DARI hari ke hari,
perkembangan situasi keamanan di kawasan Asia Timur kian mengkhawatirkan.
Risiko pecahnya konflik terbuka karena gesekan di lapangan makin besar.
Masih banyak pihak yang
optimistis bahwa ketegangan yang melibatkan China dan negara-negara
tetangganya tak akan berujung pada konflik terbuka. Alasannya, nilai
hubungan ekonomi negara-negara tersebut terlalu tinggi untuk dirusak
dengan perang.
Akan tetapi, makin banyak pula
pakar dan analis yang memperingatkan, risiko konflik di kawasan Laut China
Timur dan Laut China Selatan makin besar.
Mereka yakin tak satu pun
negara berniat memulai perang. Namun, dengan tingkat ketegangan dan
aktivitas lapangan seperti saat ini, risiko salah perhitungan atau
gesekan di lapangan makin besar. Satu kesalahan kecil bisa memicu perang
yang akan menjadi tragedi bagi dunia.
Terlepas dari justifikasi dan
dalih setiap pihak yang terlibat masalah, tahun ini diwarnai peningkatan
ketegangan di kawasan-kawasan tersebut.
Jika kita membuka kembali
catatan tahun lalu, ketegangan China dan Jepang terkait sengketa
Kepulauan Senkaku/Diaoyu di Laut China Timur masih diwarnai ”perang”
retorika diplomatik dan pengerahan aset-aset sipil negara, seperti
kapal-kapal Penjaga Pantai Jepang dan badan pengawas kelautan China di
seputar perairan sengketa.
Aset militer
Namun, seiring dengan
meningkatnya ketegangan setelah Pemerintah Jepang membeli sebagian
pulau-pulau di Senkaku/Diaoyu dari seorang pemilik pribadi di Tokyo,
situasi lapangan berangsur-angsur berubah.
Tahun 2013 menandai dimulainya
pengerahan aset-aset militer yang makin intensif ke kawasan sengketa dan
sekitarnya. Akhir Januari, sebuah kapal pengawal dan helikopter Pasukan
Bela Diri Jepang (JSDF) dilaporkan dikunci dengan radar pembidik oleh
sebuah kapal perang Angkatan Laut China saat berlayar di Laut China
Timur.
Kedua negara juga seperti
berlomba menggelar latihan militer skala besar. Awal November, Pasukan
Bela Diri Jepang menggelar latihan yang melibatkan 34.000 personel dari
tiga matra dan sejumlah kapal perang dan pesawat tempur.
Dalam latihan itu, untuk
pertama kali Jepang menempatkan peluncur rudal antikapal di Pulau Miyako,
yang selama ini menjadi semacam gerbang menuju Samudra Pasifik bagi
kapal-kapal perang China yang berpangkalan di bagian timur dan utara
negara tersebut.
Sebelumnya, Angkatan Laut
Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) menggelar latihan skala besar
dengan amunisi hidup di Samudra Pasifik bagian barat. Latihan itu
melibatkan beberapa armada AL PLA.
Pada akhir November, China
juga memberangkatkan kapal induk pertamanya, Liaoning, ke dalam misi
latihan di laut lepas. Kapal induk yang dikawal 2 kapal perusak dan 2
fregat itu berlayar ke Laut China Selatan, kawasan yang juga diwarnai
sejumlah sengketa China dengan Filipina, Malaysia, Brunei, dan Vietnam.
Dalam pelayaran inilah sempat
terjadi insiden antara salah satu kapal perang China dan kapal penjelajah
berpeluru kendali milik Angkatan Laut AS, USS Cowpens, pada 5 Desember.
Pihak China menuduh kapal AS itu memata-matai latihan dengan membayangi
konvoi China pada jarak 45 kilometer.
Langkah kontroversial
Namun, langkah China yang
paling kontroversial adalah penetapan zona identifikasi pertahanan udara
(ADIZ) di Laut China Timur, akhir November. Meski Beijing berulang kali
menegaskan penetapan ADIZ itu tak ditujukan terhadap satu negara
tertentu, cakupan geografis dan pemilihan waktunya tak terhindarkan
memancing reaksi keras dari tetangga-tetangganya.
Tak tanggung-tanggung, hanya
dua hari setelah penetapan ADIZ China tersebut, AS—yang memiliki
perjanjian pertahanan dengan Jepang, Korea Selatan, dan Filipina,
mengirimkan dua pesawat pengebom jarak jauhnya, B-52 Stratofortress,
untuk terbang melintas zona tersebut tanpa mengindahkan ketentuan yang
ditetapkan Beijing.
Dalam artikel yang mereka
tulis untuk kantor berita Reuters, mantan Wakil Menteri Luar Negeri AS
James Steinberg dan peneliti senior dari Brookings Institute, Michael E
O’Hanlon, mengkritik langkah penetapan ADIZ China yang dinilai tak
transparan dan memicu kecurigaan tetangga-tetangganya.
Walau demikian, Steinberg dan
O’Hanlon juga menyayangkan reaksi AS yang dipandang berlebihan. Menurut
mereka, langkah AS mengirim dua B-52 ke ADIZ China bukan sebuah upaya
bagus untuk membangun rasa saling percaya.
”Akan lebih baik jika yang
dikirim pesawat-pesawat tempur atau pesawat patroli jarak jauh untuk menegaskan
prinsip (kebebasan melakukan transit di wilayah udara internasional)
ini,” demikian tulis mereka.
Makin royalnya pengerahan
sistem persenjataan utama di lapangan membuat kekhawatiran terjadinya
insiden yang tak diinginkan makin besar. Baik pesawat B-52 maupun kapal
penjelajah kelas Ticonderoga, seperti USS Cowpens itu, bukan mesin perang
yang biasa-biasa saja. Keduanya adalah mesin perusak yang berkemampuan
dahsyat.
Menyusul penerbangan B-52 ke
ADIZ China tersebut, Jepang dan Korsel juga mengirimkan pesawat-pesawat
militer mereka melintasi zona tersebut.
”Peluang terjadinya kesalahan
sangat tinggi. Jika keadaan ini berlanjut, kita harus mempertanyakan apa
konsekuensinya nanti,” ujar Bonnie Glaser, pakar keamanan China dari
Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington DC,
kepada Reuters.
Menurut Glaser, China dan AS
mungkin memiliki kemampuan dan kemauan untuk mencegah insiden di lapangan
bereskalasi. Namun, ia ragu masalah yang sama bisa diredam jika
melibatkan militer China dan Jepang. Unsur nasionalisme dan tekanan
politik domestik di kedua negara itu bisa membuat situasi terlalu rumit
dan tak terkendali.
Steinberg dan O’Hanlon
menyarankan agar AS-China mengembangkan kesepakatan seperti yang terjalin
antara AS dan Uni Soviet di era Perang Dingin.
Apa pun itu, segenap upaya
harus dilakukan semua pihak untuk mencegah ketegangan di Laut China Timur
dan Laut China Selatan tereskalasi menjadi konflik terbuka. China dan
Jepang, yang menjadi pusat ketegangan ini, harus mencari cara dialog
untuk menurunkan ketegangan dan menyelesaikan semua masalah melalui jalur
damai.
Bagaimanapun, seperti
diungkapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato di Tokyo,
Jepang, pekan lalu, hubungan China dan Jepang sangatlah menentukan bagi
masa depan kawasan Asia saat ini. Dan tak seorang pun menginginkan Asia
abad ke-21 mengulang kesalahan Eropa pada abad ke-20 yang memicu dua
perang dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar