Minggu, 22 Desember 2013

Menimbang Persoalan Ekonomi Politik UU Desa

Menimbang Persoalan Ekonomi Politik UU Desa
Rahmad M Arsyad  ;    Kandidat Doktor Ilmu Politik Unpad,
Dosen Universitas Bina Nusantara Jakarta
MEDIA INDONESIA,  21 Desember 2013

  

RANCANGAN Undang-Undang Desa akhirnya disahkan. Sebuah kisah manis bagi desa yang selama ini terlupakan oleh magnet kota yang selalu menggoda. Lewat kebijakan baru tersebut, desa dapat berdiri secara otonom dalam menentukan arah pembangunannya sendiri sekaligus memberikan kesempatan bagi menguatnya `otonomi asli desa' yang berbasis pada nilai sosial dan identitas lokal pedesaan.

Kita perlu mengapresiasi kado akhir tahun yang diberikan pemerintah dan DPR sebagai bagian dari upaya mempercepat program pemerataan pembangunan yang selama ini berfokus pada kota. Melalui Undang-Undang Desa, petikan syair Iwan Fals harus kita dendangkan dengan keras, desa adalah kekuatan sejati, negara harus berpihak pada para petani, desa adalah kenyataan, kota adalah pertumbuhan!

Dengan memperkuat desa, itu sama artinya membangun ekonomi politik yang tidak hanya berfokus pada pembangunan kota, tetap juga merupakan gambaran keberpihakan pada rakyat banyak. Menurut data statistik nasional (BPS: 2010) sebesar 50,21% penduduk Indonesia berada di desa. Itu artinya membangun desa berarti membangun manusia Indonesia dalam skala yang lebih besar.

Apalagi, kabar gembira dari Undang-Undang Desa secara terang-terangan memuat dua kewajiban penting. Pertama, nilai alokasi anggaran yang diperuntukkan langsung ke desa nilainya sebesar 10% dari dan di luar dana transfer daerah. Secara sederhana, jika Anggaran Pembelanjaan Belanja Negara 2014 mencapai Rp590,2 triliun, alokasi anggaran desa untuk seluruh Indonesia harusnya bisa mencapai Rp59,02 triliun.

Kedua, selain bersumber dari APBN, desa juga mendapatkan suntikan du kungan dari dana perimbangan oleh pemerintah kabupaten/kota. Angka itu, menurut sejumlah data yang ada, bisa mencapai jumlah Rp100 triliun bagi 72,944 desa (jumlah desa data Kemendagri, 2012) di seluruh Indonesia yang sama artinya jika dirataratakan, setiap desa akan memperoleh antara Rp600 juta-Rp1,4 miliar per tahun. Angka itu cukup besar untuk memperkuat desa yang se lama ini termar gi nalkan dalam model `ekonomi politik orang-orang kota'!

Gerakan kembali ke desa

Sudah waktunya sejumlah kalangan mulai berpikir memperbaiki negeri ini dari desa. Sarjana lulusan perguruan tinggi tak perlu lagi beramai-ramai menuju atau tinggal di kota. Mari kembali ke desa masing-masing untuk mulai membangun kampung dengan hal-hal yang sederhana, tetapi memiliki manfaat yang besar.

Jika Anda seorang sarjana pertanian, mulailah berpikir mengembangkan pertanian di kampung Saudara. Jika lulusan ekonomi, mari mulai berpikir membangun usaha produktif yang dapat memberdayakan ekonomi desa lewat badan usaha milik desa (bumdes) agar lebih baik daripada industri kota. Para lulusan sekolah guru, mari mengajar di kampung halaman dan mulai memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anak desa, demikian pula lulusan sarjana politik sudah waktunya membangun tatanan politik yang sehat di kampung kita masing-masing.

Desa membutuhkan manusia manusia terdidik untuk dapat berkembang walau pada sisi tertentu juga sudah waktu nya bagi para sarjana kota untuk belajar dari keber sahajaan desa, tatan an kehidupan desa, dan ke asliannya. Dengan demikian, mereka tidak memandang desa sebagai objek eksploitasi, tetapi menjadikan desa sebagai sarana harmoni antara pelajaran kota dan kearifan desa.

Ekonomi politik

Dengan potensi besar yang dimiliki desa saat ini, dalam hemat saya perlu pula ada penguatan pada tiga aspek kunci, yakni kelembagaan, aktor, dan mekanisme kontrol atas keberpihakan.

Pertama, aspek kelembagaan. Dalam aspek kelembagaan, adanya kekhususan dari setiap bentuk desa, asal usul, dan batasan otoritas adat ialah celah besar yang pada titik tertentu bisa kembali akan menjadi persoalan jika tidak diantisipasi sejak dini.

Walau dalam ketentuan umum pada pasal 1 ayat ke-5 hal tersebut telah dijelaskan, keragaman yang begitu besar atas aspek kelembagaan desa di setiap wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) membuat pemerintah pusat perlu merumuskan dengan baik secara bersama-sama dengan kepala daerah masing-masing, baik tingkat I maupun tingkat II, dalam hal persoalan keragaman kelembagaan tersebut.

Jangan sampai niat baik ini justru menjadi celah bagi lahirnya perpecahan dan konflik. Apalagi secara terang-terangan Undang-Undang Desa juga mengandung persoalan politis yang besar, terutama pada Bab 7 Pasal 44 tentang mekanisme pemilihan kepala desa secara langsung.

Bukankah kita sudah bosan dengan konflik pemilu kada? Jangan sampai kita akan kembali menyaksikan konflik pemilihan kepala desa di banyak desa di banyak tempat!

Kedua, pada aspek otoritas aktor. Dengan Undang-Undang Desa yang berlaku, kewenangan seorang kepala desa menjadi begitu besar, mulai dari menyusun APB Desa sampai pada hakim perdamaian desa (lihat Undang-Undang Desa Pasal 24:2) diktum Lord Acton telah mengingatkan bahwa kekuasaan dan korupsi terkadang berjalan seiring sejalan.

Jangan sampai Undang-Undang Desa justru hanya memindahkan perilaku korup dari atas menjadi menyebar ke banyak titik. Mekanisme pengawasan internal atas kekuasaan dan otoritas kepala desa menjadi penting untuk dilakukan sehingga tujuan mulia Undang-Undang Desa dapat berjalan, bukan justru melahirkan kekuasaan koloni-koloni baru yang membangun dinasti dengan korupsi.

Ketiga, mekanisme kontrol atas keberpihakan. Dalam Undang-Undang Desa pada Pasal 75 ayat 1 tercantum pemerintah desa dapat mengadakan kerja sama dengan pihak ketiga. Pasal ini merupakan sebuah celah yang begitu rawan jika tidak diawasi dengan baik. Kita sudah melihat fakta sejak diberlakukannya otonomi daerah, begitu banyak kepala daerah tersandung kasus hukum hanya karena terjerat oleh kepentingan para pengusaha.

Pada titik inilah dibutuhkan gerakan pengawalan yang serius dari organisasi sipil untuk tetap memberikan perhatian lebih bagi desa agar tidak hanya sekadar menjadi boneka dari kepentingan elite para pengusaha yang hanya ingin menjadikan desa sebagai bagian eksploitasi bagi hasrat bisnis mereka yang bukan menguntungkan, melainkan justru menyengsarakan rakyat.

Sudah waktunya organisasi-organisasi rakyat dan mahasiswa berhimpun dan bersatu padu membangun dan memperkuat desa karena kota telah terbukti gagal membangun keadilan yang luas. Untuk itu, mari kita kembali ke desa karena pada dasarnya orang-orang kota adalah orang desa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar