Kamis, 19 Desember 2013

Menagih Komitmen Politik

Menagih Komitmen Politik
M Zaid Wahyudi  ;    Wartawan Kompas
KOMPAS,  18 Desember 2013
  


LONJAKAN jumlah kematian ibu melahirkan selama lima tahun terakhir, yang diumumkan September 2013, mengagetkan lembaga eksekutif ataupun pendidikan yang mengurusi kesehatan masyarakat. Ada yang menerima dengan lapang dada, ada pula yang menggugat metode penelitiannya. Namun, respons dari lembaga-lembaga politik di pusat dan daerah hanya terdengar sayup-sayup.

Dari 100.000 kelahiran hidup, kematian ibu melahirkan meningkat dari 228 pada 2007 menjadi 359 pada 2013. Sebuah alarm atas buruknya kualitas layanan kesehatan dasar di Indonesia. Jumlah itu menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah kematian ibu melahirkan tertinggi di Asia.

Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Sonny Harry B Harmadi menyebut besarnya angka kematian ibu mencerminkan seberapa besar kemauan dan komitmen suatu negara membangun kualitas manusianya. 

Jika dalam tahap awal pembentukan sumber daya manusia saja penuh gejolak, pembangunan manusia pada tahap selanjutnya—mulai dari balita, anak-anak, remaja, hingga dewasa—pasti sarat dengan masalah dan ironi.

Tengoklah anak-anak balita kita. Lebih dari 35 persen di antara mereka tumbuh lebih pendek daripada tinggi tubuh seharusnya sesuai umur mereka. Kondisi ini adalah buah dari kurangnya pemenuhan gizi hewani pada anak balita Indonesia. Kemiskinan dan buruknya pola asuh membuat anak-anak menjadi korban. Kemampuan mereka berpikir di masa depan dan daya tahan tubuh mereka terancam.

Menginjak remaja, mereka hidup dalam kegamangan. Di satu sisi mereka masih dianggap anak-anak dan rasionalitasnya belum matang, di sisi lain mereka sudah matang secara emosional dan seksual. Di masa peralihan yang penuh gejolak inilah remaja justru terombang-ambing. Kurangnya kasih sayang di rumah, buruknya sistem pendidikan di sekolah, hingga contoh perilaku melanggar norma di sekitar mereka membuat banyak remaja terlibat dalam perilaku kriminal dan asusila.

Persoalan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas, yang telah lama didorong untuk menumbuhkan tanggung jawab remaja atas tubuhnya, hingga kini belum terlaksana. Tudingan mengajarkan seks bebas masih jadi alasan. Seolah menutup mata bahwa seks bebas yang tidak bertanggung jawab itu sudah menjadi budaya sebagian remaja. Perilaku itu memicu sejumlah persoalan lanjutan, seperti kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, pengabaian anak, hingga kekerasan dalam rumah tangga.

Saat remaja pulalah anak-anak kita mulai mengenal rokok. Renggangnya aturan pembatasan rokok saat ini membuat mereka yang belum berusia 18 tahun itu bisa bebas mengonsumsi dan membeli rokok. Persepsi tentang merokok yang sukses ditanamkan industri rokok menjadikan anak-anak muda Indonesia tumbal atas kekurangpedulian negara untuk melindungi mereka.

Desakan bertahun-tahun sejumlah kelompok kesehatan agar Pemerintah Indonesia segera mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/ FCTC) hingga kini belum terwujud. Itu menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya negara Asia dan satu dari dua negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam—selain Somalia—yang belum menandatangani FCTC.

Pemerintah masih ragu aksesi itu akan berdampak pada petani dan industri tembakau. Padahal, Direktur Jenderal Pusat Penelitian dan Pelatihan Statistik, Ekonomi, dan Sosial untuk Negara-negara Islam (SESRIC) Savas Alpay telah berulang kali meyakinkan Indonesia bahwa industri tembakau di negara-negara yang telah menandatangani FCTC, seperti China, Turki, India, dan Brasil, tetap hidup.

Pada saat pemerintah ragu atas aksesi FCTC, DPR justru mendorong Rancangan Undang-Undang Pertembakauan yang semangatnya justru bertentangan dengan kesehatan. Para petani tembakau, buruh pabrik rokok, industri kecil rokok, ataupun rokok kretek sebagai aset budaya bangsa dijadikan alasan tanpa dasar yang kuat.

Masyarakatlah yang kini harus menanggung derita akibat abainya pemerintah terhadap bahaya rokok. Penyakit jantung, stroke, paru obstruktif kronik, hingga kanker menyebar di masyarakat: menyerang siapa pun, baik yang kaya maupun papa, yang di kota maupun desa. Di tengah kondisi belum adanya jaminan kesehatan yang memadai, banyak masyarakat harus menanggung sendiri biaya pengobatan yang amat mahal. Sebagian kalangan memilih pasrah menunggu kematian.

Penyakit-penyakit tidak menular yang selama ini menjadi ikon orang tua itu kini mulai banyak diderita kelompok usia muda. Padahal, merekalah penggerak pembangunan ekonomi bangsa. Ekonomi keluarga pun terimbas karenanya.

Manajemen kependudukan

Selain masih harus menghadapi berbagai persoalan medis, pemerintah juga masih bergulat pada persoalan kuantitas dan kualitas tenaga kesehatan. Distribusi yang tidak merata, komunikasi petugas kepada pasien yang buruk, hingga sarana dan prasarana layanan kesehatan yang tidak memadai masih menjadi persoalan klasik yang berlaku dari dulu hingga kini.

Pendidikan tenaga kesehatan yang menjadi tulang punggung pelayanan kesehatan pun masih menghadapi berbagai persoalan pelik. Munculnya fakultas kedokteran baru dengan kualitas rendah, keberadaan akademi kebidanan dan keperawatan yang marak di ruko-ruko, hingga munculnya sekolah menengah kejuruan keperawatan membuat kualitas dan manajemen sumber daya kesehatan Indonesia makin runyam.

Sebagian persoalan kesehatan yang muncul itu adalah bukti buruknya perencanaan dan manajemen kependudukan. Manusia masih dianggap sebagai angka-angka statistik yang akan dijadikan klaim atas keberhasilan pembangunan oleh kepala pemerintahan di pusat maupun daerah pada akhir masa jabatan mereka. Manusia Indonesia belum ditempatkan sebagai subyek pembangunan dengan segala potensi yang dimilikinya.

Belum diarusutamakannya pembangunan manusia, terlihat dari rendahnya pembiayaan negara pada sektor kesehatan, kependudukan, dan keluarga berencana. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sudah mengatur bahwa pembiayaan kesehatan pemerintah di luar gaji sebesar 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD. Namun, hingga kini ketentuan itu tak pernah dilaksanakan.

Berbagai persoalan kesehatan, kependudukan, dan keluarga berencana juga masih dianggap urusan dinas atau kementerian terkait. Padahal, banyak persoalan yang memengaruhi kualitas manusia Indonesia itu justru bersumber dari buruknya infrastruktur, budaya yang tak mendukung, hingga pendidikan masyarakat yang masih rendah.

Pejabat politik maupun calon anggota legislatif di pusat dan daerah lebih senang menjanjikan program pengobatan gratis bagi masyarakat dalam kampanyenya di bidang kesehatan. Penanganan kesehatan di hulu melalui upaya promotif preventif, penggalakan keluarga berencana, hingga penyiapan tenaga kesehatan yang berkualitas dianggap tak menarik hanya karena hasilnya tak akan terlihat dalam lima tahun masa jabatan mereka.

Tahun 2014, di tahun politik, saatnya rakyat menagih lagi komitmen pemerintah dan wakil rakyat atas pembangunan manusia Indonesia. Pembangunan manusia adalah investasi jangka panjang untuk mempersiapkan anak bangsa menjadi manusia yang berdaya saing tinggi dengan bangsa-bangsa lain di era global.

Peluang itu masih ada. Terlebih lagi, mulai tahun 2020-2030 Indonesia akan memasuki jendela peluang dari bonus demografi yang sudah dirasakan sejak tahun 1990-an. Jika kesempatan itu lolos, Indonesia bisa masuk dalam jebakan negara kelas menengah yang tak bisa bergerak menjadi negara maju.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar