Sebagai isu sosial, gagasan “kondomisasi”
yang dilontarkan menteri kesehatan untuk mencegah penyakit menular,
terutama HIV, yang muncul akibat hubungan seks, sudah lewat.
Tiap saat saya menimbang untuk
menulisnya, selalu saja kalah dengan isu lain yang lebih “in”, lebih
mendesak, dan memberi rangsangan lebih besar untuk menggarapnya.
Munculnya “pro”-“kontra” yang berkembang
di dalam masyarakat tidak penting sama sekali untuk diulang.
“Pro”-“kontra”, dalam satu segi, merupakan hak setiap orang, setiap warga
negara, yang memahami dan menghargai kebebasan berpendapat, yang dijamin
konstitusi kita.
Meskipun begitu, “pro” atau “kontra”
buta, yang tak didasarkan argumen yang kuat, jelas menyia-nyiakan hak
berpendapat, membuang-buang waktu, karena tak memberi perspektif apa pun.
Kita tahu, pihak yang “pro” sedikit
jumlahnya. Di dalam kategori sikap ini jelas, terutama pastilah menteri dan
orang-orang di sekitarnya, yang sejak semua terlibat dalam mengolah dan
mematangkan ide yang dianggap “cemerlang” itu. Kelompok itu kemudian
meluas, meliputi jumlah yang lebih besar, yaitu orang-orang di dalam kantor
menteri, yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan tersebut.
Boleh jadi ada staf menteri yang tak
begitu setuju dengan gagasan itu, bahkan frontal menolaknya, tetapi mungkin
mereka kalah wibawa dengan menteri. Seperti lazimnya sikap orang di dalam
pemerintahan, tidak setuju setengah mati pun memilih untuk membisu seribu
bahasa.
Tidak enak melawan menterinya sendiri.
Bagi kita, “melawan” demi kebaikan pun dianggap tidak etis. Birokrasi
pemerintah bukan tempat percaturan ide-ide dan pemikiran bebas dan
kebebasan berbicara.
Setidaknya, di sana belum lazim orang
mempertengkarkan suatu ide, demi kebenaran ilmiah maupun demi kemaslahatan
seluruh bangsa.
Bahkan, demi menyelamatkan nama baik
atasan pun tidak. Pilihan untuk membisu akhirnya menjadi strategi mencari
selamat yang dianggap anggun, sopan dan tahu akan etika birokrasi “yes Sir”
dan “yes Madam” yang memanjakan atasan.
Kita lalu mengerti, apa gunanya sok
berani-beranian mengambil risiko jabatannya hilang. Anak buah, staf, dan
bawahan harus taat pada atasan, yang merasa lebih mengerti persoalan.
Melawan dengan argumen keilmuan dicap sok pinter, sok tahu. Memberi
alternatif dengan pertimbangan-pertimbangan moral dicap sok suci.
Ketulusan menyampaikan pandangan demi
kebaikan atasan dan masyarakat dikutuk sok bijaksana. Betapa celaka hidup
di dalam lingkungan beku seperti itu. Inilah “barisan” yang “pro” gagasan
kondomisasi buat kalangan remaja itu. Pihak yang “kontra” tak usah dibahas
kelompok demi kelompok, apalagi orang per orang, karena jumlah mereka
aduhai, betapa banyaknya.
Apakah ini artinya?
Isu Sensitif
Dokter, pada umumnya, sudah berbahagia
dengan argumen teknis. Apalagi dokter zaman sekarang. Ilmu teknisnya sudah
dibanggakan sejak masa kuliah dan tidak mau memandang -sebelah mata pun-
ilmu-ilmu lain. Apalagi ilmu sosial yang hafalan dan dianggap sepele
dibanding ilmu kedokteran yang bergengsi di masyarakat.
Mari kita bandingkan dokter hari ini
dengan dokter di masa lampau, seperti Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo.
Kecuali dokter, beliau juga orang politik, orang partai, orang gerakan.
Bacaannya banyak. Argumen-argumen kedokterannya tidak teknis, tidak sempit,
tidak birokratis. Kondomisasi itu bagi beliau mustahil dikemukakan ke
masyarakat sebagai langkah kesehatan mencegah penyakit.
Dokter Tjipto belajar etika, filsafat,
dan moral, sama seriusnya dengan beliau belajar kedokteran. Bagi beliau,
dokter tidak cukup mengobati dan sekadar mengobati pasien-pasiennya. Dokter
wajib tahu politik, wajib tahu komunikasi massa, dan harus paham akan
akibat politik dari suatu isu dalam kebijakan publik.
Di negeri kita, kebijakan -sehebat apa
pun- yang secara moral tak mudah diterima, kontan diserang. Adakah menteri
kesehatan ini pernah mempertimbangkan isu moral di balik kebijakannya?
Adakah stafnya, yang cukup sensitif, dan memberinya peringatan agar gagasan
ini tak usah disosialisasikan?
Kalau ada, betapa nekatnya menteri itu.
Agama itu sensitif sekali. Kita semua tahu hal itu karena bukankah kita
masih orang Indonesia?
Orang pandai, terpelajar, modern,
kosmopolit, dan liberal dalam memandang hidup, boleh saja menolak semua
bentuk “kepicikan”(?) itu.
Tapi, orang dalam posisi menteri, yang hendak
menerapkan kebijakan publiknya, namun menolak semua hal sensitif itu, jelas
gagal total.
Menyatakan sikap keagamaan yang diberi
“merek” liberal pun menjadi masalah. Kawin lintas agama masih belum bisa
diterima. Orang masih memberinya cap “haram”, “melanggar”, “zina”, dan
sejenisnya. Ini tak bisa diabaikan begitu saja.
Pindah agama karena perkawinan, sering
dikutuk -termasuk secara diam-diam- dan dicemooh di dalam masyarakat “kaum
beriman”, yang menganggap menjaga “iman” secara konsisten sebagai corak
ketulusan beragama, dan kesungguhan “mencintai” Allah -membacanya Alloh-
dengan ketulusan cinta ilahiah.
Ini semua mau
diabaikan? Secara pribadi silakan kalau siap menghadapi risiko. Tapi,
seorang menteri tak boleh mengabaikannya, kecuali siap memilih gagal total
seperti program kondomisasi ini. Agama perkara serius.
Agama jangan dimain-mainkan. Jangan
diremehkan, seolah sekadar seperti baju; bisa ditukar, bisa diganti kapan
saja, ketika kebutuhan itu timbul.
Pejabat yang bersikap teknis, miopik,
tidak sensitif, dan memandang remeh agama dan sikap keberagamaan bangsanya,
jelas parah. Parah sekali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar