Rabu, 18 Desember 2013

Bahaya Korupsi Politik

Bahaya Korupsi Politik
Ali Rif’an  ;    Peneliti Pol-Tracking Institute, Mahasiswa Pascasarjana UI
SINAR HARAPAN,  17 Desember 2013

  

Persoalan korupsi di negeri ini bagaikan benang kusut. Sukar menemukan ujung dan pangkalnya, namun begitu terasa menggrogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa.

Hasil rilis terbaru survei Transparency International (TI) tentang Corruption Perception Index (CPI) 2013 misalnya, menyebutkan dari 177 negara yang diteliti, Indonesia masih berada di peringkat 144, jauh di bawah negara-negara ASEAN lainnya.

Memang, skor Indonesia dalam survei tersebut meningkat, dari sebelumnya 28 (skor yang sudah bertengger 10 tahun terakhir), kini merangkak menjadi 32.
Namun, jika melihat skor sempurna adalah 100 (yakni skor yang mengindikasikan suatu negara sangat bersih dari korupsi), Indonesia jelas masih tertinggal jauh.

Indonesia masih terlalu jauh dibandingkan negara-negara seperti Denmark (91), Finlandia (91), Selandia Baru (89), Swedia (89), Norwegia (86), dan Singapura (86).

Pertanyaannya, apa yang menyebabkan skor Indonesia lamban, padahal pemberantasan korupsi begitu masif dilakukan di Tanah Air?

Tentu karena korupsi yang terjadi di Indonesia kebanyakan bukanlah korupsi individual, bukan pula korupsi insidental, melainkan “korupsi politik”, yakni korupsi yang dilakukan berjamaah, terstruktur, masif, dan gerakannya samar.
Korupsi politik biasanya melekat dan berlindung pada kekuasaan, berada dalam stadium untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan.

Seperti diungkapkan Blechinger (2002), adalah partai politik (parpol) yang kerap disebut sebagai bagian dari masalah korupsi politik itu.

Dalam salah satu riset ICW, pernah dikatakan sumber pendapatan parpol antara lain berasal dari pejabat di eselon I. Dalam korupsi politik, strategi parpol biasanya memasang para kadernya di posisi-posisi strategis di pemerintahan—baik di BUMN maupun legislatif—untuk menggarap atau memantau proyek-proyek penting, supaya pundi-pundi uang bisa masuk ke kas partai.

Korupsi model ini biasanya sulit dilacak karena melibatkan pejabat-pejabat penting yang berkuasa penuh di negeri ini. Jika ada yang dijadikan tersangka, mereka biasanya hanya pelaku kelas teri—bukan aktor intelektual—yang kemudian dijadikan tumbal politik.

Akar Korupsi

Jika didiagnosis, menurut Peter Larmour sebagaimana dikutip Faisal Djabbar (2013), ada tiga akar timbulnya penyakit korupsi di bidang politik. Pertama, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Para pemilik kekuasaan menggunakan jabatannya untuk keuntungan pribadi atau kelompoknya.
Kedua, peminggiran suara rakyat (duplicitous exclusion). Suara karyat dikecualikan dari pengambilan kebijakan yang akan berdampak pada masyarakat itu sendiri. Partisipasi publik ditekan.

Ketiga, perselingkuhan negara dan bisnis (business and state relation). Persekongkolan antara pejabat pemerintah (juga birokrat) dan pebisnis yang berpotensi memengaruhi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Korupsi politik biasanya akan masif terjadi menjelang pemilihan umum (pemilu). Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto (Kompas, 2013) pernah membeberkan tren atau pola-pola korupsi menjelang pemilu, khususnya korupsi politik yang terjadi di daerah. Pertama, penganggran bantuan sosial (bansos) dalam anggaran dan belanja daerah (APBD).

Gelontoran dana bansos dalam jumlah besar tak hanya muncul menjelang pilkada untuk membiayai petahana berkuasa. Dalam pemilu legislatif pun bansos APBD cenderung naik. Hal itu menjadi ajang bancakan anggota DPRD untuk dibagikan kepada calon konstituennya.

Kedua, munculnya proyek mercusuar. Bentuk proyek ini bisa berbagai macam, mulai dari pembangunan land mark kota, gedung pemerintahan, hingga proyek infrastruktur lain. Biasanya, jika ada proyek mercusuar di daerah, kemungkinan ada kompensasi yang diberikan kepada DPRD yang menyetujui anggarannya.
Ketiga, ada kompensasi dalam dalam pembahasan APBD menjelang akhir tahun. Kompensasi ini diberikan eksekutif kepada DPRD, sebagai bekal mereka mempersiapkan diri menjelang pemilu.

Itulah beberapa catatan terkait penyakit korupsi yang terjadi di negeri ini. Tentu setelah tahu diagnosanya, penting kiranya mencarikan obat yang tepat bagi penyakit korupsi politik yang sudah merasuk ke tulang sum-sum bangsa ini.

Hemat penulis, obatnya ada pada pabrik yang memproduksi politikus itu sendiri, partai politik. Artinya, parpol harus bertanggung jawab terhadap terjadinya korupsi politik. Parpol harus benar-benar serius melakukan rekrutmen kader dan transparan terkait sumber pendanaan partai. Boleh jadi, dua kutub itulah yang (selama ini) menjadi sumbu “malapetaka” bangsa ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar