Kamis, 26 Desember 2013

Bersiap Menunggu “Taper”

Bersiap Menunggu “Taper”
J Soedradjad Djiwandono  ;   Guru Besar Ekonomi Emeritus Universitas Indonesia, Profesor IPE, RSIS, Nanyang Technological University
KOMPAS,  26 Desember 2013




LANGKAH kebijakan (dan ketidakbijakan) Bank Sentral Amerika Serikat, dikenal sebagai ”Fed” dengan ketua dewan gubernurnya, selalu dicermati banyak pihak di seluruh dunia. Untuk sosialisasi mengenai kebanksentralan, besarnya perhatian ini bagus karena fungsi dan kegiatan bank sentral tidak selalu dimengerti secara jelas, bahkan oleh kalangan yang seharusnya memahami.

Akan tetapi, pembahasan di masyarakat tentang hal ini tidak selalu menjadikan jelasnya pokok masalah, terutama kalau menjadi perdebatan politik, menyangkut pertentangan kepentingan. Ramainya pembahasan dapat menambah ketidakpastian ekonomi-keuangan, karena itu kurang bagus. Dalam kaitan ini, pengumuman Ketua Fed Ben Bernanke, Mei lalu, mengenai kemungkinan diubahnya kebijakan Fed menginjeksi likuiditas besar-besaran ke dalam perekonomian yang sudah berjalan beberapa tahun itu, ternyata telah menimbulkan gejolak di negara-negara yang perekonomiannya berkembang (emerging economies).

Gejolak keuangan ini bahkan dikhawatirkan bisa berkembang menjadi krisis yang ditakuti. Pelaku pasar juga terganggu dengan tambahan ketidakpastian karena sikap Presiden AS Barack Obama yang semula serba ragu mengenai siapa calon pengganti Bernanke yang akan berhenti Januari nanti. Dua nama muncul: Larry Summers dan Donald Kohn sebelum Janet Yallen dijadikan calon yang tampaknya akan diterima Kongres.

Morgan Stanley menyebutkan lima negara yang mudah goyah menghadapi 
implikasi perubahan kebijakan Fed tersebut sebagai ”The Fragile Five”; yaitu Afrika Selatan, Brasil, India, Indonesia, dan Turki. Dilihat dari besarnya depresiasi mata uang masing-masing terhadap dollar AS ataupun menurunnya jumlah cadangan devisa untuk intervensi pasar, Indonesia paling parah menderita.

Fluktuasi pasar dan ”moral hazard”

Dunia keuangan mengenal istilah financial amplifier. Serupa alat yang 
mempertajam keras lemahnya suara,amplifier keuangan mempertajam keras lemahnya persepsi terhadap apa yang terjadi di sektor keuangan. Dalam hal itu, informasi dalam sistem keuangan antara bank dan nasabahnya terkenal bersifat tidak simetris. Nasabah bank tidak setahu pemilik dan manajemen bank mengenai kondisi bank yang sesungguhnya. Demikian pula bank terhadap nasabah. Karena itu, perbedaan persepsi mudah timbul dan dengan ketajaman yang tinggi. Proses ini mudah menimbulkan kesenjangan antara persepsi para pelaku pasar dan kenyataan yang sebenarnya. Padahal, keputusan pemangku kepentingan pasar finansial sering didasarkan atas persepsi masing-masing. Implikasinya, reaksi pasar menjadi ekstrem yang menambah ketidakpastian pasar dan mempertajam fluktuasi.

Perilaku sektor keuangan juga sering dipengaruhi aji mumpung (moral hazard). Moral hazard menggambarkan keadaan di mana pelaku pasar berani mengambil risiko lebih besar dari kemampuannya karena persepsi ada pihak lain yang akan menanggung risiko kegagalan. Sebagai contoh, bank memberikan pinjaman kepada mereka yang tak laik pinjam karena persepsi bahwa kegagalan pembayaran kembali pinjaman akan diselamatkan bank sentral dan pemerintah melalui talangan (bail out). Moral hazard dalam keuangan tak langsung berkaitan dengan moralitas. Ini contoh adanya moral hazard.

Maraknya kebijakan moneter nonkonvensional

Krisis keuangan global 2008/2009 berlanjut dengan krisis pinjaman negara dan perbankan di Eropa mulai akhir 2010. Keduanya telah menyebabkan terjadinya resesi ekonomi dunia yang berkepanjangan, dikenal sebagai the great recession. Krisis keuangan ini juga telah membuat maraknya penerapan sejumlah langkah kebijakan moneter baru. Kebijakan moneter baru ini dikenal sebagai kebijakan moneter nonkonvensional. Yang banyak dibahas di masyarakat adalah tindakan Fed dan sejumlah bank sentral untuk melakukan injeksi likuiditas besar-besaran, dikenal sebagai  quantitative easing (QE).

Kebijakan ini menggunakan sekuritas lembaga keuangan yang berkaitan dengan pinjaman jangka panjang (mortgage-backed securities,/MBS), berbeda dengan instrumen yang biasa digunakan, seperti treasury bills dan obligasi. Aset finansial (MBS) yang dibeli bank sentral dalam kebijakan ini dikeluarkan lembaga keuangan nonbank (shadow banks) yang tak lazim dilayani bank sentral. 

Sasaran kebijakan moneter ini tidak hanya stabilisasi moneter, tetapi juga pertumbuhan dan kesempatan kerja, dipengaruhi melalui dorongan terhadap investasi sebagai sasaran antara. Ini berjangka panjang dan biasanya dalam area kebijakan fiskal, bukan moneter.

Sulitnya penerapan kebijakan fiskal telah mendorong Fed, Bank of England, Bank Sentral Eropa (ECB), dan Bank of Japan (BoJ) menerapkan kebijakan moneter nonkonvensional, seperti QE. Buat saya kebijakan tersebut lebih tepat disebut kebijakan moneter-cum-fiskal.

Di AS, tidak berfungsinya kebijakan fiskal disebabkan pertentangan ideologis kubu Demokrat dan Republik di Kongres yang sukar dipertemukan (gridlock). Di negara-negara zona euro, batas maksimal tingkat pinjaman pemerintah telah jauh terlampaui. Adapun di Jepang, meskipun PM Abe berusaha menggunakan stimulus fiskal, dengan tingkat pinjaman yang sudah lebih dari dua kali lipat nilai PDB-nya juga lebih menggantungkan pada QE. Masalahnya, dalam globalisasi keuangan, dana yang selalu mengalir ke tempat yang memberikan imbalan terbesar (fungible) berlaku di sini. Suku bunga di AS dan negara maju lain yang sudah lama sangat rendah, mendekati nol, selalu mendorong tambahan dana QE ke perekonomian yang memberikan suku bunga yang lebih baik. Dalam hal ini, negara-negara dengan ekonominya yang berkembang atau emerging economies, termasuk Indonesia dan negara lain dalam The Fragile Five, selalu menjadi tempat mengalirnya dana-dana tersebut dengan risiko yang melekat padanya.

Menghadapi ”taper”

Bulan Mei lalu, karena perbaikan kinerja perekonomian AS, Bernanke membuat pernyataan akan dilakukan pengurangan pembelian sekuritas 85 miliar dollar AS per bulan. Sejak itu, istilah taper atau tapering off menjadi populer. Bagaimana dampak pelaksanaan kebijakan tersebut terhadap negara berkembang menjadi hal yang menyibukkan pelaku pasar dan merepotkan otoritas moneter, termasuk di Indonesia. Semua mencoba menebak dan membuat langkah pengamanan dengan perkiraan masing-masing mengenai kapan taper akan dilakukan dan berapa besar pengurangannya.

Akan tetapi, buat Fed yang membeli aset finansial 85 miliar dollar AS per bulan selama beberapa tahun terakhir, apa dampak pembelian tersebut dan sebaliknya terhadap ekonomi negara berkembang, tidak masuk dalam perhitungannya. Kalaupun dampak tersebut diperhatikan, hanya dianggap sampingan atau collateral damage. Padahal, volume transaksi yang kecil di negara adikuasa bagi negara berkembang sudah sangat besar.

Menghadapi kondisi serba tidak pasti ini bagi perekonomian negara berkembang tidak ada pilihan lain, suka atau tidak suka implikasi dari kebijakan perekonomian negara maju, baik langsung maupun tidak langsung, harus diperhitungkan dalam penyusunan kebijakan ekonomi moneternya masing-masing. Dampak tersebut penting diperhatikan, baik yang negatif maupun sebaliknya. Tampaknya pengumuman Fed tentang akan dilakukan perubahan pembelian sekuritas itu telah mengagetkan pasar dan menimbulkan gejolak. Ini sebenarnya menandakan ada sesuatu yang tidak diperhatikan sebelumnya. Kebijakan pembelian sekuritas oleh Fed dan bank sentral lain yang meningkatkan aliran dana ke negara-negara berkembang menjadi sumber pembiayaan kegiatan dan menambah cadangan devisa selama ini agaknya tidak diperlakukan sebagai aliran modal sementara dan yang berjangka pendek. Mungkin ada moral hazard di sini sehingga kurang dilakukan langkah pengamanan pada waktu masuknya dana berjangka pendek tersebut. Sebagai akibatnya, pengumuman Bernanke mengenai kemungkinan diubahnya kebijakan menjadi suatu kejutan yang menumbuhkan gejolak dana mengalir balik secara beramai-ramai.

Persoalannya, apakah aliran balik ini hanya menyangkut dana jangka pendek yang sebelumnya diparkir sementara sambil menunggu kesempatan baru di negeri asal, atau ada tambahan aliran yang merupakan pelarian modal. Ini yang harus dilihat secara jeli. Proses terjadinya menyangkut kinerja neraca pembayaran yang juga perlu dilihat secara jeli, mana perubahan yang terjadi secara struktural, buat Indonesia misalnya perubahan dari posisi pengekspor minyak secara neto menjadi pengimpor atau pengaruh penurunan harga komoditas, dan sebagainya. Meski kebijakan moneter nonkonvensional, seperti suku bunga mendekati nol dan injeksi likuiditas besar-besaran, telah bertahun-tahun diterapkan negara-negara maju, langkah tersebut bukan permanen. 
Menyikapi pembelian sekuritas oleh Fed yang sementara ini sebagai permanen dapat membuat teledor sehingga kaget waktu harus menerima bahwa aliran dana itu memang bukan permanen.

Saat ini pasar menunggu dengan gelisah apa yang akan terjadi dalam rapat FOMC 16-17 Desember, rapat terakhir sebelum tahun 2013 berakhir yang menentukan kebijakan moneter AS. Sementara tampak bahwa perekonomian AS menunjukkan kinerja yang membaik: meningkatnya laju pertumbuhan PDB, inflasi tetap rendah, dan tingkat pengangguran menurun ke arah patokan diterapkannya QE. Apakah karena semua ini Fed akan memberi hadiah Natal berupa realisasi pengurangan pembelian sekuritas? Wallahualam. Menghadapi ketidakpastian, kesiapsiagaan tidak boleh kendur.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar