Sabtu, 21 Desember 2013

Peran Ibu dan Kepungan Hedonisme

Peran Ibu dan Kepungan Hedonisme
Siti Muyassarotul Hafidzoh  ;    Ibu Rumah Tangga dan Peneliti pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
SINAR HARAPAN,  21 Desember 2013
  


Seorang ibu adalah pelita hidup, penawar duka, penerang hati dan bidadari bagi buah hatinya. Ruh seorang ibu melekat pada jiwa anak-anaknya.
Setiap apa yang dilakukan ibu adalah teladan bagi mereka. Ibu cermin untuk mereka dalam mengarungi kehidupan dan masa depan mereka. Kehidupan yang penuh warna, cita, dan cinta. Itulah ibu, belahan jiwa setiap nafas buah hatinya.

Seorang ibu selalu memiliki sisi kehidupan yang dipenuhi gaya hidup kesehariannya. Gaya hidup yang dimiliki seorang ibu akan tak jauh berbeda dengan yang diwarisi anaknya kelak. Namun, akan mengkhawatirkan ketika gaya hidup seorang ibu penuh dengan gejolak hedonisme. Anaknya pun akan mewarisi gaya tersebut.

Hedonisme memang baru-baru ini menjadi wacana banyak orang. Gaya hidup hedonisme yang diwarnai kemewahan dunia melambangkan keangkuhan tersendiri bagi si pemiliknya. Menjadi lebih mendorong seseorang menjadi tidak percaya diri dan lebih tidak peduli dengan orang lain.

Hedonisme merupakan salah satu teori etika yang paling tua, paling sederhana, paling kebenda-bendaan, dan selalu ditemukan dari abad ke abad. Untuk aliran ini, kesenangan (kenikmatan) adalah tujuan akhir hidup dan yang baik yang tertinggi. Kaum hedonis modern memilih kata kebahagiaan untuk kesenangan.

Paham ini sedikit demi sedikit masuk dalam kehidupan para perempuan. 
Perempuan merasa kurang cantik jika tidak memakai perhiasan, perempuan merasa kurang cantik ketika tidak memakai pakaian mahal, perempuan merasa kurang cantik ketika tidak memakai make-up.

Cantik yang mereka pahami akhirnya hanya berlaku ketika perempuan memakai sesuatu yang dianggapnya mahal dan berharga. Tidak sebatas itu, bahkan kemewahan yang lebih, seperti memiliki mobil mewah, perhiasan mewah, rumah mewah, bahkan sampai hal-hal kecil seperti alat dapur pun menjadi alat ukur perempuan untuk mendapatkan pujian yang diinginkan.

Ketika gaya hidup ini dilakukan seorang ibu, kemungkinan besar anaknya pun akan melakukan gaya hidup seperti ibunya. Akan menjadi tidak sehat bagi perkembangan si anak. Anak yang dalam masa pertumbuhan ketika dikenalkan dengan gaya hidup hedonis, akan membuat karakter mereka menjadi angkuh.

Kemudian mereka saling pamer kepada teman-temannya, saling sombong dan saling merasa paling “wah”. Terjadilah yang tidak cantik, tidak “wah”; yang tidak berduit, tidak “wah”; yang tidak memiliki ibu kaya, tidak “wah”. Dunia “wah” adalah tolok ukur bagi mereka untuk mendapatkan eksistensinya.

Inilah yang pada akhirnya menjadi salah kaprah. Seharusnya seorang anak dalam masa perkembangan selalu disajikan ilmu dan prestasi belajar, malah disajikan dengan kemewahan kekayaan orang tuanya.

Kesederhanaan

Perempuan adalah makhluk yang cantik, dengan hanya kesederhanaan pun mereka tetaplah cantik. Itulah perempuan.

Tak perlu perhiasan mahal, aksesori mewah, perawatan salon dan sebagainya hanya untuk menampakkan kecantikannya. Namun, tampil apa adanya, bertutur ramah, senyum yang murah, dan sikap menyenangkan jauh lebih bernilai cantik. Inilah yang disebut inner beauty, pesona lain perempuan yang indah.

Percayalah perempuan akan cantik dengan kesederhanaan. Oleh karena itu, sebagai perempuan pupukkan keindahan diri bukan dengan kemewahan, melainkan dengan selalu berpikir positif.

Sepintas memang tak ada hubungannya dengan kecantikan, namun hal tersebut sangat erat kaitannya. Aura positif yang perempuan ciptakan akan berpengaruh pada setiap orang yang ditemuinya. Energi positif tersebut akan memancarkan kecantikan dalam diri perempuan.

Seorang ibu adalah bidadari bagi anak-anaknya. Tak perlulah memiliki gaya hidup yang hedonis. Ketika ibu tampil dengan kesederhanaan, mereka pun akan bangga dengan apa yang mereka miliki. Mereka lebih percaya diri dan akan berpengaruh positif bagi perkembangan mereka.

Mengarahkan pada anak-anak untuk hidup sederhana adalah mengarahkan pada mereka untuk belajar saling menghargai. Entah kepada orang kaya maupun miskin rasa saling menghargai akan terus melekat pada sifat dasar mereka.

Kemudian dengan tidak mengandalkan kekayaan dan kemewahan, arahkan mereka pada prestasi akademiknya. Buatlah anak percaya kecantikan atau kegantengan akan muncul ketika seseorang memiliki prestasi.

Tanpa barang mewah, tanpa benda mahal, hanya kesederhanaanlah yang membawa seseorang lebih menghargai kehidupan dengan baik. Menjadi seorang ibu bijaksana mengahantarkan masa depan anak menjadi cerah. 

Karakter yang dibangun sejak dini akan melahirkan generasi-generasi bangsa yang memiliki jiwa arif, percaya diri, serta penuh kreasi dan inovasi.
Bangunan konsep pencerahan untuk bangsa berakar dari seorang ibu yang menyiapkan anak-anaknya yang cerdas, berprestasi, dan yang memiliki kesederhanaan. Dari sinilah karakter bangsa yang mulai luntur kembali bangkit dan berdiri tegak. Karakter yang sudah dibangun para lelurur kita.

Wejangan dari KI Hajar Dewantara bisa kita ibaratkan ing ngarso sung tulodo (yang di depan memberi keteladanan). Kepala keluarga, yakni ayah, haruslah memberikan teladan yang baik bagi anggota keluarganya. Kemudian ing madyo mangun karso (yang di tengah bekerja dengan penuh pengabdian).

Seorang ibu yang selalu mengabdikan segala hal untuk kemaslahatan keluarga, khususnya anak-anaknya. Lalu tut wuri handayani (yang di belakang mengikuti dengan ketaatan). Anak-anak akan mengikuti keteladanan orang tuanya dengan penuh ketaatan. Wejangan tersebut akan kembali lestari. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar