Senin, 16 Desember 2013

KPK Progresif Vs Koruptor Canggih

KPK Progresif Vs Koruptor Canggih
Khaerudin  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  16 Desember 2013

  

A man who has never gone to school may steal a freight car, but if he has a university education, he may steal the whole railroad.
(Theodore Roosevelt)

AWAL tahun 2013 dibuka dengan berita mengejutkan soal tertangkap tangannya Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq yang menerima suap Rp 1 miliar, terkait pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian untuk PT Indoguna Utama.

Mengejutkan karena Luthfi berasal dari partai politik yang punya jargon bersih dan peduli. Terlebih selama ini memang Partai Keadilan Sejahtera sepi dari pemberitaan tentang politikus yang terjerat kasus korupsi.

Publik seperti tak percaya. Kader PKS bahkan lebih tak percaya lagi pucuk pimpinan partainya terlibat korupsi. Namun, vonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, 9 Desember 2013, menyatakan Luthfi secara sah dan meyakinkan terbukti korupsi sekaligus melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Vonis yang dijatuhkan bertepatan pada Hari Antikorupsi Internasional pada 9 Desember itu menghukum Luthfi dengan penjara 16 tahun ditambah denda Rp 1 miliar serta perampasan sejumlah harta bendanya, seperti rumah dan mobil mewah.

Kader PKS yang masih tak percaya Luthfi korup dan melakukan TPPU menganggap vonis hakim telah menzalimi partainya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan dinilai sebagai alat politik untuk menjatuhkan citra PKS.

Soal ketidakpercayaan tentang politikus yang melakukan korupsi atau TPPU ini bukan hanya monopoli PKS dan kadernya. Keluarga Mallarangeng, misalnya, sampai sekarang pun masih tak percaya Andi Alifian Mallarangeng, sulung dari tiga bersaudara, melakukan korupsi dalam proyek pembangunan kompleks olahraga terpadu di Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Sang adik, Andi Rizal Mallarangeng, masih yakin, sangkaan korupsi terhadap saudaranya oleh KPK bakal tak terbukti di pengadilan.

Loyalis mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, hingga kini pun, masih tak percaya jika politikus yang terkenal santun tersebut menerima aliran dana dari proyek Hambalang. Lebih-lebih dana dari proyek Hambalang tersebut digunakan untuk jalan memenangi kursi ketua umum dalam Kongres Partai Demokrat.

Loyalis Anas menuduh KPK diintervensi penguasa karena menganggap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak senang dengan berkuasanya Anas di partai yang dia dirikan.

Kolega mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini juga sempat tak yakin kalau Guru Besar Perminyakan Institut Teknologi Bandung itu menerima suap. 

Terlebih Rudi dikenal sebagai pribadi bersahaja. Bagaimana tidak, mudik ke kampung halamannya di Tasikmalaya, meski Rudi bergaji di atas Rp 200 juta per bulan, dia memilih menggunakan kereta api.

Bahkan yang terbaru, sempat banyak yang masygul ketika Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar ditangkap KPK saat dalam proses menerima suap terkait pengurusan perkara sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Lebak, Banten.

Pencitraan canggih

Bagi KPK yang menetapkan Luthfi, Andi, Anas, Rudi, dan Akil sebagai tersangka, ketidakpercayaan tersebut hanyalah bentuk strategi pencitraan dan pembelaan koruptor serta jaringannya.

”Strategi pencitraan dan pembelaan koruptor serta jaringannya kian berkembang dan canggih. Mereka kian hebat dalam membangun citra positif koruptor sembari mendelegitimasi KPK,” ujar Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.

Menurut mantan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ini, strategi itu pun dilakukan tidak hanya dengan membela di depan persidangan, tetapi juga menggunakan tempat talk show, diskusi, dan seminar. Mereka juga menyewa ahli yang tidak hanya memberi kesaksian di pengadilan, tetapi juga dalam talk show dan lain-lain. ”Bahkan ada pola komunikasi pencitraan menggunakan konsultan PR (public relation),” katanya.

Semakin pintar koruptor, semakin canggih juga cara mereka menghindari jerat hukum.

Bambang mengatakan, setahun terakhir, ada tipologi yang khas dari para pelaku kejahatan korupsi di Indonesia. ”Mereka smart, trendi, charming, profesional di bidangnya, dan pandai memanipulasi, serta menjaga citra dan kewibawaannya,” kata Bambang.

Modusnya pun berkembang. ”Tak terbayangkan penyuapan dilakukan menggunakan mobil yang dititipkan di tempat parkir bandara, di stasiun kereta. Digunakan layer-layer sehingga tidak bisa terlihat langsung bentuk kejahatan dan transaksinya,” ujar Bambang.

Sebagian transaksi bahkan dilakukan di tempat khusus dan di luar negeri, menggunakan mata uang asing, khususnya dollar Singapura dan Amerika Serikat.

Hasil riset

Keberhasilan KPK mengungkap kecanggihan korupsi mereka yang punya latar belakang pendidikan sangat tinggi sebenarnya berkat riset dan penelitian panjang lembaga ini terhadap pola korupsi yang selama ini terjadi di Indonesia.

Menurut Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, dari hasil kajian tersebut disimpulkan telah banyak terjadi state capture corruption di Indonesia. State capture corruption adalah tipe korupsi politik, di mana swasta memengaruhi proses pengambilan keputusan pemerintah melalui praktik ilegal seperti penyuapan para penyelenggara negara.

”Suap pengurusan kuota impor daging sapi dan suap terkait kegiatan di SKK Migas adalah contohnya,” kata Busyro.

Di tengah terungkapnya kasus-kasus state capture corruption skala besar, KPK juga mengimbangi dengan upaya penindakan yang progresif. KPK menggabungkan UU Tipikor dengan UU TPPU dalam menjerat tersangka sehingga bisa memiskinkan para koruptor.

Beruntung, hakim juga responsif dengan langkah progresif KPK, menuntut terdakwa dengan pidana penjara untuk waktu yang lama serta perampasan terhadap aset dan harta kekayaannya.

Pada akhirnya, KPK membutuhkan banyak amunisi dan kepiawaian berperang melawan para koruptor yang makin pintar dan canggih ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar