Sabtu, 21 Desember 2013

Menghitung Hari Menuju Jaminan Kesehatan Nasional

Menghitung Hari Menuju Jaminan Kesehatan Nasional
Aji Muhawarman  ;    Mahasiswa Program Magister
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
SINAR HARAPAN,  21 Desember 2013

  

Beberapa hari ke depan tampaknya akan menjadi moment spesial bagi sebagian besar orang, khususnya para pelaku kesehatan. Ada apa gerangan?
Kurang dari dua minggu lagi, negara ini akan memiliki sebuah program perlindungan kesehatan bernama Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tepat 1 Januari 2014, program yang akan diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan ini secara resmi diluncurkan.

Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Nomor 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, pemerintah mengemban kewajiban untuk memberikan jaminan sosial bagi seluruh rakyat di republik ini.

Ada lima jenis jaminan sosial. Jaminan kesehatan adalah salah satunya. Jadi, mulai 1 Januari 2014, seluruh warga negara Indonesia wajib mengikuti program ini, meskipun target kepesertaannya bertahap hingga 2019.

Tren penyebaran penyakit dan mahalnya ongkos berobat memang melatarbelakangi lahirnya program JKN. Banyak masyarakat yang terkendala finansial, bahkan menjadi jatuh miskin kala harus berurusan dengan pengobatan. Selama ini masyarakat memang banyak yang belum dilindungi jaminan kesehatan.

Menurut catatan Kementerian Kesehatan, baru sekitar 148 juta jiwa atau 63 persen dari jumlah penduduk yang memiliki asuransi kesehatan, baik asuransi sosial seperti yang dikelola PT Askes maupun asuransi komersial oleh perusahaan insurance swasta.

Kesadaran untuk memiliki asuransi kesehatan masih relatif rendah, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Jangankan memikirkan asuransi, untuk menghidupi kesehariannya saja terkadang sulit.

Persiapan Pemerintah

Melihat situasi ini, pemerintah rupanya tergugah untuk membantu rakyatnya dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya melalui program jaminan tersebut. Tujuan utama JKN sejatinya memberikan kemudahan akses kepada seluruh penduduk dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan berkeadilan, kapan pun dan di mana pun.

Program ini wajib diikuti seluruh penduduk dan dijalankan dengan prinsip gotong royong. Artinya, bagi masyarakat miskin dan tidak mampu, iurannya dibayari pemerintah. Kelompok masyarakat ini masuk dalam Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang kriterianya ditetapkan Kementerian Sosial atas dukungan data yang valid dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).

Masyarakat yang mampu, seperti pekerja dan pemberi kerja baik formal maupun nonformal diwajibkan membayar premi sesuai kelas perawatan yang diinginkan.
Untuk mempersiapkan JKN, sudah banyak sekali yang diselesaikan dalam setahun ini, tidak hanya oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan, tetapi juga PT Askes yang akan berganti baju dari sebuah BUMN menjadi lembaga publik BPJS Kesehatan, serta pihak-pihak terkait lainnya. Ada tiga perhatian utama dalam proses penyiapannya, transformasi PT Askes menjadi BPJS Kesehatan, cakupan kepesertaan, dan manfaat layanan.

Bila ditilik lebih jauh ke belakang, sebenarnya program ini sudah direncanakan sejak sembilan tahun lalu, ketika UU SJSN diterbitkan. Namun, karena berbagai dalih atas kendala pada rancangan pembentukan badan pengelola, kesiapan fasilitas penyedia layanan, dan dari sisi anggaran negara membutuhkan waktu sedemikian lama untuk mewujudkannya.

Belum lagi tarik menarik antarkepentingan dari berbagai institusi yang selama ini mengelola jaminan kesehatan yang sifatnya sosial, semacam Jamsostek dan Asabri yang memiliki jutaan peserta dan aset triliunan rupiah. Hal ini membuat proses peralihannya menjadi tidak mudah.

Kendala Mengadang

Sedemikian hiruk pikuknya persiapan yang dilakukan memang tidak banyak diketahui publik. Banyak yang telah dilakukan tetapi masih ada beberapa kendala dan hambatan yang belum terselesaikan, bahkan hingga injury time seperti saat ini. Sosialisasi tentang keberadaan program ini dirasakan masih sangat minim.

Masyarakat masih bertanya-tanya tentang siapa saja yang dijamin, manfaat apa saja yang diperoleh, bagaimana cara menjadi peserta, bagaimana prosedur pelayanannya, apakah benar-benar gratis atau masih ditarik biaya dan sejumlah pertanyaan lain yang ada di benak mereka.

Lebih dari itu, yang sering dikhawatirkan adalah kesiapan pemerintah di bidang pelayanan dan SDM. Belum lama ini Wapres Boediono blusukan ke sebuah puskesmas di Jakarta untuk melihat kesiapan implementasi JKN. Wapres menilai JKN siap dilaksanakan BPJS.

Jauh hari sebelumnya juga telah dilakukan uji coba penerapan JKN sejak awal 2013 (pilot project) di tiga provinsi, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Aceh. Setelah dievaluasi uji coba tersebut dinyatakan daerah telah memiliki kesiapan yang memadai. Tapi benarkah demikian?

Pelayanan pada fasilitas kesehatan menjadi sorotan utama. Kasus malapraktik oleh dokter dan penolakan pasien oleh RS bukanlah hal yang asing terdengar oleh kita. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana kasus bayi Dara dan Dera yang ketika hendak dilahirkan ditolak oleh sembilan RS di Jakarta.

Belum lama ini juga terkuak kasus malapraktik yang dilakukan dr Ayu dkk yang akhirnya dijebloskan ke penjara. Masih banyak kasus semacam ini, baik yang diekspos media maupun yang tidak diketahui publik sama sekali.

Dari sisi kuantitas provider pelayanan kesehatan, tercatat saat ini telah ada sekitar 9.500 puskesmas dan lebih dari 2.000 RS yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam hal SDM, jumlahnya pun tidak kurang. Tapi concern kita tentu tidak hanya jumlah, tapi juga kualitas.

RS dan SDM masih relatif banyak yang belum memenuhi standar dan telah terakreditasi. Belum ada jaminan tidak akan ada lagi diskriminasi dalam pelayanan.

Khusus SDM kesehatan, permasalahan masih ditambah belum meratanya distribusi di daerah, khususnya di wilayah terpencil, perbatasan, dan kepulauan sehingga tidak heran bila masih banyak saudara-saudara kita yang sulit mendapatkan pelayanan kesehatan memadai.

Masalah tidak hanya berhenti di situ. Persoalan lain muncul dengan adanya resistensi dari kalangan pemberi layanan, khususnya para dokter. Dengan sistem pembayaran model kapitasi dan INA CBGs, membuat ketidakjelasan besaran bagian yang akan mereka terima dari premi yang dibayarkan peserta. Hal ini menimbulkan keengganan untuk mendukung program jaminan kesehatan sosial ini.

Begitu juga kalangan buruh dan pengusaha. Walaupun kabarnya kedua belah pihak pada akhirnya menyetujui berpartisipasi dan membayar premi dengan proporsi pembayaran sebesar 1:4 (1 persen oleh pekerja, 4 persen oleh perusahaan), prosesnya harus dilalui perundingan tripartit yang alot dan panjang.

Masih Ada Asa

Lalu bagaimana nasib asuransi dan jaminan kesehatan lainnya. Justru kehadiran JKN ini untuk mengintegrasikan seluruh jaminan kesehatan, khususnya yang dikelola pemerintah dan BUMN, seperti Askes, Jamkesmas, Jamkesda, jaminan kesehatan bagi pekerja pada Jamsostek, dan jaminan kesehatan bagi anggota TNI/Polri yang ditangani Asabri.

Khusus untuk Jamkesda, pemerintah daerah saat ini masih diberikan dispensasi untuk mengelolanya, sebelum secara penuh bergabung dengan JKN pada 2019 saat jaminan kesehatan semesta (UHC) ditargetkan benar-benar terealisasi. Asuransi swasta dapat terus beroperasi. Dalam konteks JKN fungsinya lebih kepada pelengkap manfaat nonmedis, seperti bila pasien ingin naik kelas perawatan, istilahnya ada coordination of benefit.

Dengan berbagai permasalahan tadi dan segudang pekerjaan rumah lainnya, serta masih adanya keraguan dan pesimisme dari sejumlah pihak, mungkinkah BPJS Kesehatan dapat memulai program JKN dengan baik? Kita tunggu saja.
Tentu kita juga harus mendukung niat baik pemerintah ini. Tidak mudah memang, tetapi bila tidak segera dimulai, kapan lagi?

Sesuatu yang sulit tidak akan kita ketahui hasilnya jika kita tidak berani memulainya. Tentunya ini bukan berarti melepaskan kewajiban untuk terus memantau, mengevaluasi, dan mengawasi penyelenggaraan JKN ini, juga harus dibarengi dengan upaya untuk melakukan penyempurnaan.

Sukses tidaknya program ini menjadi pertaruhan bagi pemerintah dalam menjaga reputasinya. Setidaknya ini menjadi warisan dari pemerintahan SBY bagi kelanjutan pembangunan bangsa ini. Kita juga harus fair menilai bila kemudian pada awal pelaksanaannya tidak sesuai harapan dan masih banyak kekurangan di sana-sini. Selama fase transisi ini rasanya kita harus dapat memakluminya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar