Senin, 23 Desember 2013

Tindak Anarkistis Orang Tua kepada Anak

Tindak Anarkistis Orang Tua kepada Anak
Yulina Eva Riany  ;   Peneliti dan Kandidat Doktor Bidang Ilmu Perkembangan Manusia dan Ilmu Rehabilitasi Kesehatan di The University of Queensland, Australia
KORAN SINDO,  23 Desember 2013

  

Sejumlah kasus tindak kekerasan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan orang tua kandung korban sendiri merupakan fenomena memilukan yang kian marak terjadi di masyarakat. 

Sebut saja kasus Widiastuti, bocah berusia lima tahun yang mengalami rangkaian penganiayaan oleh ibunya sendiri hingga akhirnya meninggal dunia (17/5). Bayi malang Khodijah juga mengalami nasib yang sama akibat dianiaya oleh ayah kandungnya sendiri (3/12). Peristiwa yang menghebohkan masyarakat Bangkinang pertengahan bulan ini adalah tindakan yang dilakukan orang tua kandung Adit, 6, yang selain tega menganiaya korban hingga terluka parah, juga dengan sampai hati membuang Adit ke kebun kelapa sawit (19/12). 

Meskipun faktor penyebab terjadi penganiayaan orang tua terhadap anak kandung ini beragam, fenomena tindak kekerasan ini dapat dijelaskan dari sudut pandang teori psikoanalisis dan psikososial. Berbagai faktor internal dan eksternal keluarga dipercaya sebagai pemicu terjadi tindak kekerasan orang tua kandung terhadap anaknya sendiri. 

Sigmund Freud (1886) dengan teori psikoanalisisnya menjelaskan bahwa pada dasarnya dorongan untuk melakukan tindak kekerasan memang sudah menjadi sifat dasar manusia. Setiap manusia berpotensi untuk melakukan tindak kekerasan, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Ini dipengaruhi oleh struktur jiwa manusia itu sendiri yang terdiri atas tiga bagian yaitu id, ego, dan superego. Freud mendefinisikan id sebagai insting bagi individu. Id bekerja berdasarkan prinsip intuisi untuk hidup termasuk di dalamnya nafsu dan kesenangan. 

Karena itu, sejak lahir, seorang manusia sudah memiliki id di dalam pribadinya dalam upaya mempertahankan hidupnya. Sementara superego didefinisikan sebagai prinsip ideal mengenai aturan yang dianggap baik dan tidak baik dalam kehidupan. Superego mulai berkembang ketika individu berusia sekitar lima tahun melalui proses internalisasi norma yang diadopsi dari perilaku orang tua dan orang-orang di sekitar anak. Superego yang merupakan kontrol individu dalam bertindak berkembang sebagai hasil pembelajaran dan pencontohan dari lingkungan tempat seseorang hidup. 

Sedangkan ego bekerja berdasarkan prinsip realita di dalam kehidupan yang berfungsi sebagai penyeimbang antara id dan superego. Freud menilai bahwa pribadi individu yang sehat adalah yang memiliki keseimbangan antara ketiga hal tersebut. Individu yang memiliki intensitas superego yang terlalu kuat di dalam dirinya akan menjadi pribadi yang sangat kaku dan cemas terhadap aturan baik dan tidak baik pada dirinya maupun lingkungan di sekitarnya. 

Ini yang memicu seseorang untuk mengalami mental distress yang berlebihan sehingga tidak jarang membahayakan orang lain yang berada di sekitarnya, termasuk anaknya sendiri sebagai individu terdekat. Ambil contoh, kasus yang dilakukan DSD, 18, yang tega menganiaya anaknya sendiri DLR (5) hingga tewas (17/3). DSD tega memukuli DLR dan mendorongnya ke lantai kamar mandi hingga sang anak mengalami pendarahan otak lantaran sang ibu menganggap bahwa tindakan sang anak balita tersebut yang tidur pada pagi hari adalah melanggar aturan. Karena ada tekanan superego yang kuat pada pribadi sang ibu, reaksi berlebihan terhadap kesalahan kecil sang anak pun muncul dalam tindakan anarkistis. 

Berbeda halnya dengan pribadi individu yang didominasi oleh id, Freud menjelaskan bahwa ketidakseimbangan struktur jiwa yang didominasi id akan membahayakan lingkungan sekitarnya karena tidak ada kontrol norma yang melekat pada pribadi diri seseorang. Dominasi iddan kegagalan internalisasi superego pada karakter individu akan menghasilkan karakter yang beringas, tidak punya kontrol, dan menghalalkan berbagai cara demi mencapai tujuan yang ada, termasuk memenuhi hasrat, nafsu, dan kesenangan yang merupakan panggilan naluriah dari dalam diri seseorang. 

Sebut saja kasus yang dilakukan Ervina, 36, dan Surya, 35 terhadap Adit, 6, anak mereka yang telah dengan sengaja dianiaya hingga menderita luka berat dan dibuang ke kebun sawit. Ervina menuturkan alasannya tega menganiaya dan membuang anaknya karena ketidakmampuannya dalam menahan nafsu amarah yang disebabkan oleh ulah nakal anaknya tersebut. Dengan dominansi id di dalam diri sang ibu dan rendahnya kontrol superego, Ervina mudah terlarut dalam luapan emosi jiwanya yang meledak-ledak dan tidak mengindahkan aturan sosial yang menjelaskan asas kepatutan perilaku dalam masyarakat. 

Dengan begitu, Ervina tega melakukan tindakan anarkistis kepada anaknya sendiri selama kebutuhan untuk memuaskan nafsu amarahnya terpenuhi. Selain itu, kondisi sosial ekonomi keluarga, interaksi sosial, dan kontrol sosial masyarakat dinilai sebagai faktor eksternal yang juga menjadi pemicu tindak anarkistis orang tua kepada anaknya. Penelitian menunjukkan bahwa mayoritas tindak kekerasan terhadap anak terjadi pada keluarga dengan kondisi sosial-ekonomi yang rendah. Ini terjadi karena tekanan sosial-ekonomi (terlilit utang, rendahnya kemampuan ekonomi, dan sebagainya) menjadi penyebab tingginya tingkat stres pada orang tua. 

Stres orang tua inilah yang menjadi cikal bakal muncul amarah, tingkat kesabaran rendah, dan tensi orang tua tinggi terhadap berbagai masalah yang muncul. Bahkan tidak jarang orang tua yang tidak kuasa untuk mengatasi tekanan emosionalnya ketika muncul masalah kecil di dalam keluarganya. Parahnya, anaklah yang sering menjadi korban ledakan emosi sang orang tua karena selain anak adalah pihak terdekat, risiko untuk mendapatkan perlawanan balik dari sang anak pun sangat kecil. 

Dengan begitu, ekspresi amarah yang berlebihan sebagai solusi pelarian masalah sering ditumpahkan orang tua terhadap anaknya. Ditambah lagi, kebiasaan memberlakukan hukuman fisik dalam interaksi sosial sehari-hari antara anak dan orang tua juga dinilai sebagai faktor eksternal yang bertanggung jawab atas muncul tindak kekerasan yang lebih serius terhadap anak. Tidak jarang masyarakat kita yang masih menerima, meyakini, serta menerapkan hukuman fisik sebagai metode ampuh dalam menciptakan karakter baik pada anak. 

Padahal hal tersebut tidak hanya dapat membahayakan fisik anak, namun lebih dari itu dapat menyisakan trauma berkepanjangan hingga anak dewasa. Karena itu, peringatan Hari Ibu, 22, Desember diharapkan dapat mengingatkan kembali para orang tua, khususnya ibu untuk dapat menjadi figur contoh bagi pembentukan pribadi anak melalui penciptaan lingkungan keluarga yang sehat, harmonis, dan bebas dari tindak kekerasan baik fisik maupun mental bagi anak-anak yang merupakan generasi penerus keluarga dan bangsa. 

Dengan tidak ada kekerasan yang dilakukan orang tua, kualitas perkembangan fisik dan jiwa meliputi karakter dan pribadi yang sehat pada anak dapat dicapai secara optimal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar