Rabu, 18 Desember 2013

Masa Depan Islam Politik

Masa Depan Islam Politik
Abdil Mughis Mudhoffir  ;    Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta,
Research Associate LabSosio FISIP UI
KOMPAS,  17 Desember 2013
  


FENOMENA sosiologis di Indonesia pada dua dasawarsa terakhir menunjukkan kecenderungan menguatnya religiositas masya- rakat (Muslim). Akan tetapi, para pengamat serta hasil survei beberapa lembaga menyebutkan hal itu tidak sejalan dengan masa depan Islam politik yang suram. Mengapa?

Penjelasan yang ada selama ini cenderung menekankan pada kelemahan internal partai Islam ataupun dinamika sosial pemilih.

Faktor internal terutama berkaitan dengan praktik politik kader-kader partai Islam yang jauh dari kesalehan serta ketidakmampuan partai Islam mendiferensiasi dirinya dengan partai nasionalis.

Sementara faktor eksternal terutama berkaitan dengan kecenderungan masyarakat yang kian pragmatis sehingga ideologi tidak menjadi preferensi politik bagi pemilih.

Menguatnya keislaman masyarakat sesungguhnya hanya bersinggungan dengan aspek sosial dan kultural, tidak dimanifestasikan di politik.
Bagaimana kelemahan itu muncul? Mengapa Islam kultural lebih dapat diterima ketimbang Islam politik?

Warisan sejarah

Berdasarkan tilikan sejarah, ada dua hal yang menyebabkan suramnya masa depan Islam politik di Indonesia.

Pertama, Indonesia telah lama menerima sistem politik demokrasi yang sekuler meskipun mayoritas penduduk adalah Muslim (87 persen).

Aspirasi Islam politik pasca-kolonial di Indonesia sebenarnya pernah menguat, tetapi kemudian berakhir dengan dibubarkannya Partai Masyumi oleh Soekarno.
Rezim berikutnya (Orde Baru) juga melanjutkan marjinalisasi Islam politik melalui kebijakan depolitisasi. Islam politik dalam pengertian upaya menjadikan nilai-nilai Islam sebagai landasan politik formal negara ditolak dengan mengakomodasi Islam kultural.

Akibat kebijakan tersebut, gerakan Islam apa pun harus menarik diri dari gelanggang politik dan lebih memberikan perhatian pada aspek sosial-budaya. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia mengambil pilihan tersebut dan semakin mempertegas perbedaan dengan kelompok Islam politik.

Hal itu membuat dua ormas tersebut pada akhirnya lebih akomodatif terhadap rezim. Namun, saat orientasi Orde Baru berbalik menjadi sektarian guna memperoleh dukungan Muslim konservatif, NU, terutama melalui tokohnya (Gus Dur), menjadi pengkritik utama bersama kelompok nasionalis. Ini sekaligus menegaskan pertarungan antara Islam kultural dan Islam politik.

Penyebab kedua, elemen Islam politik juga terbelah antara kelompok rezimis dan kelompok yang berjarak dengan kekuasaan dan lebih memilih gerakan-gerakan bawah tanah untuk mencapai tujuan.

Di samping itu, saat reformasi, kelompok oposisi utama yang berhasil menggulingkan rezim Orde Baru juga tidak berasal dari kalangan Islam politik, tetapi dari kalangan demokrat Muslim yang berkoalisi dengan nasionalis. Kemenangan ini semakin menegaskan pilihan politik demokratis Indonesia dan meminggirkan aspirasi Islam politik.

Dominasi Islam kultural

Faktor sejarah membuat tantangan yang dihadapi partai Islam di Indonesia pasca-Orde Baru menjadi cukup berat. Pertama, wajah Islam di Indonesia sangat beragam. Bahkan, kelompok Islam politik sekalipun tidak monolitik. Partai-partai Islam yang ada tidak selalu dapat mewakili kepentingan kelompok Islam politik tertentu.

Meskipun sama-sama bercita-cita menegakkan negara Islam, misalnya, ada kelompok yang tidak dapat berkompromi dengan demokrasi dan lebih memilih cara-cara kekerasan.

Adanya kelompok Islam politik yang lebih memilih cara-cara non-demokratis itu (baca: teroris) tentu juga berpengaruh terhadap citra partai Islam kepada publik.
Kedua, keberadaan NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia yang merepresentasikan kelompok Islam kultural adalah tantangan berat lainnya yang harus dihadapi partai Islam.

Selama ini belum ada partai Islam yang dapat merepresentasikan kepentingan kedua ormas tersebut.

Kegiatan-kegiatan sosial populis, terutama terkait program pendidikan dan kesehatan yang dilakukan NU dan Muhammadiyah, juga tidak dapat dikonversi menjadi basis dukungan partai Islam.

Partai Islam yang dianggap cukup menjanjikan, PKS, tampaknya juga masih terlalu mengandalkan basis sosial dari kelas menengah perkotaan yang sedang meningkat religiositasnya.

Dengan demikian, persoalan mendasar yang menyebabkan masa depan Islam politik di Indonesia kurang menjanjikan sesungguhnya lebih terkait dengan faktor sejarah dan kondisi sosial-politik masyarakat Indonesia.

Kondisi serupa tidak dihadapi oleh partai Islam di negara lain yang dianggap sukses, seperti di Turki (AKP), Mesir (FJP), dan Tunisia (Ennahda), meskipun sama-sama pernah mengalami represi dari rezim yang otoriter.

Persoalan lain seperti lemahnya basis ekonomi partai, inkonsistensi perilaku kader dengan nilai yang diperjuangkan partai, absennya figur pemimpin yang ideal, serta kecenderungan pemilih yang kian pragmatis juga menjadi masalah partai-partai lain.

Namun, jika masalah-masalah yang umum dihadapi partai politik itu tidak dapat dilampaui, hal itu akan membuat partai Islam menjadi semakin tidak menarik. Kasus hukum yang menjerat mantan presiden PKS misalnya, tampaknya akan membuat perolehan suara partai ini pada Pemilu 2014 maksimum hanya mempertahankan capaian sebelumnya yang tidak lebih dari 8 persen.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar