Kerja sama ekonomi
Indonesia dengan Jepang memasuki babak baru dalam sejarah kedua negara. Di
tengah perlambatan ekonomi dunia dan kawasan, kedua negara sepakat untuk
terus meningkatkan kerja sama, baik yang bersifat bilateral maupun di
tingkat regional.
Selama pertemuan puncak KTT memperingati 40 tahun kerja sama ASEAN-Jepang,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan serangkaian pertemuan
bilateral dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe serta pertemuan dengan
pemimpin dunia usaha Jepang. Salah satu kesepakatan dari pertemuan bilateral
tersebut terkait peningkatan kemitraan strategis antara Indonesia dengan
Jepang di bidang perdagangan dan investasi. Di bawah kepemimpinan Perdana
Menteri Abe, Jepang memasuki babak baru dalam model pembangunan ekonomi.
Setelah memenangi pemilihan umum pada Desember 2012, Perdana Menteri Abe
mencanangkan model pertumbuhan ekonomi yang lebih agresif dan progrowth.
Hal ini ditempuh melalui apa yang kita kenal sebagai three arrows, yaitu
masifnya stimulus fiskal, kebijakan moneter yang agresif dan longgar yang
dilakukan Bank of Japan, serta pelaksanaan program reformasi struktural
untuk memacu daya saing. Melalui ketiga kebijakan ini, ekonomi Jepang
memasuki tahapan yang lebih ekspansif dibandingkan periode sebelumnya yang
jauh lebih konservatif. Hasil kebijakan Perdana Menteri Abe terlihat, yaitu
pada kuartal I 2013 Jepang mencatatkan pertumbuhan ekonomi 4,3%.
Pertumbuhan ekonomi jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan periode yang
sama tahun 2012 yang hanya 1%.Namun, kebijakan ekspansif Jepang harus berhadapan
dengan sejumlah sentimen negatif di pasar global yang berdampak menurunnya
permintaan ekspor dunia, gejolak pasar keuangan dunia, naiknya harga energi
serta stagnasi pasar modal. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi melambat pada
kuartal II 2013 yang tercatat sebesar 3,3% dan kuartal III 2013 sebesar
1,9%. Selain dari pertumbuhan ekonomi, ekspansifnya ekonomi Jepang juga
terlihat dari sejumlah indikator lain.
Misalnya, target inflasi didorong untuk bisa mencapai 2%. Nilai tukar yen terhadap
dolar Amerika Serikat terdepresiasi sebagai konsekuensi kebijakan moneter
longgar yang dilakukan bank sentral. Bauran antara belanja fiskal, moneter,
dan reformasi struktural mampu menekan angka pengangguran, yang sebelumnya
pada kuartal IV 2012 mencapai 4% dapat diturunkan menjadi 3,7% pada kuartal
I 2013. Investasi sektor swasta juga didorong untuk terus meningkat dan
lebih ekspansif di pasar internasional baik melalui eksportasi maupun
investasi langsung.
Ekspansi perusahaan Jepang dalambentuk foreign direct investment (FDI)
bertemu dengan kepentingan Indonesia untuk memperbesar investasi baik di
bidang infrastruktur maupun sektor riil. Maka dapat dikatakan saat ini
merupakan momentum kerja sama ekonomi yang terbaik yang pernah dimiliki
Indonesia dan Jepang dalam kurun waktu 15 tahun terakhir. Ekonomi Indonesia
dapat dikategorikan sebagai ekonomi yang sedang ekspansif. Meskipun
mengalami tekanan dari sisi pertumbuhan ekonomi pada kuartal II dan III
2013, ekonomi Indonesia diprediksi dapat tetap tumbuh dalam kisaran 5,6–5,8%
sampai akhir 2013.
Bagi negara dengan PDB purchasing power parity di atas USD1 triliun,
pertumbuhan di level tersebut tergolong dalam pertumbuhan yang tinggi.
Ekspansi ekonomi Indonesia juga tecermin dari kebijakan yang mendorongi
industrialisasi serta hilirisasi. Setelah Pemerintah Indonesia menjalankan
kebijakan untuk meningkatkan daya beli masyarakat melalui keep buying
policies selama kurun waktu 2004–2010, program percepatan dan perluasan
pembangunan infrastruktur dicanangkan pada November 2011.
Kebijakan ini menandai era perimbangan antara terus menjaga dari sisi
permintaan maupun dari sisi produksi (supply
side). Dengan adanya MP3EI, Indonesia sedang mengakselerasi pembangunan
infrastruktur seperti bandara, jalan tol, pelabuhan, energi serta jalur
transportasi. Selain itu, sejumlah proyek di sektor riil seperti industri
baja, mineral dan tambang serta industri pengolahan lainnya secara intens
juga terus ditingkatkan. Semenjak dicanangkan, lebih dari Rp737 triliun
nilai proyek pembangunan dalam MP3EI telah dilakukan groundbreaking.
Proyek pembangunan yang tengah berjalan ada yang sudah dapat dirasakan
manfaatnya, tetapi juga ada yang masih dalam tahap penyelesaian dan baru beroperasi
dalam kurun 2–4 tahun ke depan. Pada tahun 2014–2017, lebih dari 56 proyek
telah ditawarkan dengan nilai investasi lebih dari USD44,8 miliar kepada
BUMN dan swasta. Kebutuhan dana yang sangat besar dalam percepatan dan
perluasan pembangunan infrastruktur memberikan peluang kerja sama dan
investasi di Tanah Air. Sejumlah investor Jepang juga menyatakan minat
untuk melakukan investasi di bidang infrastruktur seperti ketenagalistrikan
dan jalur transportasi umum.
Selain ekspansifnya ekonomi Indonesia dalam pembangunan infrastruktur dan
sektorriil, membesarnyajumlahkelas menengah juga menjadikan Indonesia
sebagai negara tujuan investasi penting dunia. Bahkan baru-baru ini, Japan bank for International Cooperation
(JBIC) melakukan survei kepada 500 perusahaan multinasional Jepang dan
menempatkan Indonesia sebagai peringkat pertama negara tujuan investasi dan
menggeser China sebagai destinasi utama investasi Jepang selama ini.
Sebanyak 44,9% responden menyatakan Indonesia sebagai negara yang sangat
menarik dengan pertumbuhan kelas menengah di Indonesia menjadi salah satu
faktor pendorong utamanya. Menurut data BKPM, pada kuartal III 2013, Jepang
menjadi negara asal investasi pertama di Indonesia. Realisasi investasi
dari Jepang mencapai USD3,6 miliaratau17,2% dari totalPMA. Dengan adanya
komitmen yang sangat kuat dari investor Jepang ke Indonesia, posisi ini
akan sangat sulit digeser negaranegara lain.
Sejumlah investasi di bidang infrastruktur, ketenagalistrikan, geotermal,
industrimanufaktur, transportasi umum, industri jasakeuangan, ritelserta
industri pengolahan lainnya tengah dilakukan di Indonesia. Hal ini
menguntungkan bagi Indonesia untuk memperkuat struktur industri nasional
dan penguatan daya saing nasional di masa mendatang. Kita tentu berharap,
dunia usaha lokal juga dapat menarik manfaat dari tren investasi Jepang di
Indonesia. Kemitraan strategis dengan pengusaha lokal juga diharapkan dapat
terus meningkat.
Kalangan dunia usaha Indonesia baik yang tergabung dalam Kadin, Apindo,
Hipmi maupun sejumlah asosiasi dunia usaha lainnya juga perlu secara proaktif
mencari mitra kerja strategis untuk mengisi struktur industri baik dasar,
menengah maupun industri hilir. Bagi Indonesia hal ini semakin penting
tidak hanya sebagai medium untuk meningkatkan nilai tambah produk ekspor
nasional, tetapi juga untuk dapat mengurangi impor (import substitution) akibat meningkatnya serta beragamnya
produk dan jasa yang dikonsumsi kelas menengah Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar