Sabtu, 21 Desember 2013

Akomodasi Strategis Perspektif Internasional

Akomodasi Strategis Perspektif Internasional

Rene L Pattiradjawane  ;    Wartawan Kompas
KOMPAS,  21 Desember 2013

  

SEPANJANG tahun 2013, politik luar negeri Indonesia semakin memperlihatkan korelasi persoalan domestik yang sulit dan rumit.

Hal ini menyangkut banyak skandal, khususnya korupsi, yang menghambat kapasitas republik ini dalam memengaruhi situasi regional Asia Pasifik ataupun di dalam ASEAN sebagai pemain geostrategi yang dinamis. Tahun 2013 adalah tahun terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelum mengakhiri masa jabatannya setelah pemilihan presiden tahun depan.

Selama masa pemerintahan Presiden Yudhoyono 2009-2014, semakin nyata bahwa interdependensi politik luar negeri Indonesia di tengah arus globalisasi menjadi sangat terkait dalam hubungan antarnegara. Bersamaan dengan ini, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia menjadi makin rumit dalam postur perubahan geopolitik dan geostrategi regional ataupun global.

Kebijakan Presiden Yudhoyono tentang a million friends and zero enemy (sejuta teman dan tanpa musuh) menjadi kandas ketika terkuak kasus spionase yang dilakukan Australia dengan menyadap telepon seluler (ponsel) para pejabat negara dalam kurun waktu cukup lama. Arus deras globalisasi yang didorong kemajuan pesat teknologi komunikasi informasi menyentak kesadaran kita tentang realitas tak adanya teman atau musuh abadi dalam politik internasional.

Di sisi lain, perspektif politik luar negeri Indonesia tak mampu mendorong dan mewujudkan strategi kesetimbangan dinamis (dynamic equilibrium) yang digagas Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa karena memang tak pernah dijadikan perkakas diplomasi dalam mewujudkan politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif. Kita condong mencari pijakan rumit di tengah dinamika politik internasional di antara kebangkitan China sebagai kekuatan baru dan AS sebagai kekuatan dominan yang menghadapi tantangan dan perubahan geopolitik global.

Ini yang terjadi ketika Menlu Marty berbicara soal Traktat Indo-Pasifik, penyelesaian di luar ASEAN dalam pertikaian Candi Preah Vihear antara Thailand dan Kamboja, tak berhasilnya kesepakatan mengikat sejumlah negara dalam kode tata berperilaku di Laut China Selatan terkait tumpang tindih klaim kedaulatan, bagaimana memainkan peran sentral dalam multilateralisme politik dan keamanan melalui KTT Asia Timur (EAS), serta beberapa catatan kebijakan luar negeri lain, termasuk kasus perikanan dan kelautan di beberapa wilayah Indonesia.

Membingungkan

Ada dua catatan dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia sepanjang tahun 2013. Pertama, lemahnya koordinasi kebijakan luar negeri dalam ambivalensi kepentingan Kementerian Luar Negeri ataupun Kantor Presiden. Sering kali agenda politik luar negeri yang diterapkan Kantor Presiden dan Kemlu RI bergerak sendiri-sendiri, membingungkan para diplomat dan pengamat.

Contoh yang sederhana adalah gagasan Traktat Indo-Pasifik yang mencoba membuat kerangka kerja mempromosikan persahabatan dan kerja sama yang menjadi pidato Presiden Yudhoyono pada Policy Forum of the Japan Institute of International Affairs di Tokyo, Jepang, belum lama ini. Dalam pidato tersebut, Presiden menyebutkan dampak transformatif perdamaian traktat tersebut yang setara dengan Traktat Persahabatan dan Kerja Sama ASEAN (TAC).

Pertanyaannya, kalau sudah ada lebih dari 30 negara (termasuk AS, India, China, dan Jepang) yang menandatangani TAC dalam mengangkat hubungan dengan ASEAN, bagaimana kita akan meletakkan Traktat Indo-Pasifik setara dengan TAC yang sudah memberikan payung politik dan keamanan secara multilateral selama ini?

Dan kedua, dalam sebuah pertemuan, Agustus lalu, Marty tak secara tegas menjawab pertanyaan ini, dan hanya mengatakan, ”Lebih baik kualitasnya daripada jumlah negara yang akan mengakses.” Ketika dikonfirmasi kepada para diplomat di Kemlu di tingkat eselon satu dan dua, tak ada yang bisa menjawab dan memberikan penjelasan jernih dalam mendudukkan TAC dan Traktat Indo-Pasifik ini.

Hal sama juga terjadi saat strategi tentang kesetimbangan dinamis tak pernah dirumuskan dalam konsep, mekanisasi, dan operasionalisasi kebijakan luar negeri Indonesia. dalam menghadapi perubahan geostrategi yang drastis. Presiden Yudhoyono dalam pidatonya di Tokyo terkesan membacakan dalam format copy & pasteketika berbicara tentang dynamic equilibrium, tanpa mencoba merumuskan dan memberikan bobot pemahaman strategis atas terminologi tersebut.

Perimbangan kekuatan

Dalam skala yang lebih luas, ada pandangan bahwa politik luar negeri Indonesia sepanjang tahun 2013 tak bergerak dari posisi sebelumnya, yakni bermain dalam geopolitik perimbangan kekuatan (balance of power), mengakomodasi kepentingan negara besar dalam persaingan China-AS, mencari posisi dalam multilateralisme yang semakin rumit, bersusah payah menata hubungan berbagai pihak menyesuaikan kepentingan nasional Indonesia, serta mencari jawaban atas tantangan interdependensi yang menjadi tuntutan bagi pertumbuhan mengelola manajemen ekonomi dalam negeri.

Arah kebijakan luar negeri Indonesia menyimpang dari filosofi yang dianut sejak berdirinya republik ini tentang peranan bebas-aktif yang disebut Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam tulisannya ”Indonesia’s Foreign Policy” di jurnal Foreign Affairs edisi April 1953, ”… the effort to work energetically for the preservation of peace and the relaxation of tension (upaya untuk bekerja secara energik demi melestarikan perdamaian dan menurunkan ketegangan)....” Upaya ini gagal ketika Insiden Phnom Penh 2012 tak mampu dicegah.

Padahal, persoalan politik luar negeri yang dihadapi Indonesia, setidaknya sampai berakhirnya dekade kedua abad ke-21 ini, harus tetap terkonsentrasi pada filosofi bebas-aktif untuk bisa menghadirkan perubahan dan kontinuitas di dalam pluralisme geopolitik ASEAN yang memerlukan pendalaman dan pemahaman strategis, tidak hanya antara Indonesia dan sesama anggota kawasan, tetapi juga dengan negara-negara di luar kawasan, seperti India, AS, atau Rusia.

Kurun lima tahun ke depan, posisi Indonesia akan sangat kritis menghadapi perubahan pemerintahan di dalam negeri sekaligus perubahan dinamika antarbangsa yang terkoneksi satu sama lain. Pemerintah hasil Pemilu 2014 harus bisa memberikan jawaban strategis menghadapi berbagai tekanan internasional dalam tarik-menarik geopolitik di kawasan Samudra Pasifik dan Hindia, dan sekaligus mengamankan kepentingan nasional, khususnya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang memadai.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar