DEFISIT transaksi berjalan
adalah lakon perekonomian 2013. Komplikasinya: kesinambungan pertumbuhan
ekonomi terganggu. Ini bukan yang pertama. Kita bakal lama terperangkap di
kelas negara berpendapatan menengah-bawah.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia
2010-2012 selalu di atas 6 persen: 6,1, 6,5, dan 6,23 persen. Pada 2013,
awalnya pemerintah targetkan pertumbuhan 6,8 persen. Di tengah jalan target
direvisi ke 6,3 persen. Realisasinya diproyeksikan 5,6-5,8 persen.
Perlambatan pertumbuhan itu tak
bisa lepas dari rencana pengetatan stimulus moneter oleh The Federal
Reserve, bank sentral Amerika Serikat, yang antara lain memicu depresiasi
rupiah dan anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan.
Meski demikian, faktor utama
tetap berasal dari dalam negeri. Faktor itu adalah persoalan struktural
ekonomi yang dari dulu hingga kini tak tertangani dengan baik, seperti
konsumsi energi yang jenisnya belum banyak terdiversifikasi, ekspor yang
masih bergantung pada sumber daya alam (SDA), dan sektor jasa yang masih
rapuh.
Tumpukan persoalan dari waktu ke
waktu kian akut dan akhirnya meledak pada 2013, sebagaimana tecermin dalam
besarnya defisit transaksi berjalan per triwulan II-2013. Saat itu defisit
9,8 miliar dollar AS atau 4,4 persen terhadap produk domestik bruto.
Beberapa pendapat menyebutkan, batas psikologi aman maksimal 3 persen.
Esensi defisit transaksi
berjalan adalah produksi dalam negeri lebih kecil daripada permintaan
domestik. Kekurangannya ditutup dari impor. Makin besar defisit makin besar
komplikasi. Di tahap parah, keadaan ini membangkrutkan ekonomi negara.
Guna mengurangi besar defisit transaksi
berjalan, pemerintah dan BI mengambil kebijakan fiskal dan moneter ketat
pada 2013 dan 2014. Ini resep jangka pendek. Konsekuensinya, laju
pertumbuhan ekonomi melambat hingga penciptaan lapangan kerja tak optimal.
Ujung-ujungnya pengurangan angka pengangguran dan kemiskinan tak maksimal.
Resep jangka menengah-panjang adalah pada pasokan, persisnya meningkatkan
kapasitas produksi domestik. Di sinilah mengorbit persoalan struktural.
Trio masalah
Defisit transaksi berjalan 2013
telah mengganggu kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Situasi ini juga pernah
terjadi pada minikrisis (2005) dan krisis (2008). Kita jatuh di lubang yang
sama lantaran soal struktural.
Persoalan struktural, yang
mengacu pada komponen pembentuk transaksi berjalan bisa dilacak melalui
jalur perdagangan barang, perdagangan jasa, dan neraca pendapatan neto.
Kondisinya tak mengarah pada perbaikan, tetapi justru kian berat. Mengacu
ke data BI, porsi ekspor SDA naik 19 poin dari 20 persen pada 2005 menjadi
39 persen pada 2013. Sebaliknya, porsi ekspor non-SDA melorot 12 poin pada
periode yang sama, dari 48 menjadi 36 persen. Kini porsi ekspor SDA
dominan.
Berkaitan dengan energi, defisit
perdagangan migas kian besar. Penyebabnya adalah produksi minyak terus
merosot, sedangkan konsumsi BBM terus menggelembung. Pada saat sama surplus
perdagangan nonmigas anjlok.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik,
defisit perdagangan migas meningkat menjadi delapan kali lipat hanya dalam
empat tahun terakhir. Dalam kurun Januari-Oktober 2009, defisit baru 1,26
miliar dollar AS. Pada 2013 defisit 10,64 miliar dollar AS.
Surplus perdagangan nonmigas
Januari-Oktober 2009 adalah 15,54 miliar dollar AS. Pada 2013 dalam periode
sama surplusnya menciut menjadi sepertiga, 4,28 miliar dollar AS. Porsi
impor bahan baku dan barang modal Januari-Oktober mencapai 93 persen dari
total impor 2013. Ini terjadi ketika investasi langsung meningkat. Struktur
industri di Indonesia bolong di level tengah, yakni industri perantara.
Di neraca jasa, kecenderungan
porsi impor jasa non-freight meningkat. Ini terutama terjadi pada
impor jasa perjalanan, royalti, dan jasa bisnis lain, seperti sewa pesawat
terbang, seiring meningkatnya kelas menengah di Indonesia.
Defisit neraca
pendapatan membesar sejalan dengan meningkatnya investasi langsung. Semua
kondisi itu struktural menambah beban pada defisit neraca transaksi
berjalan. Alhasil, kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia terganggu.
Implikasinya, Indonesia stagnan lama pada level negara berpendapatan
menengah-bawah.
Terperangkap
Selama 23-25 tahun Indonesia
masuk kategori negara berpendapatan menengah-bawah. Sebuah negara disebut
terperangkap dalam kategori ini jika stagnan 28 tahun. Tinggal 3-5 tahun
lagi naik kelas ke negara berpendapatan menengah-atas sebelum melenting ke
kategori negara berpendapatan tinggi.
Saat ini pendapatan per kapita
Indonesia 5.170 dollar AS, sementara kategori negara berpendapatan
menengah-atas mensyaratkan pendapatan per kapita 7.250-11.750 dollar AS.
Dengan figur itu, Indonesia paling cepat akan naik kelas 6-9 tahun lagi.
Indonesia dipastikan masuk perangkap negara berpendapatan menengah-bawah.
Namun, jika bisa tumbuh konsisten rata-rata 6 persen setelah masa
stabilisasi 2014, Indonesia diperkirakan akan naik ke kategori negara
berpendapatan tinggi pada 2031. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar