Komentar Acak
Ignatius Haryanto ;
Peneliti Media
|
TEMPO.CO,
16 Desember 2013
Salah satu acara televisi yang digemari kaum
muda belakangan ini adalah The
Comment, yang dibawakan oleh dua pembawa acara, yaitu Darto dan Danang.
Keduanya adalah penyiar radio anak muda yang kemudian ditarik untuk membuat
acara di televisi.
Ada banyak kegilaan anak muda dan
kreativitas yang membuat acara ini cepat digemari anak muda zaman sekarang.
Isi acaranya sebenarnya sederhana, yaitu mengomentari macam-macam hal di
sekitar mereka, dipadu dengan aneka video dari YouTube untuk memeriahkan
komentar-komentar mereka. Nanti, dengan cara mereka sendiri, penonton di
studio diminta berpartisipasi untuk meledek lawakan yang kurang
lucu-biasanya yang disasar adalah Danang-atau penonton di rumah diminta
melakukan voting atas tingkah kedua pembawa acara tersebut.
Keduanya biasa memanggil para penggemar
mereka dengan sebutan "The
Commenters", baik kepada mereka yang hadir di studio maupun yang
menjadi penonton di layar televisi. Entah berapa lama acara ini masih akan
terus jadi kegemaran anak muda zaman sekarang.
Ahad kedua November lalu, Karlina Supelli
mengucapkan pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Tuan
rumah acara ini adalah Dewan Kesenian Jakarta. Acara ini berlangsung dalam
rangka ulang tahun TIM. Judul pidato itu adalah "Kebudayaan dan Kegagapan Kita". Pidato tersebut
sangat menarik, dan yang lebih menarik adalah pidato ini tak mau berhenti
sebagai macan kertas belaka. Pada bagian belakang pidato sepanjang 40
halaman itu, disebutkan "delapan siasat sebagai suatu
kemungkinan".
Karlina menulis siasat pertama demikian: "Ruang-ruang publik kita sudah
terlalu gaduh dengan komentar dari siapa saja yang bisa menjadi pakar
bidang apa saja untuk segala persoalan yang sedang kita hadapi. Tidak ada
yang salah dengan keinginan menjadi selebritas, asal tidak membuat
masyarakat kehilangan pegangan, kalau bukan malah berbalik menganggap
sepele persoalan serius yang sedang menjadi perbincangan. Tugas kebudayaan
para budayawan dan kaum intelektual adalah menghidupkan kembali, pada aras
praktek, perbedaan yang ketat antara komentar-komentar acak dan pemikiran
yang mengakar dalam perenungan yang mendalam."
Kalimat pengajar di STF Driyarkara ini
sungguh menonjok. Komentar-komentar acak. Itu kata kuncinya dan saya pun
diam-diam merasa malu karena terkadang terlalu cerewet di media sosial
untuk urusan yang agak remeh-temeh. Sebelumnya, Karlina menyitir data terakhir:
"Jakarta adalah kota yang paling
cerewet di dunia. Pengguna Twitter nomor satu di dunia saat ini, dengan 15
tweet per detik."
Astaga, kita ini terlalu banyak berkomentar
daripada bekerja sesungguhnya, untuk berbagai macam masalah. Saya jadi malu
karena mereka yang sungguh-sungguh bekerja biasanya jauh dari ingar-bingar
dunia media sosial. Mereka yang sungguhan bekerja juga biasanya tidaklah
narsis untuk menggembar-gemborkan karya. Saya berjanji dalam hati untuk
mengurangi kecerewetan dalam media sosial, walau itu bukan perkara mudah.
Terlalu banyak yang memang perlu dikomentari. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar