Senin, 23 Desember 2013

Natal dan Kesucian Batin

Natal dan Kesucian Batin
Nur Kholis  ;   Analis Sosiopolitik, Tinggal di Yogyakarta
SINAR HARAPAN,  23 Desember 2013

  

Perayaan Natal selalu mengingatkan kita pada kisah Maria saat ditemui malaikat Gabriel. Kepada Maria, malaikat Gabriel mengatakan, “Engkau akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki”.

Maria tidak begitu saja memahami kabar itu. Malaikat itu menjelaskan kepada Maria, “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus” (Lukas 1:35).

Tentu saja Maria terkejut mendengar perkataan malaikat Gabriel. Seorang perempuan yang masih suci tiba-tiba dalam rahimnya bersemayam seorang anak. Dalam posisi yang demikian ini, Maria bingung dalam mengambil keputusan.

Ia tidak mungkin menolak bayi yang ada dalam kandungan tersebut, sebab kalau ia menolak sama dengan menolak kehendak Tuhan. Menolak kehendak Tuhan adalah hal yang tidak mungkin dilakukan Maria. Maria hanya bisa menerima dengan senang hati atas pemberian Tuhan tersebut.

Itulah bentuk keluasan hati seorang hamba kepada Tuhannya. Tidak mungkin Tuhan memberikan cobaan atau ujian yang melebihi kapasitas hambanya sebagai manusia. Maria adalah orang yang pantas dan sudah dipilih Tuhan untuk mendapatkan anugerah-Nya.

Bila kita menyimak lebih lanjut kisah Maria dalam Lukas di atas, kita akan mencapai kesimpulan bahwa Maria adalah orang yang tidak suka berprasangka buruk kepada siapa dan apa pun. Itulah sebabnya Tuhan menyingahkan anak dalam kandungannya.

Dalam konteks ini, perayaan natal merupakan perenungan batin yang mendalam untuk menemukan kesucian batin. Kesucian batin adalah melatih diri menghilangkan prasangka buruk atas orang lain. Prasangka buruk akan membawa manusia dalam jurang kenistaan dan pertikaian.

Disadari atau tidak, munculnya berbagai konflik berakar pada kuatnya prasanga buruk kita pada orang lain. Gumpalan prasangka buruk itu yang kemudian mampu mengendalikan akal pikiran dan meruntuhkan nurani kita.

Batin manusia yang sudah dikendalikan prasangka buruk, kehidupan yang dijalaninya tidak akan bisa tenang. Setiap kali yang dirasakan adalah ketakuan-ketakutan. Keberanian hanyalah spekulasi semata. Inilah salah satu alasan mengapa agama meralang berprasangka buruk kepada umat manusia.

Munculnya berbagai konflik dan aksi-aksi terorisme tidak lain adalah karena kuatnya prasangka buruk kepada orang lain. Mereka adalah orang-orang yang hati nuraninya sudah dibutakan prasanga buruk.

Berkali-kali aksi terorisme dilakukan atas nama agama yang senyatanya berseberangan dengan kaidah keagamaan. Agama identik atau mengajarkan perdamaian dan harmoni kepada umatnya. Tidak ada satu pun teks-teks agama yang mengajak umatnya untuk merusuh, apalagi meneror agama lainnya.
Oleh karena itu, dalam setiap teks keagamaan selalu diajarkan solidaritas, kerukunan, persaudaraan, dan cinta. Sejatinya agama adalah cinta. Orang-orang yang memaknai agama adalah peperangan, adalah “sesat pikir”.

Agama diturunkan untuk menuntun umat manusia dari kegelapan menuju cahaya terang benderang. Hal itu agar manusia bisa membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang tidak pelu dilakukan.

Mengikat Persaudaraan

Perayaan Natal tidak hanya sekadar ritual mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi juga sebagai ritual untuk mempererat tali persaudaraan kita kepada sesama umat beragama.

Karen Armstrong mengatakan, peringatan hari besar keagamaan merupakan momen pertemuan agung antara manusia dengan Tuhan. Natal sebagai peristiwa religius sekaligus sosial, menjadi tameng besar untuk membentuk harmonisasi antarumat beragama.

Kenyataan adanya pluralisme di Indonesia secara langsung telah menuntut umat beragama menegaskan identitas keagamaannya di tengah agama lainnya dengan tetap menjaga nilai-nilai kerukunan antarsesama manusia. Pluralisme merupakan wadah menyemai tali persaudaraan antarumat beragama. Bahkan, pluralisme juga merupakan pengejewantahan dari nilai-nilai Pancasila.

Agama tidak mengajarkan mana agama yang besar dan yang kecil. Semua agama bertujuan sama, sebagai jalan untuk menemukan kebahagiaan hakiki. Kebahagiaan bagi semua umat pemeluknya. Dengan demikian, tidak ada klasifikasi antara agama satu dengan yang lainnya.

Dalam hal ini, Pancasila sangat mengekspresikan bagaimana bentuk keragaman dan pola penjagaanya. Pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, mempunyai interpretasi kuat semua orang berhak berkeyakinan. Namun, keyakinan seseorang harus disertai rasa perikemanusiaan sebagaimana yang ditunjukkan pada sila kedua.

Jika kita menggunakan ideologi Pancasila ini, tidak ada yang namanya pengkafiran, penistaan agama atau aliran, dan menganggap keyakinan sendiri yang paling benar dan keyakinan orang lain adalah sesat.

Sebagaimana dikatakan Armstrong, Natal tidak saja untuk membentuk ikatan vertikal (manusia dengan Tuhan), tetapi juga ikatan horizontal (manusia dengan sesama manusia). Yang terpenting bagi bangsa Indonesia dalam memperingati perayaan Natal ini adalah, membentuk ikatan persaudaraan yang kuat demi terciptanya kerukunan abadi.

Kita juga harus terus berusaha menghilangkan prasangka buruk kepada orang lain, agar batin kita senantiasa terjaga dan penuh dengan kedamaian.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar