Sabtu, 07 Desember 2013

MK Harus Jalan Terus

MK Harus Jalan Terus
Moh Mahfud MD  ;   Guru Besar Hukum Konstitusi 
KORAN SINDO,  07 Desember 2013


  
Awal pekan ini mencuat berita yang menarik perhatian publik ketika pedangdut Rhoma Irama mengusulkan dibubarkannya Mahkamah Konstitusi (MK). Alasannya, selain tugas-tugas MK bertumpang tindih dengan tugas-tugas Mahkamah Agung (MA), pada saat ini MK sudah mengalami public distrust atau ketidakpercayaan publik yang luar biasa. 

Sebagai ekspresi kekecewaan atas apa yang menimpa MK setelah tertangkap tangannya Akil Mochtar oleh KPK karena sangkaan korupsi, saya memaklumi usul Rhoma Irama. Banyak orang yang bersikap sama dengan Rhoma. Tanggal 3 Oktober 2013, sehari setelah penangkapan Akil Mochtar, banyak teriakan agar MK dibubarkan. Saat itu saya pun berkicau melalui Twitter. ”Ingin rasanya saya mengusulkan MK dibubarkan, tetapi hal itu tidak mungkin karena adanya MK adalah perintah konstitusi.

Saya pun dikritik banyak orang karena ada media massa yang menulis berita berjudul ”Mahfud Usulkan Pembubaran MK”, tanpa menyertakan pernyataan saya bahwa keinginan itu adalah ”keinginan yang tak mungkin”. Masyarakat sangat kecewa pada MK karena ulah ketuanya yang tertangkap tangan dalam tindakan penyuapan atau korupsi. Tetapi teriakan-teriakan agar MK dibubarkan memang tidak cukup rasional, lebih banyak emosionalnya. Kita boleh marah kepada Akil yang telah memusnahkan setitik harapan dunia penegakan hukum kita. Tetapi kalau hanya karena itu kemudian MK harus dibubarkan, sungguh amat berlebihan. 

Alasan bahwa tugas MA dan MK tumpang tindih tak perlu dibahas, karena perdebatan tentang itu sudah ada dan selesai pada Sidang MPR 1999–2002 yang, keputusan akhirnya, dituangkan di dalam konstitusi yang ada sekarang ini. Tetapi kalau dikatakan MK harus bubar karena dengan tertangkapnya Akil Mochtar terjadi public distrust (ketidakpercayaan masyarakat) yang luar biasa kepada MK, maka–– faktanya, ketidakpercayaan publik itu terjadi juga pada lembaga negara yang lain. DPR dan partai politik sudah lama mengalami public distrust karena dari institusi- institusi itu banyak tokoh yang dipenjarakan karena korupsi. 

Teriakan emosional agar DPR dan parpol dibubarkan juga sering terdengar, tetapi hal itu dianggap tak mungkin atau tak realistis. Lembaga eksekutif yang dipimpin oleh presiden tak kalah juga korupnya. Ada menteri, sekjen, dirjen, dan pejabat-pejabat penting yang telah digelandang ke penjara karena korupsi. Kalau MK harus dibubarkan karena ada pejabatnya yang tertangkap karena korupsi, bukankah lembaga eksekutif pun pantas diteriaki agar dibubarkan? Komisi Yudisial (KY) pernah mengalami hal yang sama ketika komisionernya, Irawadi Joenoes, tertangkap tangan dan dijatuhi hukuman penjara karena tindak pidana korupsi. 

Padahal, KY adalah lembaga penjaga martabat (tepatnya, pengawas) hakim dan peradilan. Mengapa kita tidak berteriak agar KY dibubarkan juga? MA pun sudah berkali-kali menunjukkan perilaku buruk para hakimnya, dari pusat sampai daerah-daerah. Bahkan, istilah mafia hukum atau mafia peradilan lebih banyak dikaitkan dengan MA. Masyarakat sudah lama gerah dan berteriak kencang tentang mafia di MA, tetapi tidak pernah sampai pada usul untuk membubarkannya. Mengapa? Karena usul pembubaran itu sesuatu yang secara konstitusional sangat musykil. 

Memang bisa saja melalui jalur konstitusional kita membubarkan lembaga-lembaga negara itu dengan mengubah sistem pemerintahan negara melalui amendemen konstitusi. Tetapi hal itu hampir mustahil, karena masalahnya bukan terletak pada lembaganya melainkan terletak pada leadership-nya atau pada leader-nya yang korup. Jadi jika masalahnya adalah runtuhnya kepercayaan masyarakat, yang harus kita lakukan adalah bagaimana mengembalikankepercayaanmasyarakatitu. Dengan demikian, sejauh menyangkut MK kita harus berusaha meyakinkan kepada masyarakat bahwa tertangkapnya Akil Mochtar tak boleh diartikan bahwa hakim-hakim lain pun terlibat. 

Apalagi sampai detik ini belum ada hakim lain yang dinyatakan terindikasi terlibat atau melakukan hal sama dengan Akil. Selain Akil, hakim-hakimyangsudahdipanggilkeKPK hanyalah dimintai keterangan, bukan diperiksa. Sangat mungkin terjadi, seorang hakim MK melakukan korupsi dan kolusi sendiri tanpa sepengetahuan hakim-hakim lain. Contohnya gampang. Kalau pada Sabtu, 7 Desember 2013, misalnya, rapat tertutup majelis hakim MK memutuskan bahwa dalam satu perkara A menang atas B dan keputusan itu baru akan diucapkan dalam sidang terbuka pada Rabu, 11 Desember 2013, 

maka antara Sabtu sampai Rabu bisa saja seorang hakim, tanpa sepengetahuan hakim-hakim lain menghubungi A yang memang sudah menang. Sang hakim bisa mengatakan kepada A, kalau Anda ingin menang berikan lima miliar kepada saya, padahal A memang sudah menang sendiri. Sampai sekarang, KPK yang begitu hebat kemampuannya menelusuri kasus itu, hanya menemukan indikasi dan bukti-bukti pada Akil Mochtar sendiri dalam beberapa kasus. 

Tidak ada hakim lain yang dinyatakan melakukan hal yang sama atau terlibat. Kalau ada hakim lain yang seperti Akil pastilah sudah dicokok oleh KPK, sebab MK itu tak punya beking politik yang bisa menghadang KPK. Itulah yang harus kita jelaskan kepada masyarakat kalau kita ingin mengembalikan kepercayaan publik kepada MK. Pokoknya, MK harus terus jalan sambil diperbaiki. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar