A man who has never gone to school may steal a
freight car, but if he has a university education, he may steal the whole
railroad.
(Theodore Roosevelt)
AWAL tahun 2013 dibuka dengan
berita mengejutkan soal tertangkap tangannya Presiden Partai Keadilan
Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq yang menerima suap Rp 1 miliar, terkait
pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian untuk PT
Indoguna Utama.
Mengejutkan karena Luthfi
berasal dari partai politik yang punya jargon bersih dan peduli. Terlebih
selama ini memang Partai Keadilan Sejahtera sepi dari pemberitaan tentang
politikus yang terjerat kasus korupsi.
Publik seperti tak percaya.
Kader PKS bahkan lebih tak percaya lagi pucuk pimpinan partainya terlibat
korupsi. Namun, vonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) Jakarta, 9 Desember 2013, menyatakan Luthfi secara sah dan
meyakinkan terbukti korupsi sekaligus melakukan tindak pidana pencucian
uang (TPPU).
Vonis yang dijatuhkan bertepatan
pada Hari Antikorupsi Internasional pada 9 Desember itu menghukum Luthfi
dengan penjara 16 tahun ditambah denda Rp 1 miliar serta perampasan
sejumlah harta bendanya, seperti rumah dan mobil mewah.
Kader PKS yang masih tak percaya
Luthfi korup dan melakukan TPPU menganggap vonis hakim telah menzalimi
partainya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan dinilai sebagai alat
politik untuk menjatuhkan citra PKS.
Soal ketidakpercayaan tentang
politikus yang melakukan korupsi atau TPPU ini bukan hanya monopoli PKS dan
kadernya. Keluarga Mallarangeng, misalnya, sampai sekarang pun masih tak
percaya Andi Alifian Mallarangeng, sulung dari tiga bersaudara, melakukan
korupsi dalam proyek pembangunan kompleks olahraga terpadu di Hambalang,
Bogor, Jawa Barat. Sang adik, Andi Rizal Mallarangeng, masih yakin,
sangkaan korupsi terhadap saudaranya oleh KPK bakal tak terbukti di
pengadilan.
Loyalis mantan Ketua Umum Partai
Demokrat Anas Urbaningrum, hingga kini pun, masih tak percaya jika
politikus yang terkenal santun tersebut menerima aliran dana dari proyek
Hambalang. Lebih-lebih dana dari proyek Hambalang tersebut digunakan untuk
jalan memenangi kursi ketua umum dalam Kongres Partai Demokrat.
Loyalis Anas menuduh KPK
diintervensi penguasa karena menganggap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
tak senang dengan berkuasanya Anas di partai yang dia dirikan.
Kolega mantan Kepala Satuan
Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas)
Rudi Rubiandini juga sempat tak yakin kalau Guru Besar Perminyakan Institut
Teknologi Bandung itu menerima suap.
Terlebih Rudi dikenal sebagai pribadi
bersahaja. Bagaimana tidak, mudik ke kampung halamannya di Tasikmalaya,
meski Rudi bergaji di atas Rp 200 juta per bulan, dia memilih menggunakan
kereta api.
Bahkan yang terbaru, sempat
banyak yang masygul ketika Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar
ditangkap KPK saat dalam proses menerima suap terkait pengurusan perkara
sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah,
dan Kabupaten Lebak, Banten.
Pencitraan canggih
Bagi KPK yang menetapkan Luthfi,
Andi, Anas, Rudi, dan Akil sebagai tersangka, ketidakpercayaan tersebut hanyalah
bentuk strategi pencitraan dan pembelaan koruptor serta jaringannya.
”Strategi pencitraan dan
pembelaan koruptor serta jaringannya kian berkembang dan canggih. Mereka
kian hebat dalam membangun citra positif koruptor sembari mendelegitimasi
KPK,” ujar Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.
Menurut mantan Direktur Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ini, strategi itu pun dilakukan tidak hanya
dengan membela di depan persidangan, tetapi juga menggunakan tempat talk
show, diskusi, dan seminar. Mereka juga menyewa ahli yang tidak hanya
memberi kesaksian di pengadilan, tetapi juga dalam talk show dan lain-lain. ”Bahkan ada pola komunikasi pencitraan
menggunakan konsultan PR (public
relation),” katanya.
Semakin pintar koruptor, semakin
canggih juga cara mereka menghindari jerat hukum.
Bambang mengatakan, setahun
terakhir, ada tipologi yang khas dari para pelaku kejahatan korupsi di
Indonesia. ”Mereka smart,
trendi, charming, profesional di bidangnya, dan pandai memanipulasi,
serta menjaga citra dan kewibawaannya,” kata Bambang.
Modusnya pun berkembang. ”Tak terbayangkan penyuapan dilakukan
menggunakan mobil yang dititipkan di tempat parkir bandara, di stasiun
kereta. Digunakan layer-layer sehingga tidak bisa terlihat
langsung bentuk kejahatan dan transaksinya,” ujar Bambang.
Sebagian transaksi bahkan
dilakukan di tempat khusus dan di luar negeri, menggunakan mata uang asing,
khususnya dollar Singapura dan Amerika Serikat.
Hasil riset
Keberhasilan KPK mengungkap
kecanggihan korupsi mereka yang punya latar belakang pendidikan sangat
tinggi sebenarnya berkat riset dan penelitian panjang lembaga ini terhadap
pola korupsi yang selama ini terjadi di Indonesia.
Menurut Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas,
dari hasil kajian tersebut disimpulkan telah banyak terjadi state capture corruption di
Indonesia. State capture corruption adalah tipe korupsi politik,
di mana swasta memengaruhi proses pengambilan keputusan pemerintah melalui
praktik ilegal seperti penyuapan para penyelenggara negara.
”Suap pengurusan kuota impor daging sapi dan suap
terkait kegiatan di SKK Migas adalah contohnya,” kata Busyro.
Di tengah terungkapnya
kasus-kasus state capture corruption skala besar, KPK juga
mengimbangi dengan upaya penindakan yang progresif. KPK menggabungkan UU
Tipikor dengan UU TPPU dalam menjerat tersangka sehingga bisa memiskinkan
para koruptor.
Beruntung, hakim juga responsif
dengan langkah progresif KPK, menuntut terdakwa dengan pidana penjara untuk
waktu yang lama serta perampasan terhadap aset dan harta kekayaannya.
Pada akhirnya, KPK membutuhkan
banyak amunisi dan kepiawaian berperang melawan para koruptor yang makin
pintar dan canggih ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar