TAHUN 2014 tak mudah bagi
perbankan. Banyak tantangan yang sudah tergambar sejak pertengahan dan
akhir 2013, antara lain likuiditas yang ketat dan suku bunga yang tinggi.
Ada pula dampak kondisi dalam ataupun luar negeri.
Kondisi luar yang sudah memberi
dampak signifikan sejak akhir 2013 ialah rencana pengurangan stimulus
moneter Bank Sentral AS atau The Fed. Pelonggaran likuiditas atau quantitative
easing yang dilakukan The Fed sejak Juni 2009 membuat negara-negara
dengan pertumbuhan ekonomi cepat, emerging
market, kebanjiran dana murah. Dana triliunan dollar AS ini masuk ke
pasar keuangan.
Namun, seiring dengan membaiknya
kondisi ekonomi negara maju, termasuk AS, stimulus moneter ini akan
dikurangi. Investor asing yang selama ini ada di negara-negara emerging
market memilih menunggu: pada saatnya akan berbalik menuju
negara-negara maju.
Di dalam negeri, kenaikan harga
BBM bersubsidi pada Juni 2013 memicu lonjakan inflasi. Akibat langkah yang
sudah sangat terlambat itu, inflasi pada 2013 yang semula ditargetkan
3,5-5,5 persen meleset. Bank Indonesia memperkirakan inflasi pada akhir
2013 bisa 8,5 persen. Soal internal lain adalah defisit transaksi berjalan
yang sudah berlangsung sejak triwulan IV-2011.
Penyebab utamanya jelas:
defisit neraca perdagangan minyak, ditambah dengan defisit pendapatan dan
jasa-jasa yang sudah kronis.
BI menaikkan suku bunga acuan
atau BI Rate menjadi 7,5 persen: total 175 basis poin atau 1,75 persen
dalam Juni-November 2013. Padahal, sepanjang 16 bulan sejak Februari 2012,
BI Rate bertahan 5,75 persen. Berakhir sudah era suku bunga rendah. Terkait
dengan kondisi eksternal, suku bunga 7,5 persen itu diharapkan bisa menarik
dana asing untuk bertahan di Indonesia. Selama ini Indonesia cukup
bergantung pada dana asing ini.
Dalam Neraca Pembayaran
Indonesia (NPI), pada triwulan III-2013 transaksi modal dan finansial
mencapai 4,891 miliar dollar AS. Salah satu unsurnya, investasi portofolio
yang mencapai 1,884 miliar dollar AS. Selama ini transaksi modal dan
finansial menjadi andalan menutup defisit transaksi berjalan.
Jika dihadapkan pada faktor
internal, suku bunga tinggi diharapkan bisa menahan laju pertumbuhan
ekonomi. Inflasi diperkirakan turun, impor berkurang, dan ini memperbaiki
transaksi berjalan. Kredit perbankan sebagai sasaran antara juga diharapkan
melambat dengan kenaikan suku bunga acuan ini. Selama ini masyarakat kerap
menilai bank cepat sekali menaikkan suku bunga pinjaman saat suku bunga
acuan naik. Namun, sebaliknya, bank akan bersikap santai menurunkan suku
bunga pinjaman saat bunga acuan turun.
Berhitung terapkan suku bunga
Saat ini di tengah ketatnya
likuiditas, yang diwarnai dengan ketimpangan likuiditas di bank skala besar
dengan bank skala kecil atau menengah, bank akan berhitung menerapkan suku
bunga. Untuk menarik dana pihak ketiga atau dana masyarakat, bank akan
menawarkan suku bunga simpanan yang menarik.
Sejatinya ada ukuran suku bunga
penjaminan dalam penerapan suku bunga simpanan. Salah satu syarat agar
simpanan dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah suku bunga tak
melebihi suku bunga penjaminan. Yang terjadi saat ini, dan diperkirakan
berlanjut hingga tahun depan, adalah ketatnya bank berebut dana. Dana itu
tak hanya untuk keperluan saat ini, tetapi juga untuk berjaga-jaga
menghadapi kemungkinan seretnya likuiditas pada 2014.
Bukan rahasia lagi jika bank
menawarkan suku bunga khusus yang lebih tinggi dari suku bunga penjaminan.
Tentu bukan sembarang nasabah yang mendapat tawaran semacam ini. Yang
disasar adalah nasabah dengan dana besar dan bersedia menempatkan dananya
dalam jangka waktu tertentu di bank itu. Suku bunga simpanan itu
berkorelasi dengan biaya dana atau biaya yang diperlukan bank untuk
mendapatkan dana. Padahal, biaya dana merupakan unsur penentu besaran suku
bunga pinjaman.
Jadi, dampaknya merambat:
kenaikan suku bunga pinjaman. Namun, kenaikan suku bunga pinjaman ini tak
selalu berbanding lurus dengan kenaikan suku bunga acuan. Ada bank yang
dana murahnya berupa tabungan cukup banyak sehingga bisa menekan kenaikan
suku bunga pinjamannya. Namun, ada bank yang sangat bergantung pada dana
mahal berupa deposito sehingga mau tak mau suku bunga pinjaman melonjak
cukup tinggi.
Masyarakat yang berhadapan
dengan kenaikan suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman bisa memilih:
mencari pinjaman atau malah menunda pinjaman dan menempatkan dananya pada
simpanan di bank. Namun, masyarakat yang sudah telanjur memiliki pinjaman
tak punya pilihan. Bank tetap harus memperhitungkan kondisi debitor agar
pinjaman tak menjadi kredit macet. Kenaikan suku bunga pinjaman yang
terlalu besar bisa meningkatkan potensi kredit bermasalah.
Data BI dalam kurun Juni-Oktober
2013, bank sudah menaikkan suku bunga pinjaman. Suku bunga kredit modal
kerja yang rata-rata 11,41 persen pada Juni 2013 naik menjadi 11,93 persen
pada Oktober 2013. Suku bunga kredit investasi yang rata-rata 11,14 persen
pada Juni 2013 naik menjadi 11,65 persen pada Oktober 2013. Per Oktober
2013, kredit yang diberikan bank kepada pihak ketiga mencapai Rp 3.159
triliun. Dana pihak ketiga yang dihimpun Rp 3.520 triliun.
Hal lain yang harus
diperhitungkan bank adalah kondisi perekonomian Indonesia dan dunia.
Kondisi ini berimbas ke sejumlah sektor. Misalnya, permintaan komoditas
dunia yang turun, yang kemudian berdampak pada turunnya harga. Padahal,
komoditas pernah sangat menarik. Bukan hanya bagi pelaku pasar, melainkan
juga bagi bank yang memberikan kredit investasi dan modal kerja di bidang
ini.
BI memperkirakan pertumbuhan
ekonomi dunia pada 2014 sebesar 3,5 persen. Adapun pertumbuhan ekonomi
Indonesia 5,8-6,2 persen. Kredit perbankan oleh BI diperkirakan tumbuh
15-17 persen pada tahun 2014. Dengan asumsi tersebut, bank bisa menghitung
target pertumbuhan kreditnya.
Isu penting: suku bunga
Hal yang tak kalah penting:
nilai tukar rupiah, yang akhir-akhir ini kian lemah. Banyak bank dengan
yakin menyatakan eksposur terhadap dollar AS sangat terbatas sehingga
pelemahan rupiah tak berdampak signifikan. Namun, bank tetap harus
berhitung agar likuiditas valasnya terjaga. Dengan masih besarnya
ketergantungan bank terhadap suku bunga, yang tecermin melalui besarnya
pendapatan berbasis bunga, suku bunga akan jadi isu penting bagi bank pada
2014. Bank harus memperhitungkan kemungkinan turunnya pertumbuhan kredit.
Tanpa inovasi dan investasi
dalam teknologi informasi, pertumbuhan laba bank akan anjlok cukup dalam.
Sebaliknya, bank yang kreatif memberikan layanan bagi nasabah akan
menangguk pendapatan berbasis biaya. Pendapatan berbasis biaya ini bisa
menggantikan pendapatan berbasis bunga yang diperkirakan merosot tahun
depan. Khusus untuk bank BUMN, situasi tahun 2014 diperkirakan cukup
dilematis. Dengan pendapatan pajak yang tak kunjung memenuhi target,
ditambah pendapatan sektor lain yang merosot, pendapatan dari sektor
perbankan diharapkan menjadi tumpuan pendapatan negara.
Alangkah berat jika
di tengah kondisi likuiditas yang ketat dan pertumbuhan laba yang turun,
bank BUMN tetap dituntut membagi dividen dalam persentase cukup besar.
Padahal, bank BUMN tetap harus memiliki dana yang cukup untuk berkembang.
Tahun 2014 adalah tahun politik.
Bagi bank inilah tahun strategis karena berhadapan dengan beratnya kondisi
perekonomian, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan, dan harus membiasakan
diri berinteraksi dengan pengawas baru: Otoritas Jasa Keuangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar