SEPANJANG tahun 2013,
politik luar negeri Indonesia semakin memperlihatkan korelasi persoalan
domestik yang sulit dan rumit.
Hal ini menyangkut banyak
skandal, khususnya korupsi, yang menghambat kapasitas republik ini dalam
memengaruhi situasi regional Asia Pasifik ataupun di dalam ASEAN sebagai
pemain geostrategi yang dinamis. Tahun 2013 adalah tahun terakhir
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelum mengakhiri masa
jabatannya setelah pemilihan presiden tahun depan.
Selama masa pemerintahan
Presiden Yudhoyono 2009-2014, semakin nyata bahwa interdependensi politik
luar negeri Indonesia di tengah arus globalisasi menjadi sangat terkait
dalam hubungan antarnegara. Bersamaan dengan ini, pelaksanaan politik
luar negeri Indonesia menjadi makin rumit dalam postur perubahan
geopolitik dan geostrategi regional ataupun global.
Kebijakan Presiden Yudhoyono
tentang a million friends and zero enemy (sejuta teman dan
tanpa musuh) menjadi kandas ketika terkuak kasus spionase yang dilakukan
Australia dengan menyadap telepon seluler (ponsel) para pejabat negara
dalam kurun waktu cukup lama. Arus deras globalisasi yang didorong
kemajuan pesat teknologi komunikasi informasi menyentak kesadaran kita
tentang realitas tak adanya teman atau musuh abadi dalam politik
internasional.
Di sisi lain, perspektif
politik luar negeri Indonesia tak mampu mendorong dan mewujudkan strategi
kesetimbangan dinamis (dynamic equilibrium) yang digagas Menteri Luar
Negeri Marty Natalegawa karena memang tak pernah dijadikan perkakas
diplomasi dalam mewujudkan politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif.
Kita condong mencari pijakan rumit di tengah dinamika politik
internasional di antara kebangkitan China sebagai kekuatan baru dan AS
sebagai kekuatan dominan yang menghadapi tantangan dan perubahan
geopolitik global.
Ini yang terjadi ketika Menlu Marty
berbicara soal Traktat Indo-Pasifik, penyelesaian di luar ASEAN dalam
pertikaian Candi Preah Vihear antara Thailand dan Kamboja, tak
berhasilnya kesepakatan mengikat sejumlah negara dalam kode tata
berperilaku di Laut China Selatan terkait tumpang tindih klaim
kedaulatan, bagaimana memainkan peran sentral dalam multilateralisme
politik dan keamanan melalui KTT Asia Timur (EAS), serta beberapa catatan
kebijakan luar negeri lain, termasuk kasus perikanan dan kelautan di
beberapa wilayah Indonesia.
Membingungkan
Ada dua catatan dalam
pelaksanaan politik luar negeri Indonesia sepanjang tahun 2013. Pertama,
lemahnya koordinasi kebijakan luar negeri dalam ambivalensi kepentingan
Kementerian Luar Negeri ataupun Kantor Presiden. Sering kali agenda
politik luar negeri yang diterapkan Kantor Presiden dan Kemlu RI bergerak
sendiri-sendiri, membingungkan para diplomat dan pengamat.
Contoh yang sederhana adalah
gagasan Traktat Indo-Pasifik yang mencoba membuat kerangka kerja
mempromosikan persahabatan dan kerja sama yang menjadi pidato Presiden
Yudhoyono pada Policy Forum of the Japan Institute of International
Affairs di Tokyo, Jepang, belum lama ini. Dalam pidato tersebut, Presiden
menyebutkan dampak transformatif perdamaian traktat tersebut yang setara
dengan Traktat Persahabatan dan Kerja Sama ASEAN (TAC).
Pertanyaannya, kalau sudah ada
lebih dari 30 negara (termasuk AS, India, China, dan Jepang) yang
menandatangani TAC dalam mengangkat hubungan dengan ASEAN, bagaimana kita
akan meletakkan Traktat Indo-Pasifik setara dengan TAC yang sudah
memberikan payung politik dan keamanan secara multilateral selama ini?
Dan kedua, dalam sebuah
pertemuan, Agustus lalu, Marty tak secara tegas menjawab pertanyaan ini,
dan hanya mengatakan, ”Lebih baik kualitasnya daripada jumlah negara yang
akan mengakses.” Ketika dikonfirmasi kepada para diplomat di Kemlu di
tingkat eselon satu dan dua, tak ada yang bisa menjawab dan memberikan
penjelasan jernih dalam mendudukkan TAC dan Traktat Indo-Pasifik ini.
Hal sama juga terjadi saat
strategi tentang kesetimbangan dinamis tak pernah dirumuskan dalam
konsep, mekanisasi, dan operasionalisasi kebijakan luar negeri Indonesia.
dalam menghadapi perubahan geostrategi yang drastis. Presiden Yudhoyono
dalam pidatonya di Tokyo terkesan membacakan dalam format copy &
pasteketika berbicara tentang dynamic equilibrium, tanpa mencoba
merumuskan dan memberikan bobot pemahaman strategis atas terminologi
tersebut.
Perimbangan kekuatan
Dalam skala yang lebih luas,
ada pandangan bahwa politik luar negeri Indonesia sepanjang tahun 2013
tak bergerak dari posisi sebelumnya, yakni bermain dalam geopolitik
perimbangan kekuatan (balance of power), mengakomodasi kepentingan negara
besar dalam persaingan China-AS, mencari posisi dalam multilateralisme
yang semakin rumit, bersusah payah menata hubungan berbagai pihak
menyesuaikan kepentingan nasional Indonesia, serta mencari jawaban atas
tantangan interdependensi yang menjadi tuntutan bagi pertumbuhan
mengelola manajemen ekonomi dalam negeri.
Arah kebijakan luar negeri Indonesia
menyimpang dari filosofi yang dianut sejak berdirinya republik ini
tentang peranan bebas-aktif yang disebut Wakil Presiden Mohammad Hatta
dalam tulisannya ”Indonesia’s Foreign Policy” di jurnal Foreign
Affairs edisi April 1953, ”… the effort to work energetically for
the preservation of peace and the relaxation of tension (upaya untuk
bekerja secara energik demi melestarikan perdamaian dan menurunkan
ketegangan)....” Upaya ini gagal ketika Insiden Phnom Penh 2012 tak mampu
dicegah.
Padahal, persoalan politik
luar negeri yang dihadapi Indonesia, setidaknya sampai berakhirnya dekade
kedua abad ke-21 ini, harus tetap terkonsentrasi pada filosofi
bebas-aktif untuk bisa menghadirkan perubahan dan kontinuitas di dalam
pluralisme geopolitik ASEAN yang memerlukan pendalaman dan pemahaman
strategis, tidak hanya antara Indonesia dan sesama anggota kawasan,
tetapi juga dengan negara-negara di luar kawasan, seperti India, AS, atau
Rusia.
Kurun lima tahun ke depan,
posisi Indonesia akan sangat kritis menghadapi perubahan pemerintahan di
dalam negeri sekaligus perubahan dinamika antarbangsa yang terkoneksi
satu sama lain. Pemerintah hasil Pemilu 2014 harus bisa memberikan
jawaban strategis menghadapi berbagai tekanan internasional dalam
tarik-menarik geopolitik di kawasan Samudra Pasifik dan Hindia, dan
sekaligus mengamankan kepentingan nasional, khususnya menjaga momentum
pertumbuhan ekonomi yang memadai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar