Beberapa hari ke depan
tampaknya akan menjadi moment
spesial bagi sebagian besar orang, khususnya para pelaku kesehatan. Ada
apa gerangan?
Kurang
dari dua minggu lagi, negara ini akan memiliki sebuah program
perlindungan kesehatan bernama Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tepat 1
Januari 2014, program yang akan diselenggarakan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan ini secara resmi diluncurkan.
Sebagaimana
diamanatkan UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) dan UU Nomor 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial,
pemerintah mengemban kewajiban untuk memberikan jaminan sosial bagi
seluruh rakyat di republik ini.
Ada lima
jenis jaminan sosial. Jaminan kesehatan adalah salah satunya. Jadi, mulai
1 Januari 2014, seluruh warga negara Indonesia wajib mengikuti program
ini, meskipun target kepesertaannya bertahap hingga 2019.
Tren
penyebaran penyakit dan mahalnya ongkos berobat memang melatarbelakangi
lahirnya program JKN. Banyak masyarakat yang terkendala finansial, bahkan
menjadi jatuh miskin kala harus berurusan dengan pengobatan. Selama
ini masyarakat memang banyak yang belum dilindungi jaminan kesehatan.
Menurut
catatan Kementerian Kesehatan, baru sekitar 148 juta jiwa atau 63 persen
dari jumlah penduduk yang memiliki asuransi kesehatan, baik asuransi
sosial seperti yang dikelola PT Askes maupun asuransi komersial oleh
perusahaan insurance swasta.
Kesadaran
untuk memiliki asuransi kesehatan masih relatif rendah, terutama bagi
masyarakat menengah ke bawah. Jangankan memikirkan asuransi, untuk
menghidupi kesehariannya saja terkadang sulit.
Persiapan
Pemerintah
Melihat
situasi ini, pemerintah rupanya tergugah untuk membantu rakyatnya dalam
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya melalui program jaminan
tersebut. Tujuan utama JKN sejatinya memberikan kemudahan akses kepada
seluruh penduduk dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan
berkeadilan, kapan pun dan di mana pun.
Program
ini wajib diikuti seluruh penduduk dan dijalankan dengan prinsip gotong
royong. Artinya, bagi masyarakat miskin dan tidak mampu, iurannya
dibayari pemerintah. Kelompok masyarakat ini masuk dalam Penerima Bantuan
Iuran (PBI) yang kriterianya ditetapkan Kementerian Sosial atas dukungan
data yang valid dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
(TNP2K).
Masyarakat
yang mampu, seperti pekerja dan pemberi kerja baik formal maupun
nonformal diwajibkan membayar premi sesuai kelas perawatan yang
diinginkan.
Untuk
mempersiapkan JKN, sudah banyak sekali yang diselesaikan dalam setahun
ini, tidak hanya oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan,
tetapi juga PT Askes yang akan berganti baju dari sebuah BUMN menjadi
lembaga publik BPJS Kesehatan, serta pihak-pihak terkait lainnya. Ada
tiga perhatian utama dalam proses penyiapannya, transformasi PT Askes
menjadi BPJS Kesehatan, cakupan kepesertaan, dan manfaat layanan.
Bila
ditilik lebih jauh ke belakang, sebenarnya program ini sudah direncanakan
sejak sembilan tahun lalu, ketika UU SJSN diterbitkan. Namun, karena
berbagai dalih atas kendala pada rancangan pembentukan badan pengelola,
kesiapan fasilitas penyedia layanan, dan dari sisi anggaran negara
membutuhkan waktu sedemikian lama untuk mewujudkannya.
Belum
lagi tarik menarik antarkepentingan dari berbagai institusi yang selama
ini mengelola jaminan kesehatan yang sifatnya sosial, semacam Jamsostek
dan Asabri yang memiliki jutaan peserta dan aset triliunan rupiah. Hal
ini membuat proses peralihannya menjadi tidak mudah.
Kendala
Mengadang
Sedemikian
hiruk pikuknya persiapan yang dilakukan memang tidak banyak diketahui
publik. Banyak yang telah dilakukan tetapi masih ada beberapa kendala dan
hambatan yang belum terselesaikan, bahkan hingga injury time seperti saat
ini. Sosialisasi tentang keberadaan program ini dirasakan masih sangat
minim.
Masyarakat
masih bertanya-tanya tentang siapa saja yang dijamin, manfaat apa saja
yang diperoleh, bagaimana cara menjadi peserta, bagaimana prosedur
pelayanannya, apakah benar-benar gratis atau masih ditarik biaya dan
sejumlah pertanyaan lain yang ada di benak mereka.
Lebih
dari itu, yang sering dikhawatirkan adalah kesiapan pemerintah di bidang
pelayanan dan SDM. Belum lama ini Wapres Boediono blusukan ke sebuah
puskesmas di Jakarta untuk melihat kesiapan implementasi JKN. Wapres
menilai JKN siap dilaksanakan BPJS.
Jauh
hari sebelumnya juga telah dilakukan uji coba penerapan JKN sejak awal
2013 (pilot project) di tiga provinsi, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Aceh.
Setelah dievaluasi uji coba tersebut dinyatakan daerah telah memiliki
kesiapan yang memadai. Tapi benarkah demikian?
Pelayanan
pada fasilitas kesehatan menjadi sorotan utama. Kasus malapraktik
oleh dokter dan penolakan pasien oleh RS bukanlah hal yang asing
terdengar oleh kita. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana kasus bayi
Dara dan Dera yang ketika hendak dilahirkan ditolak oleh sembilan RS di
Jakarta.
Belum
lama ini juga terkuak kasus malapraktik yang dilakukan dr Ayu dkk yang
akhirnya dijebloskan ke penjara. Masih banyak kasus semacam ini, baik
yang diekspos media maupun yang tidak diketahui publik sama sekali.
Dari
sisi kuantitas provider pelayanan kesehatan, tercatat saat ini telah ada
sekitar 9.500 puskesmas dan lebih dari 2.000 RS yang tersebar di seluruh
Indonesia. Dalam hal SDM, jumlahnya pun tidak kurang. Tapi concern kita
tentu tidak hanya jumlah, tapi juga kualitas.
RS
dan SDM masih relatif banyak yang belum memenuhi standar dan telah
terakreditasi. Belum ada jaminan tidak akan ada lagi diskriminasi dalam
pelayanan.
Khusus
SDM kesehatan, permasalahan masih ditambah belum meratanya distribusi di
daerah, khususnya di wilayah terpencil, perbatasan, dan kepulauan
sehingga tidak heran bila masih banyak saudara-saudara kita yang sulit
mendapatkan pelayanan kesehatan memadai.
Masalah
tidak hanya berhenti di situ. Persoalan lain muncul dengan adanya
resistensi dari kalangan pemberi layanan, khususnya para dokter. Dengan
sistem pembayaran model kapitasi dan INA CBGs, membuat ketidakjelasan
besaran bagian yang akan mereka terima dari premi yang dibayarkan
peserta. Hal ini menimbulkan keengganan untuk mendukung program
jaminan kesehatan sosial ini.
Begitu
juga kalangan buruh dan pengusaha. Walaupun kabarnya kedua belah pihak
pada akhirnya menyetujui berpartisipasi dan membayar premi dengan
proporsi pembayaran sebesar 1:4 (1 persen oleh pekerja, 4 persen oleh
perusahaan), prosesnya harus dilalui perundingan tripartit yang alot dan
panjang.
Masih Ada
Asa
Lalu
bagaimana nasib asuransi dan jaminan kesehatan lainnya. Justru kehadiran
JKN ini untuk mengintegrasikan seluruh jaminan kesehatan, khususnya yang
dikelola pemerintah dan BUMN, seperti Askes, Jamkesmas, Jamkesda, jaminan
kesehatan bagi pekerja pada Jamsostek, dan jaminan kesehatan bagi anggota
TNI/Polri yang ditangani Asabri.
Khusus
untuk Jamkesda, pemerintah daerah saat ini masih diberikan dispensasi
untuk mengelolanya, sebelum secara penuh bergabung dengan JKN pada 2019
saat jaminan kesehatan semesta (UHC) ditargetkan benar-benar terealisasi.
Asuransi swasta dapat terus beroperasi. Dalam konteks JKN fungsinya lebih
kepada pelengkap manfaat nonmedis, seperti bila pasien ingin naik kelas
perawatan, istilahnya ada coordination of benefit.
Dengan
berbagai permasalahan tadi dan segudang pekerjaan rumah lainnya, serta
masih adanya keraguan dan pesimisme dari sejumlah pihak, mungkinkah BPJS
Kesehatan dapat memulai program JKN dengan baik? Kita tunggu saja.
Tentu
kita juga harus mendukung niat baik pemerintah ini. Tidak mudah memang,
tetapi bila tidak segera dimulai, kapan lagi?
Sesuatu
yang sulit tidak akan kita ketahui hasilnya jika kita tidak berani
memulainya. Tentunya ini bukan berarti melepaskan kewajiban untuk terus
memantau, mengevaluasi, dan mengawasi penyelenggaraan JKN ini, juga harus
dibarengi dengan upaya untuk melakukan penyempurnaan.
Sukses
tidaknya program ini menjadi pertaruhan bagi pemerintah dalam menjaga
reputasinya. Setidaknya ini menjadi warisan dari pemerintahan SBY
bagi kelanjutan pembangunan bangsa ini. Kita juga harus fair menilai bila
kemudian pada awal pelaksanaannya tidak sesuai harapan dan masih banyak
kekurangan di sana-sini. Selama fase transisi ini rasanya kita harus
dapat memakluminya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar