SUATU kali
Asisten Residen Lebak Max Havelaar berpidato di depan para pejabat
bumiputra di Lebak. Setelah basa-basi, pidato itu disusul beragam
pertanyaan dan pernyataan yang menggugat beragam ketidakberesan di wilayah
tersebut.
''Para pemimpin
Lebak! Kita telah banyak melakukan kesalahan, dan tanah kita miskin, karena
kita telah melakukan banyak kesalahan.''
''Karena di
Cikandi dan Bolang, serta di daerah Karawang, dan daerah-daerah di sekitar
Batavia, banyak orang yang lahir di tanah kita dan telah meninggalkan tanah
kita.''
''Mengapa
mereka mencari pekerjaan jauh dari tempat di mana mereka mengubur orang tua
mereka? Mengapa mereka melarikan diri dari desa tempat mereka disunat?
Mengapa mereka memilih kesejukan di bawah pohon yang tumbuh di sana
daripada bayang-bayang hutan kita?''
''Para pemimpin
Lebak, kematian akan mendatangi kita semua!''
''Dan apa
jawaban kita ketika setelah kita meninggal, sebuah suara berbicara pada
kita, dan bertanya: 'Mengapa ada rintihan di sawah-sawah, dan mengapa para
pemuda bersembunyi? Siapa yang mengambil hasil panen dari gudang serta
kerbau yang seharusnya membajak sawah? Apa yang kau lakukan pada Saudara
laki-laki yang aku berikan sebagai pelindungmu? Mengapa orang malang itu
bersedih, dan mengapa dia mengutuk kesuburan istrinya?'''
Pidato itu
dikutip dari Max Havelaar, novel karya Multatuli alias Eduard Douwes Dekker
(1820-1887), mantan asisten residen Lebak. Buku itu sebenarnya merupakan
otobiografi Dekker sendiri. Nama pena Multatuli berasal dari bahasa Latin
yang berarti ''saya yang telah lama menderita''.
Begitu terbit
pada 1860, buku tersebut menggemparkan negeri Belanda, sekaligus membuka
mata dunia Barat tentang kesewang-wenangan penguasa kolonial, juga
penguasa-penguasa lokal alias inlander di negeri ini. Kisah Saijah dan
Adinda, salah satu kisah dalam Max Havelaar, melukiskan dengan getir
kehidupan warga Lebak yang diperas dan dirampok hartanya oleh penguasa.
The New York
Times edisi 18 April 1999 menurunkan tulisan Pramoedya Ananta Toer dengan
judul Best Story; The Book That
Killed Colonialism. Menurut Pram, ''bumi gemetar'' setelah penerbitan
buku tersebut. Sama seperti Uncle Tom
Cabin yang memberikan amunisi untuk gerakan abolisionis Amerika, Max
Havelaar menjadi senjata bagi gerakan liberal yang berkembang di Belanda,
yang berjuang mewujudkan reformasi di Hindia Belanda. Dibantu Max Havelaar,
gerakan liberal mampu mempermalukan pemerintah Belanda dan mendorong
''kebijakan etis''. Tujuan utama kebijakan itu adalah mempromosikan irigasi
dan pendidikan di Hindia Belanda.
Dampak
reformasi tersebut pada mulanya sederhana. Namun, setelah sejumlah kecil
warga bumiputra memperoleh pendidikan Belanda, gerakan emansipasi dan
kemerdekaan makin mencuat dan akhirnya menjadi revolusi penuh pada 1940-an.
Revolusi kemudian menyebar ke Afrika dan tempat lain. ''To Multatuli - Eduard Douwes Dekker whose work sparked this
process, this world owes a great debt,'' tulis Pram.
Kesengsaraan
rakyat Banten pada masa lalu juga bisa ditemui dalam buku Hikayat Tanah
Hindia karya G.J.F. Biegman yang terbit di Betawi (Jakarta) pada 1894.
Dalam pasal V (Bab V) yang berjudul Pada Menyatakan Hal Ihwal Negeri-Negeri
di Tanah Hindia Pada Masa Kompani Didirikan. Biegman melukiskan keadaan
pada masa abad ke-17.
Disebutkan,
misalnya, Sungai Tohor yang memiliki kedalaman tiga kaki, airnya tenang,
keruh, serta berbau busuk. Hal tersebut terjadi karena banyak orang yang
membuang sampah di sana. Meski begitu, masyarakat sekitar tetap mandi di
tempat itu. Kebanyakan rumah orang buruk rupanya, berhalaman
(pekarangannya) kotor, dan bersemak-semak.
Orang-orang
Banten, baik orang besar maupun orang kecil, tidak berpakaian bagus, bahkan
tak berbaju. Namun, ikat pinggang orang kaya bertakhta emas dan permata
serta mempunyai keris yang berhulu indah. Perkakas rumah tidak begitu
beragam. Hanya ada periuk, tempurung, dan bakul. Namun, ada beberapa orang
kaya yang memakai perkakas rumah buatan Tiongkok.
Perempuan
berjumlah sedikit di dusun karena kebanyakan mereka ke Banten. Kebanyakan
orang di Banten memiliki istri 4, 5, 10, bahkan 12 istri. Karena itu,
jumlah perempuan di Banten sepuluh kali lipat jumlah lelaki.
Para istri
bangsawan juga hidup senang, berbaring di balai-balai dengan dikipasi dan
dipijit hambanya. Suaminya pun tidak memiliki banyak aktivitas. Mereka
hanya duduk bersila, makan sirih dan berjudi.
Ironisnya,
lebih dari 150 tahun setelah gugatan Multatuli dalam Max Havelaar, tidak
sedikit rakyat Banten yang tetap menjadi permainan pemimpinnya. Kesenjangan
antara kelompok miskin dan kaya begitu nyata, seperti yang diulas media.
Multatuli
barangkali heran bila mendengar laporan-laporan dari Lebak dan wilayah
Banten lainnya soal kasus dugaan korupsi dinasti Gubernur Ratu Atut
Chosiyah. Walau investasi di Banten besar, infrastrukturnya telantar. Meski
PAD jumbo, kesejahteraan rakyat Banten masih jauh tertinggal. Dia mungkin
berpikir, setelah negerinya merdeka, penguasa inlander masih korup seperti
pendahulunya.
Tapi, kini ada
KPK dan Ratu Atut pun menjadi tersangka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar