu, kedelai, susu, dan daging yang membuat buruk bagi kesejahteraan petani, peternak, dan usaha kecil.

Liberalisasi pasar adalah kehancuran unit ekonomi dan institusi ekonomi masyarakat oleh arus investasi korporasi. Pasar tradisional desa (pasar desa) semakin melemah oleh kehadiran jaringan ritel, yang kini hadir hampir di seluruh desa di republik ini yang dianggap prospektif secara ekonomis.

Demikian juga ruang niaga tradisional, semakin dikalahkan oleh ambisi besar modal asing dan modal konsinyasi asing yang semakin menggurita di perdesaan.
Desa mendapatkan ancaman nyata dari kebijakan pemerintah pusat yang neoliberal. Penghapusan subsidi migas (BBM) juga memukul kehidupan petani dalam kenaikan biaya pemasaran hasil produksi pertanian, hal itu menurunkan surplus keuntungan yang juga marjinal, serta menaikkan biaya produksi pertanian yang kadang tidak seimbang dengan capaian hasil komoditi yang masih dibuat standar murah institusi pengendali harga.

Desa dalam UU Desa memang diharapkan bisa berotonomi dan berdaya. Pemerintah desa bisa mengelola anggaran desa untuk kepentingan administrasi pemerintahan dan membiayai program pembangunan desa. Mandat untuk membentuk BUMDes  juga bisa diharapkan menjadi kekuatan unit ekonomi produktif yang mengerakkan sektor ekonomi riil perdesaan.

Namun, sebuah pertanyaan, apakah nanti pemerintah desa, masyarakat desa, dan BUMDes mampu menghadapi arus desak neoliberalisme?

Desa akan mampu menghadapi arus desak neoliberalisme jika; Pertama, sanggup mewujudkan otonomi keberdayaan. yang artinya pemerintah desa dan masyarakat memiliki kekuatan untuk mengembangkan sektor ekonomi riil perdesaan yang mampu menyerap tenaga kerja dan menghidupi secara layak pekerjanya, mampu menumbuhkan ruang ekonomi yang didukung kesadaran sosial masyarakat desa.

Kedua, sanggup mengelola anggaran desa untuk program jaminan sosial bagi masyarakat miskin, serta merealisasikan konsep pembangunan partisipatif sesuai kepentingan masyarakat yang tentunya tercantum dalam rancangan pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes). RPJMDes haruslah berwatak popular dan prorakyat.

Ketiga, akan sanggup jika BUMDes mampu  mengembangkan kewenangannya untuk menggali sumber ekonomi desa dan mengolah sumber daya alam desa, menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi masyarakat dan pemerintah desa.

Desa akan bisa menghadapi desakan neoliberal jika pemerintah dan masyarakat desa melaksanakan amanat konstitusi, yakni melaksanakan program-program pembangunan desa yang memihak kepentingan masyarakat, bukannya membiarkan desa sekadar menjadi ruang ekonomi yang terjarah modal dari luar desa.

Desa sangat diharapkan bisa mencukupi kebutuhan dasar masyarakatnya, juga bisa mempertahankan entitas ekonomi yang selama ini dekat dengan prinsip demokrasi ekonomi. Pasar desa, koperasi rakyat, dan niaga kecil harus berkembang dalam rahim otonomi desa. Jika hal tersebut dilaksanakan, desa akan menjadi penjaga kedaulatan republik.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar