LONJAKAN jumlah kematian ibu
melahirkan selama lima tahun terakhir, yang diumumkan September 2013,
mengagetkan lembaga eksekutif ataupun pendidikan yang mengurusi kesehatan
masyarakat. Ada yang menerima dengan lapang dada, ada pula yang menggugat
metode penelitiannya. Namun, respons dari lembaga-lembaga politik di pusat
dan daerah hanya terdengar sayup-sayup.
Dari 100.000 kelahiran hidup,
kematian ibu melahirkan meningkat dari 228 pada 2007 menjadi 359 pada 2013.
Sebuah alarm atas buruknya kualitas layanan kesehatan dasar di Indonesia.
Jumlah itu menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah
kematian ibu melahirkan tertinggi di Asia.
Kepala Lembaga Demografi
Universitas Indonesia Sonny Harry B Harmadi menyebut besarnya angka
kematian ibu mencerminkan seberapa besar kemauan dan komitmen suatu negara
membangun kualitas manusianya.
Jika dalam tahap awal pembentukan sumber
daya manusia saja penuh gejolak, pembangunan manusia pada tahap
selanjutnya—mulai dari balita, anak-anak, remaja, hingga dewasa—pasti sarat
dengan masalah dan ironi.
Tengoklah anak-anak balita kita.
Lebih dari 35 persen di antara mereka tumbuh lebih pendek daripada tinggi
tubuh seharusnya sesuai umur mereka. Kondisi ini adalah buah dari kurangnya
pemenuhan gizi hewani pada anak balita Indonesia. Kemiskinan dan buruknya
pola asuh membuat anak-anak menjadi korban. Kemampuan mereka berpikir di
masa depan dan daya tahan tubuh mereka terancam.
Menginjak remaja, mereka hidup
dalam kegamangan. Di satu sisi mereka masih dianggap anak-anak dan
rasionalitasnya belum matang, di sisi lain mereka sudah matang secara
emosional dan seksual. Di masa peralihan yang penuh gejolak inilah remaja
justru terombang-ambing. Kurangnya kasih sayang di rumah, buruknya sistem
pendidikan di sekolah, hingga contoh perilaku melanggar norma di sekitar
mereka membuat banyak remaja terlibat dalam perilaku kriminal dan asusila.
Persoalan pendidikan kesehatan
reproduksi dan seksualitas, yang telah lama didorong untuk menumbuhkan
tanggung jawab remaja atas tubuhnya, hingga kini belum terlaksana. Tudingan
mengajarkan seks bebas masih jadi alasan. Seolah menutup mata bahwa seks
bebas yang tidak bertanggung jawab itu sudah menjadi budaya sebagian
remaja. Perilaku itu memicu sejumlah persoalan lanjutan, seperti kehamilan
yang tidak diinginkan, aborsi, pengabaian anak, hingga kekerasan dalam
rumah tangga.
Saat remaja pulalah anak-anak
kita mulai mengenal rokok. Renggangnya aturan pembatasan rokok saat ini
membuat mereka yang belum berusia 18 tahun itu bisa bebas mengonsumsi dan
membeli rokok. Persepsi tentang merokok yang sukses ditanamkan industri
rokok menjadikan anak-anak muda Indonesia tumbal atas kekurangpedulian
negara untuk melindungi mereka.
Desakan bertahun-tahun sejumlah
kelompok kesehatan agar Pemerintah Indonesia segera mengaksesi Konvensi
Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/ FCTC) hingga kini
belum terwujud. Itu menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya negara Asia
dan satu dari dua negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam—selain
Somalia—yang belum menandatangani FCTC.
Pemerintah masih ragu aksesi itu
akan berdampak pada petani dan industri tembakau. Padahal, Direktur
Jenderal Pusat Penelitian dan Pelatihan Statistik, Ekonomi, dan Sosial
untuk Negara-negara Islam (SESRIC) Savas Alpay telah berulang kali
meyakinkan Indonesia bahwa industri tembakau di negara-negara yang telah
menandatangani FCTC, seperti China, Turki, India, dan Brasil, tetap hidup.
Pada saat pemerintah ragu atas
aksesi FCTC, DPR justru mendorong Rancangan Undang-Undang Pertembakauan
yang semangatnya justru bertentangan dengan kesehatan. Para petani
tembakau, buruh pabrik rokok, industri kecil rokok, ataupun rokok kretek
sebagai aset budaya bangsa dijadikan alasan tanpa dasar yang kuat.
Masyarakatlah yang kini harus
menanggung derita akibat abainya pemerintah terhadap bahaya rokok. Penyakit
jantung, stroke, paru obstruktif kronik, hingga kanker menyebar di
masyarakat: menyerang siapa pun, baik yang kaya maupun papa, yang di kota
maupun desa. Di tengah kondisi belum adanya jaminan kesehatan yang memadai,
banyak masyarakat harus menanggung sendiri biaya pengobatan yang amat
mahal. Sebagian kalangan memilih pasrah menunggu kematian.
Penyakit-penyakit tidak menular
yang selama ini menjadi ikon orang tua itu kini mulai banyak diderita
kelompok usia muda. Padahal, merekalah penggerak pembangunan ekonomi
bangsa. Ekonomi keluarga pun terimbas karenanya.
Manajemen kependudukan
Selain masih harus menghadapi
berbagai persoalan medis, pemerintah juga masih bergulat pada persoalan
kuantitas dan kualitas tenaga kesehatan. Distribusi yang tidak merata,
komunikasi petugas kepada pasien yang buruk, hingga sarana dan prasarana
layanan kesehatan yang tidak memadai masih menjadi persoalan klasik yang
berlaku dari dulu hingga kini.
Pendidikan tenaga kesehatan yang
menjadi tulang punggung pelayanan kesehatan pun masih menghadapi berbagai
persoalan pelik. Munculnya fakultas kedokteran baru dengan kualitas rendah,
keberadaan akademi kebidanan dan keperawatan yang marak di ruko-ruko,
hingga munculnya sekolah menengah kejuruan keperawatan membuat kualitas dan
manajemen sumber daya kesehatan Indonesia makin runyam.
Sebagian persoalan kesehatan
yang muncul itu adalah bukti buruknya perencanaan dan manajemen
kependudukan. Manusia masih dianggap sebagai angka-angka statistik yang
akan dijadikan klaim atas keberhasilan pembangunan oleh kepala pemerintahan
di pusat maupun daerah pada akhir masa jabatan mereka. Manusia Indonesia
belum ditempatkan sebagai subyek pembangunan dengan segala potensi yang
dimilikinya.
Belum diarusutamakannya
pembangunan manusia, terlihat dari rendahnya pembiayaan negara pada sektor
kesehatan, kependudukan, dan keluarga berencana. Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan sudah mengatur bahwa pembiayaan kesehatan
pemerintah di luar gaji sebesar 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD.
Namun, hingga kini ketentuan itu tak pernah dilaksanakan.
Berbagai persoalan kesehatan,
kependudukan, dan keluarga berencana juga masih dianggap urusan dinas atau
kementerian terkait. Padahal, banyak persoalan yang memengaruhi kualitas
manusia Indonesia itu justru bersumber dari buruknya infrastruktur, budaya
yang tak mendukung, hingga pendidikan masyarakat yang masih rendah.
Pejabat politik maupun calon
anggota legislatif di pusat dan daerah lebih senang menjanjikan program
pengobatan gratis bagi masyarakat dalam kampanyenya di bidang kesehatan.
Penanganan kesehatan di hulu melalui upaya promotif preventif, penggalakan
keluarga berencana, hingga penyiapan tenaga kesehatan yang berkualitas
dianggap tak menarik hanya karena hasilnya tak akan terlihat dalam lima
tahun masa jabatan mereka.
Tahun 2014, di tahun politik,
saatnya rakyat menagih lagi komitmen pemerintah dan wakil rakyat atas
pembangunan manusia Indonesia. Pembangunan manusia adalah investasi jangka
panjang untuk mempersiapkan anak bangsa menjadi manusia yang berdaya saing
tinggi dengan bangsa-bangsa lain di era global.
Peluang itu masih ada. Terlebih
lagi, mulai tahun 2020-2030 Indonesia akan memasuki jendela peluang dari
bonus demografi yang sudah dirasakan sejak tahun 1990-an. Jika kesempatan
itu lolos, Indonesia bisa masuk dalam jebakan negara kelas menengah yang
tak bisa bergerak menjadi negara maju. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar