Sabtu, 21 Desember 2013

Mencegah Tragedi di Asia

Mencegah Tragedi di Asia
Dahono Fitrianto  ;    Wartawan Kompas
KOMPAS,  21 Desember 2013


  
DARI hari ke hari, perkembangan situasi keamanan di kawasan Asia Timur kian mengkhawatirkan. Risiko pecahnya konflik terbuka karena gesekan di lapangan makin besar.

Masih banyak pihak yang optimistis bahwa ketegangan yang melibatkan China dan negara-negara tetangganya tak akan berujung pada konflik terbuka. Alasannya, nilai hubungan ekonomi negara-negara tersebut terlalu tinggi untuk dirusak dengan perang.

Akan tetapi, makin banyak pula pakar dan analis yang memperingatkan, risiko konflik di kawasan Laut China Timur dan Laut China Selatan makin besar.

Mereka yakin tak satu pun negara berniat memulai perang. Namun, dengan tingkat ketegangan dan aktivitas lapangan seperti saat ini, risiko salah perhitungan atau gesekan di lapangan makin besar. Satu kesalahan kecil bisa memicu perang yang akan menjadi tragedi bagi dunia.

Terlepas dari justifikasi dan dalih setiap pihak yang terlibat masalah, tahun ini diwarnai peningkatan ketegangan di kawasan-kawasan tersebut.

Jika kita membuka kembali catatan tahun lalu, ketegangan China dan Jepang terkait sengketa Kepulauan Senkaku/Diaoyu di Laut China Timur masih diwarnai ”perang” retorika diplomatik dan pengerahan aset-aset sipil negara, seperti kapal-kapal Penjaga Pantai Jepang dan badan pengawas kelautan China di seputar perairan sengketa.

Aset militer

Namun, seiring dengan meningkatnya ketegangan setelah Pemerintah Jepang membeli sebagian pulau-pulau di Senkaku/Diaoyu dari seorang pemilik pribadi di Tokyo, situasi lapangan berangsur-angsur berubah.

Tahun 2013 menandai dimulainya pengerahan aset-aset militer yang makin intensif ke kawasan sengketa dan sekitarnya. Akhir Januari, sebuah kapal pengawal dan helikopter Pasukan Bela Diri Jepang (JSDF) dilaporkan dikunci dengan radar pembidik oleh sebuah kapal perang Angkatan Laut China saat berlayar di Laut China Timur.

Kedua negara juga seperti berlomba menggelar latihan militer skala besar. Awal November, Pasukan Bela Diri Jepang menggelar latihan yang melibatkan 34.000 personel dari tiga matra dan sejumlah kapal perang dan pesawat tempur.

Dalam latihan itu, untuk pertama kali Jepang menempatkan peluncur rudal antikapal di Pulau Miyako, yang selama ini menjadi semacam gerbang menuju Samudra Pasifik bagi kapal-kapal perang China yang berpangkalan di bagian timur dan utara negara tersebut.

Sebelumnya, Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) menggelar latihan skala besar dengan amunisi hidup di Samudra Pasifik bagian barat. Latihan itu melibatkan beberapa armada AL PLA.

Pada akhir November, China juga memberangkatkan kapal induk pertamanya, Liaoning, ke dalam misi latihan di laut lepas. Kapal induk yang dikawal 2 kapal perusak dan 2 fregat itu berlayar ke Laut China Selatan, kawasan yang juga diwarnai sejumlah sengketa China dengan Filipina, Malaysia, Brunei, dan Vietnam.

Dalam pelayaran inilah sempat terjadi insiden antara salah satu kapal perang China dan kapal penjelajah berpeluru kendali milik Angkatan Laut AS, USS Cowpens, pada 5 Desember. Pihak China menuduh kapal AS itu memata-matai latihan dengan membayangi konvoi China pada jarak 45 kilometer.

Langkah kontroversial

Namun, langkah China yang paling kontroversial adalah penetapan zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) di Laut China Timur, akhir November. Meski Beijing berulang kali menegaskan penetapan ADIZ itu tak ditujukan terhadap satu negara tertentu, cakupan geografis dan pemilihan waktunya tak terhindarkan memancing reaksi keras dari tetangga-tetangganya.

Tak tanggung-tanggung, hanya dua hari setelah penetapan ADIZ China tersebut, AS—yang memiliki perjanjian pertahanan dengan Jepang, Korea Selatan, dan Filipina, mengirimkan dua pesawat pengebom jarak jauhnya, B-52 Stratofortress, untuk terbang melintas zona tersebut tanpa mengindahkan ketentuan yang ditetapkan Beijing.

Dalam artikel yang mereka tulis untuk kantor berita Reuters, mantan Wakil Menteri Luar Negeri AS James Steinberg dan peneliti senior dari Brookings Institute, Michael E O’Hanlon, mengkritik langkah penetapan ADIZ China yang dinilai tak transparan dan memicu kecurigaan tetangga-tetangganya.

Walau demikian, Steinberg dan O’Hanlon juga menyayangkan reaksi AS yang dipandang berlebihan. Menurut mereka, langkah AS mengirim dua B-52 ke ADIZ China bukan sebuah upaya bagus untuk membangun rasa saling percaya. 

”Akan lebih baik jika yang dikirim pesawat-pesawat tempur atau pesawat patroli jarak jauh untuk menegaskan prinsip (kebebasan melakukan transit di wilayah udara internasional) ini,” demikian tulis mereka.

Makin royalnya pengerahan sistem persenjataan utama di lapangan membuat kekhawatiran terjadinya insiden yang tak diinginkan makin besar. Baik pesawat B-52 maupun kapal penjelajah kelas Ticonderoga, seperti USS Cowpens itu, bukan mesin perang yang biasa-biasa saja. Keduanya adalah mesin perusak yang berkemampuan dahsyat.

Menyusul penerbangan B-52 ke ADIZ China tersebut, Jepang dan Korsel juga mengirimkan pesawat-pesawat militer mereka melintasi zona tersebut.

”Peluang terjadinya kesalahan sangat tinggi. Jika keadaan ini berlanjut, kita harus mempertanyakan apa konsekuensinya nanti,” ujar Bonnie Glaser, pakar keamanan China dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington DC, kepada Reuters.

Menurut Glaser, China dan AS mungkin memiliki kemampuan dan kemauan untuk mencegah insiden di lapangan bereskalasi. Namun, ia ragu masalah yang sama bisa diredam jika melibatkan militer China dan Jepang. Unsur nasionalisme dan tekanan politik domestik di kedua negara itu bisa membuat situasi terlalu rumit dan tak terkendali.

Steinberg dan O’Hanlon menyarankan agar AS-China mengembangkan kesepakatan seperti yang terjalin antara AS dan Uni Soviet di era Perang Dingin.

Apa pun itu, segenap upaya harus dilakukan semua pihak untuk mencegah ketegangan di Laut China Timur dan Laut China Selatan tereskalasi menjadi konflik terbuka. China dan Jepang, yang menjadi pusat ketegangan ini, harus mencari cara dialog untuk menurunkan ketegangan dan menyelesaikan semua masalah melalui jalur damai.

Bagaimanapun, seperti diungkapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato di Tokyo, Jepang, pekan lalu, hubungan China dan Jepang sangatlah menentukan bagi masa depan kawasan Asia saat ini. Dan tak seorang pun menginginkan Asia abad ke-21 mengulang kesalahan Eropa pada abad ke-20 yang memicu dua perang dunia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar