FENOMENA sosiologis di Indonesia
pada dua dasawarsa terakhir menunjukkan kecenderungan menguatnya
religiositas masya- rakat (Muslim). Akan tetapi, para pengamat serta hasil
survei beberapa lembaga menyebutkan hal itu tidak sejalan dengan masa depan
Islam politik yang suram. Mengapa?
Penjelasan yang ada selama ini
cenderung menekankan pada kelemahan internal partai Islam ataupun dinamika
sosial pemilih.
Faktor internal terutama
berkaitan dengan praktik politik kader-kader partai Islam yang jauh dari
kesalehan serta ketidakmampuan partai Islam mendiferensiasi dirinya dengan
partai nasionalis.
Sementara faktor eksternal
terutama berkaitan dengan kecenderungan masyarakat yang kian pragmatis
sehingga ideologi tidak menjadi preferensi politik bagi pemilih.
Menguatnya keislaman masyarakat
sesungguhnya hanya bersinggungan dengan aspek sosial dan kultural, tidak
dimanifestasikan di politik.
Bagaimana kelemahan itu muncul?
Mengapa Islam kultural lebih dapat diterima ketimbang Islam politik?
Warisan sejarah
Berdasarkan tilikan sejarah, ada
dua hal yang menyebabkan suramnya masa depan Islam politik di Indonesia.
Pertama, Indonesia telah lama
menerima sistem politik demokrasi yang sekuler meskipun mayoritas penduduk
adalah Muslim (87 persen).
Aspirasi Islam politik
pasca-kolonial di Indonesia sebenarnya pernah menguat, tetapi kemudian
berakhir dengan dibubarkannya Partai Masyumi oleh Soekarno.
Rezim berikutnya (Orde Baru)
juga melanjutkan marjinalisasi Islam politik melalui kebijakan
depolitisasi. Islam politik dalam pengertian upaya menjadikan nilai-nilai
Islam sebagai landasan politik formal negara ditolak dengan mengakomodasi
Islam kultural.
Akibat kebijakan tersebut,
gerakan Islam apa pun harus menarik diri dari gelanggang politik dan lebih
memberikan perhatian pada aspek sosial-budaya. Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia mengambil pilihan
tersebut dan semakin mempertegas perbedaan dengan kelompok Islam politik.
Hal itu membuat dua ormas
tersebut pada akhirnya lebih akomodatif terhadap rezim. Namun, saat
orientasi Orde Baru berbalik menjadi sektarian guna memperoleh dukungan
Muslim konservatif, NU, terutama melalui tokohnya (Gus Dur), menjadi
pengkritik utama bersama kelompok nasionalis. Ini sekaligus menegaskan
pertarungan antara Islam kultural dan Islam politik.
Penyebab kedua, elemen Islam
politik juga terbelah antara kelompok rezimis dan kelompok yang berjarak
dengan kekuasaan dan lebih memilih gerakan-gerakan bawah tanah untuk
mencapai tujuan.
Di samping itu, saat reformasi,
kelompok oposisi utama yang berhasil menggulingkan rezim Orde Baru juga
tidak berasal dari kalangan Islam politik, tetapi dari kalangan demokrat
Muslim yang berkoalisi dengan nasionalis. Kemenangan ini semakin menegaskan
pilihan politik demokratis Indonesia dan meminggirkan aspirasi Islam
politik.
Dominasi Islam kultural
Faktor sejarah membuat tantangan
yang dihadapi partai Islam di Indonesia pasca-Orde Baru menjadi cukup
berat. Pertama, wajah Islam di Indonesia sangat beragam. Bahkan, kelompok
Islam politik sekalipun tidak monolitik. Partai-partai Islam yang ada tidak
selalu dapat mewakili kepentingan kelompok Islam politik tertentu.
Meskipun sama-sama bercita-cita menegakkan
negara Islam, misalnya, ada kelompok yang tidak dapat berkompromi dengan
demokrasi dan lebih memilih cara-cara kekerasan.
Adanya kelompok Islam politik
yang lebih memilih cara-cara non-demokratis itu (baca: teroris) tentu juga
berpengaruh terhadap citra partai Islam kepada publik.
Kedua, keberadaan NU dan
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia yang
merepresentasikan kelompok Islam kultural adalah tantangan berat lainnya
yang harus dihadapi partai Islam.
Selama ini belum ada partai
Islam yang dapat merepresentasikan kepentingan kedua ormas tersebut.
Kegiatan-kegiatan sosial
populis, terutama terkait program pendidikan dan kesehatan yang dilakukan
NU dan Muhammadiyah, juga tidak dapat dikonversi menjadi basis dukungan
partai Islam.
Partai Islam yang dianggap cukup
menjanjikan, PKS, tampaknya juga masih terlalu mengandalkan basis sosial
dari kelas menengah perkotaan yang sedang meningkat religiositasnya.
Dengan demikian, persoalan
mendasar yang menyebabkan masa depan Islam politik di Indonesia kurang
menjanjikan sesungguhnya lebih terkait dengan faktor sejarah dan kondisi
sosial-politik masyarakat Indonesia.
Kondisi serupa tidak dihadapi
oleh partai Islam di negara lain yang dianggap sukses, seperti di Turki
(AKP), Mesir (FJP), dan Tunisia (Ennahda), meskipun sama-sama pernah
mengalami represi dari rezim yang otoriter.
Persoalan lain seperti lemahnya
basis ekonomi partai, inkonsistensi perilaku kader dengan nilai yang
diperjuangkan partai, absennya figur pemimpin yang ideal, serta kecenderungan
pemilih yang kian pragmatis juga menjadi masalah partai-partai lain.
Namun, jika masalah-masalah yang
umum dihadapi partai politik itu tidak dapat dilampaui, hal itu akan
membuat partai Islam menjadi semakin tidak menarik. Kasus hukum yang menjerat
mantan presiden PKS misalnya, tampaknya akan membuat perolehan suara partai
ini pada Pemilu 2014 maksimum hanya mempertahankan capaian sebelumnya yang
tidak lebih dari 8 persen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar