Selasa, 17 Desember 2013

Menghindari Perangkap

Menghindari Perangkap
FX Laksana Agung Saputra  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  17 Desember 2013

  

DEFISIT transaksi berjalan adalah lakon perekonomian 2013. Komplikasinya: kesinambungan pertumbuhan ekonomi terganggu. Ini bukan yang pertama. Kita bakal lama terperangkap di kelas negara berpendapatan menengah-bawah.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2010-2012 selalu di atas 6 persen: 6,1, 6,5, dan 6,23 persen. Pada 2013, awalnya pemerintah targetkan pertumbuhan 6,8 persen. Di tengah jalan target direvisi ke 6,3 persen. Realisasinya diproyeksikan 5,6-5,8 persen.

Perlambatan pertumbuhan itu tak bisa lepas dari rencana pengetatan stimulus moneter oleh The Federal Reserve, bank sentral Amerika Serikat, yang antara lain memicu depresiasi rupiah dan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan.
Meski demikian, faktor utama tetap berasal dari dalam negeri. Faktor itu adalah persoalan struktural ekonomi yang dari dulu hingga kini tak tertangani dengan baik, seperti konsumsi energi yang jenisnya belum banyak terdiversifikasi, ekspor yang masih bergantung pada sumber daya alam (SDA), dan sektor jasa yang masih rapuh.

Tumpukan persoalan dari waktu ke waktu kian akut dan akhirnya meledak pada 2013, sebagaimana tecermin dalam besarnya defisit transaksi berjalan per triwulan II-2013. Saat itu defisit 9,8 miliar dollar AS atau 4,4 persen terhadap produk domestik bruto. Beberapa pendapat menyebutkan, batas psikologi aman maksimal 3 persen.

Esensi defisit transaksi berjalan adalah produksi dalam negeri lebih kecil daripada permintaan domestik. Kekurangannya ditutup dari impor. Makin besar defisit makin besar komplikasi. Di tahap parah, keadaan ini membangkrutkan ekonomi negara.

Guna mengurangi besar defisit transaksi berjalan, pemerintah dan BI mengambil kebijakan fiskal dan moneter ketat pada 2013 dan 2014. Ini resep jangka pendek. Konsekuensinya, laju pertumbuhan ekonomi melambat hingga penciptaan lapangan kerja tak optimal. Ujung-ujungnya pengurangan angka pengangguran dan kemiskinan tak maksimal. Resep jangka menengah-panjang adalah pada pasokan, persisnya meningkatkan kapasitas produksi domestik. Di sinilah mengorbit persoalan struktural.

Trio masalah

Defisit transaksi berjalan 2013 telah mengganggu kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Situasi ini juga pernah terjadi pada minikrisis (2005) dan krisis (2008). Kita jatuh di lubang yang sama lantaran soal struktural.

Persoalan struktural, yang mengacu pada komponen pembentuk transaksi berjalan bisa dilacak melalui jalur perdagangan barang, perdagangan jasa, dan neraca pendapatan neto. Kondisinya tak mengarah pada perbaikan, tetapi justru kian berat. Mengacu ke data BI, porsi ekspor SDA naik 19 poin dari 20 persen pada 2005 menjadi 39 persen pada 2013. Sebaliknya, porsi ekspor non-SDA melorot 12 poin pada periode yang sama, dari 48 menjadi 36 persen. Kini porsi ekspor SDA dominan.

Berkaitan dengan energi, defisit perdagangan migas kian besar. Penyebabnya adalah produksi minyak terus merosot, sedangkan konsumsi BBM terus menggelembung. Pada saat sama surplus perdagangan nonmigas anjlok. 
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, defisit perdagangan migas meningkat menjadi delapan kali lipat hanya dalam empat tahun terakhir. Dalam kurun Januari-Oktober 2009, defisit baru 1,26 miliar dollar AS. Pada 2013 defisit 10,64 miliar dollar AS.

Surplus perdagangan nonmigas Januari-Oktober 2009 adalah 15,54 miliar dollar AS. Pada 2013 dalam periode sama surplusnya menciut menjadi sepertiga, 4,28 miliar dollar AS. Porsi impor bahan baku dan barang modal Januari-Oktober mencapai 93 persen dari total impor 2013. Ini terjadi ketika investasi langsung meningkat. Struktur industri di Indonesia bolong di level tengah, yakni industri perantara.

Di neraca jasa, kecenderungan porsi impor jasa non-freight meningkat. Ini terutama terjadi pada impor jasa perjalanan, royalti, dan jasa bisnis lain, seperti sewa pesawat terbang, seiring meningkatnya kelas menengah di Indonesia. 

Defisit neraca pendapatan membesar sejalan dengan meningkatnya investasi langsung. Semua kondisi itu struktural menambah beban pada defisit neraca transaksi berjalan. Alhasil, kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia terganggu. Implikasinya, Indonesia stagnan lama pada level negara berpendapatan menengah-bawah.

Terperangkap

Selama 23-25 tahun Indonesia masuk kategori negara berpendapatan menengah-bawah. Sebuah negara disebut terperangkap dalam kategori ini jika stagnan 28 tahun. Tinggal 3-5 tahun lagi naik kelas ke negara berpendapatan menengah-atas sebelum melenting ke kategori negara berpendapatan tinggi.

Saat ini pendapatan per kapita Indonesia 5.170 dollar AS, sementara kategori negara berpendapatan menengah-atas mensyaratkan pendapatan per kapita 7.250-11.750 dollar AS. Dengan figur itu, Indonesia paling cepat akan naik kelas 6-9 tahun lagi. Indonesia dipastikan masuk perangkap negara berpendapatan menengah-bawah. Namun, jika bisa tumbuh konsisten rata-rata 6 persen setelah masa stabilisasi 2014, Indonesia diperkirakan akan naik ke kategori negara berpendapatan tinggi pada 2031.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar