RANCANGAN Undang-Undang Desa
akhirnya disahkan. Sebuah kisah manis bagi desa yang selama ini
terlupakan oleh magnet kota yang selalu menggoda. Lewat kebijakan baru
tersebut, desa dapat berdiri secara otonom dalam menentukan arah
pembangunannya sendiri sekaligus memberikan kesempatan bagi menguatnya
`otonomi asli desa' yang berbasis pada nilai sosial dan identitas lokal
pedesaan.
Kita perlu mengapresiasi kado
akhir tahun yang diberikan pemerintah dan DPR sebagai bagian dari upaya
mempercepat program pemerataan pembangunan yang selama ini berfokus pada
kota. Melalui Undang-Undang Desa, petikan syair Iwan Fals harus kita
dendangkan dengan keras, desa adalah kekuatan sejati, negara harus
berpihak pada para petani, desa adalah kenyataan, kota adalah
pertumbuhan!
Dengan memperkuat desa, itu
sama artinya membangun ekonomi politik yang tidak hanya berfokus pada
pembangunan kota, tetap juga merupakan gambaran keberpihakan pada rakyat
banyak. Menurut data statistik nasional (BPS: 2010) sebesar 50,21%
penduduk Indonesia berada di desa. Itu artinya membangun desa berarti
membangun manusia Indonesia dalam skala yang lebih besar.
Apalagi, kabar gembira dari
Undang-Undang Desa secara terang-terangan memuat dua kewajiban penting.
Pertama, nilai alokasi anggaran yang diperuntukkan langsung ke desa
nilainya sebesar 10% dari dan di luar dana transfer daerah. Secara
sederhana, jika Anggaran Pembelanjaan Belanja Negara 2014 mencapai
Rp590,2 triliun, alokasi anggaran desa untuk seluruh Indonesia harusnya
bisa mencapai Rp59,02 triliun.
Kedua, selain bersumber dari
APBN, desa juga mendapatkan suntikan du kungan dari dana perimbangan oleh
pemerintah kabupaten/kota. Angka itu, menurut sejumlah data yang ada,
bisa mencapai jumlah Rp100 triliun bagi 72,944 desa (jumlah desa data
Kemendagri, 2012) di seluruh Indonesia yang sama artinya jika
dirataratakan, setiap desa akan memperoleh antara Rp600 juta-Rp1,4 miliar
per tahun. Angka itu cukup besar untuk memperkuat desa yang se lama ini
termar gi nalkan dalam model `ekonomi politik orang-orang kota'!
Gerakan kembali ke desa
Sudah waktunya sejumlah
kalangan mulai berpikir memperbaiki negeri ini dari desa. Sarjana lulusan
perguruan tinggi tak perlu lagi beramai-ramai menuju atau tinggal di
kota. Mari kembali ke desa masing-masing untuk mulai membangun kampung
dengan hal-hal yang sederhana, tetapi memiliki manfaat yang besar.
Jika Anda seorang sarjana
pertanian, mulailah berpikir mengembangkan pertanian di kampung Saudara.
Jika lulusan ekonomi, mari mulai berpikir membangun usaha produktif yang
dapat memberdayakan ekonomi desa lewat badan usaha milik desa (bumdes)
agar lebih baik daripada industri kota. Para lulusan sekolah guru, mari
mengajar di kampung halaman dan mulai memberikan pendidikan yang baik
bagi anak-anak desa, demikian pula lulusan sarjana politik sudah waktunya
membangun tatanan politik yang sehat di kampung kita masing-masing.
Desa membutuhkan manusia manusia
terdidik untuk dapat berkembang walau pada sisi tertentu juga sudah waktu
nya bagi para sarjana kota untuk belajar dari keber sahajaan desa, tatan
an kehidupan desa, dan ke asliannya. Dengan demikian, mereka tidak
memandang desa sebagai objek eksploitasi, tetapi menjadikan desa sebagai
sarana harmoni antara pelajaran kota dan kearifan desa.
Ekonomi politik
Dengan potensi besar yang
dimiliki desa saat ini, dalam hemat saya perlu pula ada penguatan pada
tiga aspek kunci, yakni kelembagaan, aktor, dan mekanisme kontrol atas
keberpihakan.
Pertama, aspek kelembagaan. Dalam
aspek kelembagaan, adanya kekhususan dari setiap bentuk desa, asal usul,
dan batasan otoritas adat ialah celah besar yang pada titik tertentu bisa
kembali akan menjadi persoalan jika tidak diantisipasi sejak dini.
Walau dalam ketentuan umum
pada pasal 1 ayat ke-5 hal tersebut telah dijelaskan, keragaman yang
begitu besar atas aspek kelembagaan desa di setiap wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) membuat pemerintah pusat perlu
merumuskan dengan baik secara bersama-sama dengan kepala daerah
masing-masing, baik tingkat I maupun tingkat II, dalam hal persoalan
keragaman kelembagaan tersebut.
Jangan sampai niat baik ini
justru menjadi celah bagi lahirnya perpecahan dan konflik. Apalagi secara
terang-terangan Undang-Undang Desa juga mengandung persoalan politis yang
besar, terutama pada Bab 7 Pasal 44 tentang mekanisme pemilihan kepala
desa secara langsung.
Bukankah kita sudah bosan
dengan konflik pemilu kada? Jangan sampai kita akan kembali menyaksikan
konflik pemilihan kepala desa di banyak desa di banyak tempat!
Kedua, pada aspek otoritas
aktor. Dengan Undang-Undang Desa yang berlaku, kewenangan seorang kepala
desa menjadi begitu besar, mulai dari menyusun APB Desa sampai pada hakim
perdamaian desa (lihat Undang-Undang Desa Pasal 24:2) diktum Lord Acton
telah mengingatkan bahwa kekuasaan dan korupsi terkadang berjalan seiring
sejalan.
Jangan sampai Undang-Undang
Desa justru hanya memindahkan perilaku korup dari atas menjadi menyebar
ke banyak titik. Mekanisme pengawasan internal atas kekuasaan dan
otoritas kepala desa menjadi penting untuk dilakukan sehingga tujuan
mulia Undang-Undang Desa dapat berjalan, bukan justru melahirkan
kekuasaan koloni-koloni baru yang membangun dinasti dengan korupsi.
Ketiga, mekanisme kontrol atas
keberpihakan. Dalam Undang-Undang Desa pada Pasal 75 ayat 1 tercantum
pemerintah desa dapat mengadakan kerja sama dengan pihak ketiga. Pasal
ini merupakan sebuah celah yang begitu rawan jika tidak diawasi dengan
baik. Kita sudah melihat fakta sejak diberlakukannya otonomi daerah,
begitu banyak kepala daerah tersandung kasus hukum hanya karena terjerat
oleh kepentingan para pengusaha.
Pada titik inilah dibutuhkan
gerakan pengawalan yang serius dari organisasi sipil untuk tetap
memberikan perhatian lebih bagi desa agar tidak hanya sekadar menjadi
boneka dari kepentingan elite para pengusaha yang hanya ingin menjadikan
desa sebagai bagian eksploitasi bagi hasrat bisnis mereka yang bukan
menguntungkan, melainkan justru menyengsarakan rakyat.
Sudah waktunya organisasi-organisasi rakyat dan
mahasiswa berhimpun dan bersatu padu membangun dan memperkuat desa karena
kota telah terbukti gagal membangun keadilan yang luas. Untuk itu, mari
kita kembali ke desa karena pada dasarnya orang-orang kota adalah orang
desa! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar