Persoalan korupsi di negeri ini bagaikan benang kusut.
Sukar menemukan ujung dan pangkalnya, namun begitu terasa menggrogoti
sendi-sendi kehidupan berbangsa.
Hasil rilis terbaru survei Transparency International
(TI) tentang Corruption Perception Index (CPI) 2013 misalnya, menyebutkan
dari 177 negara yang diteliti, Indonesia masih berada di peringkat 144,
jauh di bawah negara-negara ASEAN lainnya.
Memang, skor Indonesia dalam survei tersebut meningkat,
dari sebelumnya 28 (skor yang sudah bertengger 10 tahun terakhir), kini
merangkak menjadi 32.
Namun, jika melihat skor sempurna adalah 100 (yakni skor
yang mengindikasikan suatu negara sangat bersih dari korupsi), Indonesia
jelas masih tertinggal jauh.
Indonesia masih terlalu jauh dibandingkan negara-negara
seperti Denmark (91), Finlandia (91), Selandia Baru (89), Swedia (89),
Norwegia (86), dan Singapura (86).
Pertanyaannya, apa yang menyebabkan skor Indonesia lamban,
padahal pemberantasan korupsi begitu masif dilakukan di Tanah Air?
Tentu karena korupsi yang terjadi di Indonesia
kebanyakan bukanlah korupsi individual, bukan pula korupsi insidental,
melainkan “korupsi politik”, yakni korupsi yang dilakukan berjamaah,
terstruktur, masif, dan gerakannya samar.
Korupsi politik biasanya melekat dan berlindung pada
kekuasaan, berada dalam stadium untuk mempertahankan dan memperluas
kekuasaan.
Seperti diungkapkan Blechinger (2002), adalah partai
politik (parpol) yang kerap disebut sebagai bagian dari masalah korupsi
politik itu.
Dalam salah satu riset ICW, pernah dikatakan sumber
pendapatan parpol antara lain berasal dari pejabat di eselon I. Dalam
korupsi politik, strategi parpol biasanya memasang para kadernya di posisi-posisi
strategis di pemerintahan—baik di BUMN maupun legislatif—untuk menggarap
atau memantau proyek-proyek penting, supaya pundi-pundi uang bisa masuk ke
kas partai.
Korupsi model ini biasanya sulit dilacak karena
melibatkan pejabat-pejabat penting yang berkuasa penuh di negeri ini. Jika
ada yang dijadikan tersangka, mereka biasanya hanya pelaku kelas teri—bukan
aktor intelektual—yang kemudian dijadikan tumbal politik.
Akar Korupsi
Jika didiagnosis, menurut Peter Larmour sebagaimana
dikutip Faisal Djabbar (2013), ada tiga akar timbulnya penyakit korupsi di
bidang politik. Pertama, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Para
pemilik kekuasaan menggunakan jabatannya untuk keuntungan pribadi atau
kelompoknya.
Kedua, peminggiran suara rakyat (duplicitous exclusion). Suara
karyat dikecualikan dari pengambilan kebijakan yang akan berdampak pada
masyarakat itu sendiri. Partisipasi publik ditekan.
Ketiga, perselingkuhan negara dan bisnis (business and
state relation). Persekongkolan antara pejabat pemerintah (juga birokrat)
dan pebisnis yang berpotensi memengaruhi kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah.
Korupsi politik biasanya akan masif terjadi menjelang
pemilihan umum (pemilu). Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto (Kompas, 2013)
pernah membeberkan tren atau pola-pola korupsi menjelang pemilu, khususnya
korupsi politik yang terjadi di daerah. Pertama, penganggran bantuan sosial
(bansos) dalam anggaran dan belanja daerah (APBD).
Gelontoran dana bansos dalam jumlah besar tak hanya
muncul menjelang pilkada untuk membiayai petahana berkuasa. Dalam pemilu
legislatif pun bansos APBD cenderung naik. Hal itu menjadi ajang bancakan
anggota DPRD untuk dibagikan kepada calon konstituennya.
Kedua, munculnya proyek mercusuar. Bentuk proyek ini
bisa berbagai macam, mulai dari pembangunan land mark kota, gedung
pemerintahan, hingga proyek infrastruktur lain. Biasanya, jika ada proyek
mercusuar di daerah, kemungkinan ada kompensasi yang diberikan kepada DPRD
yang menyetujui anggarannya.
Ketiga, ada kompensasi dalam dalam pembahasan APBD
menjelang akhir tahun. Kompensasi ini diberikan eksekutif kepada DPRD,
sebagai bekal mereka mempersiapkan diri menjelang pemilu.
Itulah beberapa catatan terkait penyakit korupsi yang
terjadi di negeri ini. Tentu setelah tahu diagnosanya, penting kiranya
mencarikan obat yang tepat bagi penyakit korupsi politik yang sudah merasuk
ke tulang sum-sum bangsa ini.
Hemat penulis, obatnya ada pada pabrik yang memproduksi
politikus itu sendiri, partai politik. Artinya, parpol harus bertanggung
jawab terhadap terjadinya korupsi politik. Parpol harus benar-benar serius
melakukan rekrutmen kader dan transparan terkait sumber pendanaan partai.
Boleh jadi, dua kutub itulah yang (selama ini) menjadi sumbu “malapetaka”
bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar