Awal
pekan ini mencuat berita yang menarik perhatian publik ketika pedangdut
Rhoma Irama mengusulkan dibubarkannya Mahkamah Konstitusi (MK). Alasannya,
selain tugas-tugas MK bertumpang tindih dengan tugas-tugas Mahkamah Agung
(MA), pada saat ini MK sudah mengalami public distrust atau
ketidakpercayaan publik yang luar biasa.
Sebagai ekspresi kekecewaan atas apa yang menimpa MK setelah tertangkap
tangannya Akil Mochtar oleh KPK karena sangkaan korupsi, saya memaklumi
usul Rhoma Irama. Banyak orang yang bersikap sama dengan Rhoma. Tanggal 3
Oktober 2013, sehari setelah penangkapan Akil Mochtar, banyak teriakan agar
MK dibubarkan. Saat itu saya pun berkicau melalui Twitter. ”Ingin rasanya
saya mengusulkan MK dibubarkan, tetapi hal itu tidak mungkin karena adanya
MK adalah perintah konstitusi.
”Saya pun dikritik banyak orang
karena ada media massa yang menulis berita berjudul ”Mahfud Usulkan
Pembubaran MK”, tanpa menyertakan pernyataan saya bahwa keinginan itu
adalah ”keinginan yang tak mungkin”.
Masyarakat sangat kecewa pada MK karena ulah ketuanya yang tertangkap
tangan dalam tindakan penyuapan atau korupsi. Tetapi teriakan-teriakan agar
MK dibubarkan memang tidak cukup rasional, lebih banyak emosionalnya. Kita
boleh marah kepada Akil yang telah memusnahkan setitik harapan dunia
penegakan hukum kita. Tetapi kalau hanya karena itu kemudian MK harus
dibubarkan, sungguh amat berlebihan.
Alasan bahwa tugas MA dan MK tumpang tindih tak perlu dibahas, karena
perdebatan tentang itu sudah ada dan selesai pada Sidang MPR 1999–2002
yang, keputusan akhirnya, dituangkan di dalam konstitusi yang ada sekarang
ini. Tetapi kalau dikatakan MK harus bubar karena dengan tertangkapnya Akil
Mochtar terjadi public distrust (ketidakpercayaan masyarakat) yang luar
biasa kepada MK, maka–– faktanya, ketidakpercayaan publik itu terjadi juga
pada lembaga negara yang lain. DPR dan partai politik sudah lama mengalami
public distrust karena dari institusi- institusi itu banyak tokoh yang
dipenjarakan karena korupsi.
Teriakan emosional agar DPR dan parpol dibubarkan juga sering terdengar,
tetapi hal itu dianggap tak mungkin atau tak realistis. Lembaga eksekutif
yang dipimpin oleh presiden tak kalah juga korupnya. Ada menteri, sekjen,
dirjen, dan pejabat-pejabat penting yang telah digelandang ke penjara
karena korupsi. Kalau MK harus dibubarkan karena ada pejabatnya yang
tertangkap karena korupsi, bukankah lembaga eksekutif pun pantas diteriaki
agar dibubarkan? Komisi Yudisial (KY) pernah mengalami hal yang sama ketika
komisionernya, Irawadi Joenoes, tertangkap tangan dan dijatuhi hukuman
penjara karena tindak pidana korupsi.
Padahal, KY adalah lembaga penjaga martabat (tepatnya, pengawas) hakim dan
peradilan. Mengapa kita tidak berteriak agar KY dibubarkan juga? MA pun
sudah berkali-kali menunjukkan perilaku buruk para hakimnya, dari pusat
sampai daerah-daerah. Bahkan, istilah mafia hukum atau mafia peradilan
lebih banyak dikaitkan dengan MA. Masyarakat sudah lama gerah dan berteriak
kencang tentang mafia di MA, tetapi tidak pernah sampai pada usul untuk
membubarkannya. Mengapa? Karena usul pembubaran itu sesuatu yang secara
konstitusional sangat musykil.
Memang bisa saja melalui jalur konstitusional kita membubarkan
lembaga-lembaga negara itu dengan mengubah sistem pemerintahan negara
melalui amendemen konstitusi. Tetapi hal itu hampir mustahil, karena
masalahnya bukan terletak pada lembaganya melainkan terletak pada
leadership-nya atau pada leader-nya yang korup. Jadi jika masalahnya adalah
runtuhnya kepercayaan masyarakat, yang harus kita lakukan adalah bagaimana
mengembalikankepercayaanmasyarakatitu. Dengan demikian, sejauh menyangkut
MK kita harus berusaha meyakinkan kepada masyarakat bahwa tertangkapnya
Akil Mochtar tak boleh diartikan bahwa hakim-hakim lain pun terlibat.
Apalagi sampai detik ini belum ada hakim lain yang dinyatakan terindikasi
terlibat atau melakukan hal sama dengan Akil. Selain Akil,
hakim-hakimyangsudahdipanggilkeKPK hanyalah dimintai keterangan, bukan
diperiksa. Sangat mungkin terjadi, seorang hakim MK melakukan korupsi dan
kolusi sendiri tanpa sepengetahuan hakim-hakim lain. Contohnya gampang.
Kalau pada Sabtu, 7 Desember 2013, misalnya, rapat tertutup majelis hakim
MK memutuskan bahwa dalam satu perkara A menang atas B dan keputusan itu
baru akan diucapkan dalam sidang terbuka pada Rabu, 11 Desember 2013,
maka antara Sabtu sampai Rabu bisa saja seorang hakim, tanpa sepengetahuan
hakim-hakim lain menghubungi A yang memang sudah menang. Sang hakim bisa
mengatakan kepada A, kalau Anda ingin menang berikan lima miliar kepada
saya, padahal A memang sudah menang sendiri. Sampai sekarang, KPK yang begitu
hebat kemampuannya menelusuri kasus itu, hanya menemukan indikasi dan
bukti-bukti pada Akil Mochtar sendiri dalam beberapa kasus.
Tidak ada hakim lain yang dinyatakan melakukan hal yang sama atau terlibat.
Kalau ada hakim lain yang seperti Akil pastilah sudah dicokok oleh KPK,
sebab MK itu tak punya beking politik yang bisa menghadang KPK. Itulah yang
harus kita jelaskan kepada masyarakat kalau kita ingin mengembalikan
kepercayaan publik kepada MK. Pokoknya, MK harus terus jalan sambil
diperbaiki. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar