BANK Indonesia akhirnya
menutup kebijakan BI Rate tetap pada 7,5 persen hingga akhir 2013. Langkah
ini kemudian
diikuti dengan pelemahan rupiah hingga Rp 12.017 per dollar AS akhir pekan
lalu (Jumat, 13/12). Keputusan BI barangkali dinilai berbeda dengan ekspektasi
pasar yang masih menghendaki kenaikan BI Rate sekali lagi menjadi 7,75
persen, untuk mengompensasi inflasi.
Kebijakan BI Rate memang dilematis. Di
satu pihak, untuk menyelamatkan rupiah dari depresiasi yang dalam,
seyogianya BI Rate dinaikkan. Laju inflasi hingga akhir tahun diperkirakan
8,5 persen. Jika BI Rate dipaksakan tetap 7,5 persen, sebagian nasabah
besar akan memindahkan dananya menjadi surat berharga di pasar modal dan
atau valuta asing, terutama dollar AS.
Itulah sebabnya, simpanan masyarakat
(dana pihak ketiga) di bank sejak Mei 2013 cenderung mendatar (stagnan).
Bulan Mei 2013 adalah saat dimulainya wacana tapering
off, ―yakni
berkurangnya stimulus moneter di AS (quantitative
easing) ―tatkala Kepala The
Fed Ben S Bernanke mulai merasa perekonomian AS membaik sehingga
stimulus ini bisa dikendurkan.
BI Rate memang sudah 7,5 persen, tetapi
itu belum cukup bagi pemilik dana besar untuk mengubah kekayaannya menjadi
dollar AS. Dengan inflasi yang meski sudah ”dijinakkan” menjadi 8,3 persen
pun, pemilik dana masih akan ”menderita” suku bunga riil negatif, di mana
laju inflasi lebih tinggi daripada suku bunga deposito bank.
Namun, jika BI Rate dinaikkan, hal itu
akan menyengsarakan sektor riil. Bank-bank pasti akan mengalihkan beban
kenaikan suku bunga kepada nasabahnya, melalui kenaikan suku bunga kredit.
Meski banyak bank memilih mengorbankan keuntungannya ―yang tecermin dari
penurunan net
interest margin, tetap saja kenaikan suku bunga kredit tak
terelakkan. Akibatnya, industri perbankan kini menghadapi dua masalah.
Pertama, laju ekspansi kredit melambat, dari 27 persen (2012) menjadi 19
persen. Kedua, timbul tekanan kenaikan kredit bermasalah atau nonperforming
loan.
Di tengah kepenatan itu, BI mencoba
mengais harapan untuk tahun depan. BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi bakal
mencapai 5,8 persen hingga 6,2 persen tahun 2014. Namun, target yang
optimistis ini seperti mengalami konflik (conflicting
targets) dengan upaya BI ”mendinginkan mesin perekonomian”.
Sebagai upaya untuk membantu menekan defisit perdagangan dan defisit neraca
pembayaran, BI mencoba mengendalikannya melalui penurunan target
pertumbuhan kredit menjadi 15-17 persen.
Masalahnya, jika pertumbuhan kredit hanya
15-17 persen, bagaimana mungkin target pertumbuhan ekonomi 6 persen
tercapai? Pengalaman selama ini menunjukkan, pertumbuhan kredit 15-17
persen hanya ekuivalen dengan pertumbuhan ekonomi 5,5 persen saja. Jadi,
jika BI ingin menekan konsumsi impor, dampaknya akan dirasakan pada
berkurangnya impor barang modal dan barang konsumsi, yang berujung pada
penurunan pertumbuhan ekonomi. Belum jelas pilihan yang ditempuh BI,
mendahulukan pencapaian pertumbuhan ekonomi 6 persen ataukah menekan impor
dengan menurunkan pertumbuhan kredit sehingga rupiah tidak terperosok
dalam?
Sementara itu, Menteri Keuangan Chatib
Basri pun mengeluarkan jurus meredam defisit perdagangan dan transaksi
berjalan. Pihaknya merilis paket kebijakan yang terdiri atas empat hal:
memperbaiki neraca transaksi berjalan dan nilai tukar; menjaga pertumbuhan
ekonomi dan daya beli, dengan memastikan defisit anggaran 2013 tetap 2,38
persen terhadap produk domestik bruto; menjaga laju inflasi, dengan cara
memperbaiki tata niaga komponen harga yang bergejolak (volatile
food); dan percepatan investasi melalui relaksasi perizinan.
Upaya meredam defisit perdagangan
dilakukan dengan: meningkatkan porsi penggunaan biodisel dalam porsi solar
sehingga menekan konsumsi solar; pengenaan tambahan Pajak Penjualan Barang
Mewah sebesar 50 persen pada mobil supermewah dan pengenaan PPNBM pada
produk bermerek sebesar 25 persen; dan mendorong ekspor mineral olahan.
Adapun isu ekspor mineral yang sudah
diolah dari barang mentah (raw
materials) menjadi barang antara (intermediate
goods), saya teringat kasus 1985, ketika Indonesia sedang kesulitan
menderita penurunan harga minyak dunia dari 32 dollar AS (1982) menjadi 9
dollar AS (1985-1986). Indonesia yang saat itu sebagai eksportir migas
harus segera mengubah posisi dari ekspor migas ke nonmigas. Kita pun sukses
mengekspor tekstil dan garmen ke AS. Juga larangan ekspor gelondongan
diganti menjadi ekspor kayu lapis yang punya nilai tambah.
Isu konversi energi dari minyak ke gas
serta biodisel agak disayangkan kurang ditangani secara lebih intens oleh
pemerintah periode sekarang. Setiap kali terjadi gejolak harga minyak dunia
tinggi, kita memang terenyak dan timbul kesadaran terhadap isu konversi
energi. Namun, begitu harga minyak dunia berada di level yang dianggap
terjangkau, seperti kini berkisar 100-110 dollar AS, isu ini pun relatif
terkubur.
Sekarang, saat impor migas kita melonjak
dan menyebabkan defisit perdagangan, sehingga cadangan devisa terkuras dan
akhirnya memperlemah rupiah, isu ini kembali mengemuka. Konversi energi
harus digarap lebih serius karena cadangan minyak kita cuma 4 miliar
barrel, jauh dibandingkan Venezuela (300 miliar barrel). Tugas kita
mengawal proses konversi energi ini, baik di ujung pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono maupun kelak siapa pun penggantinya. Tidak boleh
lengah lagi, jika tidak ingin defisit perdagangan kian melebar dan rupiah
kian lunglai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar