Rabu, 18 Desember 2013

Lebak, Multatuli, Atut

Lebak, Multatuli, Atut
Djoko Pitono  ;    Penikmat dan Editor Buku
JAWA POS,  18 Desember 2013

  

SUATU kali Asisten Residen Lebak Max Havelaar berpidato di depan para pejabat bumiputra di Lebak. Setelah basa-basi, pidato itu disusul beragam pertanyaan dan pernyataan yang menggugat beragam ketidakberesan di wilayah tersebut.

''Para pemimpin Lebak! Kita telah banyak melakukan kesalahan, dan tanah kita miskin, karena kita telah melakukan banyak kesalahan.''

''Karena di Cikandi dan Bolang, serta di daerah Karawang, dan daerah-daerah di sekitar Batavia, banyak orang yang lahir di tanah kita dan telah meninggalkan tanah kita.''

''Mengapa mereka mencari pekerjaan jauh dari tempat di mana mereka mengubur orang tua mereka? Mengapa mereka melarikan diri dari desa tempat mereka disunat? Mengapa mereka memilih kesejukan di bawah pohon yang tumbuh di sana daripada bayang-bayang hutan kita?''

''Para pemimpin Lebak, kematian akan mendatangi kita semua!''

''Dan apa jawaban kita ketika setelah kita meninggal, sebuah suara berbicara pada kita, dan bertanya: 'Mengapa ada rintihan di sawah-sawah, dan mengapa para pemuda bersembunyi? Siapa yang mengambil hasil panen dari gudang serta kerbau yang seharusnya membajak sawah? Apa yang kau lakukan pada Saudara laki-laki yang aku berikan sebagai pelindungmu? Mengapa orang malang itu bersedih, dan mengapa dia mengutuk kesuburan istrinya?''' 

Pidato itu dikutip dari Max Havelaar, novel karya Multatuli alias Eduard Douwes Dekker (1820-1887), mantan asisten residen Lebak. Buku itu sebenarnya merupakan otobiografi Dekker sendiri. Nama pena Multatuli berasal dari bahasa Latin yang berarti ''saya yang telah lama menderita''.

Begitu terbit pada 1860, buku tersebut menggemparkan negeri Belanda, sekaligus membuka mata dunia Barat tentang kesewang-wenangan penguasa kolonial, juga penguasa-penguasa lokal alias inlander di negeri ini. Kisah Saijah dan Adinda, salah satu kisah dalam Max Havelaar, melukiskan dengan getir kehidupan warga Lebak yang diperas dan dirampok hartanya oleh penguasa.

The New York Times edisi 18 April 1999 menurunkan tulisan Pramoedya Ananta Toer dengan judul Best Story; The Book That Killed Colonialism. Menurut Pram, ''bumi gemetar'' setelah penerbitan buku tersebut. Sama seperti Uncle Tom Cabin yang memberikan amunisi untuk gerakan abolisionis Amerika, Max Havelaar menjadi senjata bagi gerakan liberal yang berkembang di Belanda, yang berjuang mewujudkan reformasi di Hindia Belanda. Dibantu Max Havelaar, gerakan liberal mampu mempermalukan pemerintah Belanda dan mendorong ''kebijakan etis''. Tujuan utama kebijakan itu adalah mempromosikan irigasi dan pendidikan di Hindia Belanda.

Dampak reformasi tersebut pada mulanya sederhana. Namun, setelah sejumlah kecil warga bumiputra memperoleh pendidikan Belanda, gerakan emansipasi dan kemerdekaan makin mencuat dan akhirnya menjadi revolusi penuh pada 1940-an. Revolusi kemudian menyebar ke Afrika dan tempat lain. ''To Multatuli - Eduard Douwes Dekker whose work sparked this process, this world owes a great debt,'' tulis Pram.

Kesengsaraan rakyat Banten pada masa lalu juga bisa ditemui dalam buku Hikayat Tanah Hindia karya G.J.F. Biegman yang terbit di Betawi (Jakarta) pada 1894. Dalam pasal V (Bab V) yang berjudul Pada Menyatakan Hal Ihwal Negeri-Negeri di Tanah Hindia Pada Masa Kompani Didirikan. Biegman melukiskan keadaan pada masa abad ke-17.

Disebutkan, misalnya, Sungai Tohor yang memiliki kedalaman tiga kaki, airnya tenang, keruh, serta berbau busuk. Hal tersebut terjadi karena banyak orang yang membuang sampah di sana. Meski begitu, masyarakat sekitar tetap mandi di tempat itu. Kebanyakan rumah orang buruk rupanya, berhalaman (pekarangannya) kotor, dan bersemak-semak. 

Orang-orang Banten, baik orang besar maupun orang kecil, tidak berpakaian bagus, bahkan tak berbaju. Namun, ikat pinggang orang kaya bertakhta emas dan permata serta mempunyai keris yang berhulu indah. Perkakas rumah tidak begitu beragam. Hanya ada periuk, tempurung, dan bakul. Namun, ada beberapa orang kaya yang memakai perkakas rumah buatan Tiongkok.

Perempuan berjumlah sedikit di dusun karena kebanyakan mereka ke Banten. Kebanyakan orang di Banten memiliki istri 4, 5, 10, bahkan 12 istri. Karena itu, jumlah perempuan di Banten sepuluh kali lipat jumlah lelaki.

Para istri bangsawan juga hidup senang, berbaring di balai-balai dengan dikipasi dan dipijit hambanya. Suaminya pun tidak memiliki banyak aktivitas. Mereka hanya duduk bersila, makan sirih dan berjudi.

Ironisnya, lebih dari 150 tahun setelah gugatan Multatuli dalam Max Havelaar, tidak sedikit rakyat Banten yang tetap menjadi permainan pemimpinnya. Kesenjangan antara kelompok miskin dan kaya begitu nyata, seperti yang diulas media. 

Multatuli barangkali heran bila mendengar laporan-laporan dari Lebak dan wilayah Banten lainnya soal kasus dugaan korupsi dinasti Gubernur Ratu Atut Chosiyah. Walau investasi di Banten besar, infrastrukturnya telantar. Meski PAD jumbo, kesejahteraan rakyat Banten masih jauh tertinggal. Dia mungkin berpikir, setelah negerinya merdeka, penguasa inlander masih korup seperti pendahulunya. 

Tapi, kini ada KPK dan Ratu Atut pun menjadi tersangka.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar