PARA pemimpin negara di Asia
Tenggara dalam pertemuan di Denpasar, Bali, 7 Oktober 2003, bersepakat
menyatukan warganya ke dalam satu wadah besar. Sejak itulah dikenal
istilah Komunitas ASEAN dengan tiga pilar, yakni Komunitas Ekonomi,
Komunitas Politik-Keamanan, dan Komunitas Sosial-Budaya.
Dalam deklarasi yang disebut
Bali Concord II itu ditegaskan, Komunitas ASEAN harus dibentuk pada 2020.
Namun, lima tahun kemudian, dalam Konferensi Tingkat Tinggi Ke-12 ASEAN
di Cebu, Filipina, 13 Januari 2007, mereka lebih percaya diri dengan
mempercepat pembentukan Komunitas ASEAN pada 2015.
Untuk Komunitas Ekonomi (AEC)
ada target besar, yakni mencapai tingkat dinamika pembangunan ekonomi
yang tinggi, kemakmuran berkelanjutan, pertumbuhan yang merata, dan
pembangunan yang terintegrasi di ASEAN.
Komunitas Politik-Keamanan
ASEAN (APSC) menangani peningkatan kerja sama untuk memelihara
perdamaian, memajukan hak asasi manusia, dan demokratisasi di kawasan.
Tidak tersekat
Pilar Komunitas Sosial-Budaya
(ASCC) lebih fokus pada orang, budaya, dan sumber daya alam untuk
pembangunan berkelanjutan yang harmonis dan berorientasi pada orang.
Salah satu semangat Komunitas
ASEAN adalah menyatukan seluruh warga Asia Tenggara, yang berbeda secara
kontras dalam berbagai latar belakang itu, ke dalam satu komunitas di
mana interaksi masyarakat tidak lagi tersekat pada batas negara.
Sampai di sini publik tentu
bertanya, sejauh mana upaya pembentukan Komunitas ASEAN berproses?
Dalam berbagai diskusi para narasumber menegaskan, hanya pilar ekonomi
yang siap.
Terkait dengan itu, topik yang
paling disoroti ialah AEC harus membentuk ASEAN sebagai pasar tunggal dan
basis produksi, dan menjadikannya lebih dinamis dan kompetitif. Namun,
ada tantangan berat, yakni jurang pembangunan yang tajam, terutama di
Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam.
AEC memiliki tiga blok besar.
Blok pertama adalah integrasi perdagangan yang ditargetkan rampung pada
2015. Harapannya, ASEAN menjadi basis produksi tunggal. Namun, sampai
saat ini prosesnya baru sekitar 70 persen.
Ketinggalan
Blok kedua, yakni terkait
dengan pelayanan, masih ketinggalan. Begitu juga dengan blok ketiga, di
mana ASEAN dilihat sebagai wilayah investasi, dan itu pun kondisinya
tertinggal jauh dari negara-negara Barat. Infrastruktur pendukungnya
minim dan tidak terkoneksi serta kesiapan masyarakat untuk menerima
investasi pun rendah.
ASEAN juga harus tetap
mempertahankan sentralitas, integritas, dan menjadi kekuatan pendorong
dalam arsitektur regional. Hanya dengan itu, integrasi kawasan dapat
dipercepat dan komunitas dapat dibangun.
Namun, bagaimana semua itu
bisa dijalankan dan digerakkan? Cukupkah dengan hanya mengandalkan
lembaga Sekretariat ASEAN di Jakarta?
Sebenarnya, Sekretariat ASEAN
sampai saat ini lebih berfungsi sebagai lembaga koordinasi
antarpemerintah negara anggota, berbeda dengan Uni Eropa (UE), misalnya.
Kita mengharapkan ASEAN
memiliki lembaga yang kuat tidak saja bersifat koordinatif, tetapi juga
mampu merumuskan dan memutuskan berbagai kebijakan regional. Lembaga ini
harus memiliki regulasi, tata kelola potensi ekonomi, politik dan
keamanan, serta sosial dan budaya. Itu memerlukan pula dukungan dana yang
besar.
Membangun komunitas tunggal
ASEAN bukan pekerjaan mudah. Negara anggota dituntut membangun persepsi
yang sama tentang cara mengatasi persoalan baru di kawasan dan memperkuat
ketiga pilar tadi.
Itu sebagian problem ASEAN
menjelang pembentukan Komunitas ASEAN pada 31 Desember 2015. Masalah
sesungguhnya lebih kompleks lagi. Banyak persoalan di dalam dan
antarnegara anggota belum terpecahkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar