Rabu, 18 Desember 2013

Libido Konsumtivisme Obral Natal

Libido Konsumtivisme Obral Natal
Susidarto Hartosumaryo  ;    Praktisi Perbankan dari Jogjakarta
JAWA POS,  18 Desember 2013

  

PERIODE Natal dan tahun baru selama ini identik dengan periode berbelanja. Tak heran kalau semua outlet yang memasarkan barang konsumtif pun merayakan "momen-moner" spesial ini. Berbagai event bertajuk Christmas Sale (obral Natal) diadakan di berbagai mal, pusat perbelanjaan, kafe, restoran, tempat hiburan, serta semua bentuk outlet, untuk menjangkau para pembeli. Bekerja sama dengan berbagai penerbit kartu kredit, diskon besar-besaran pun digelar. Ini tentu untuk mengimbangi libido konsumtivistime masyarakat urban yang demikian besarnya.

Jelas, semua aktivitas yang berkaitan dengan Natal dan tahun baru akan mendorong perekonomian domestik menjadi lebih bergairah. Di balik gebyar Natal, terjadi kenaikan konsumsi masyarakat dalam banyak komoditas barang dan jasa. Dengan demikian, konsumtivisme Natal setidaknya menggerakkan roda perekonomian domestik, yang belakangan ini "lesu darah" akibat virus resesi ekonomi di Eropa dan AS. 

Libido konsumtivisme berarti nafsu birahi untuk berbelanja, mengonsumsi (menikmati), dan memiliki barang dan jasa yang bersifat konsumtif. Mereka biasanya adalah kelompok masyarakat kelas menengah. Kelompok ini mampu menghambur-hamburkan uang jutaan rupiah hanya untuk makan siang di sebuah hotel berbintang lima atau belanja ratusan juta rupiah di berbagai pusat perbelanjaan di Singapura, Dubai, Hongkong, atau tempat prestisius lainnya. 

Dalam konteks Natal, tidak sedikit orang Kristen, terutama yang termasuk golongan the have, melakukan hal yang sama, yakni belanja di pasar internasional untuk menyiapkan gaun/pakaian dan aksesorisnya yang baru atau untuk keperluan Natal lain. 

Apabila kita iseng-iseng mencoba mengalkulasi seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi hasrat libido konsumtivisme sepanjang Natal, mungkin kita akan dibuat tercengang-cengang. Angka yang didapatkan sudah berbilang ratusan miliar rupiah, bahkan mungkin triliunan rupiah. Mulai ibadah yang sederhana di gereja masing-masing, hingga perayaan Natal yang cukup meriah dan mewah di sejumlah gedung pertemuan, hotel mulai kelas melati hingga bintang lima. 

Luar biasa! Inilah bentuk pola-pola konsumtif yang sudah merasuk sukma. Terlepas dari segi normatif, baik buruk, benar salah, kenaikan konsumsi menjelang, selama, dan pasca-Natal (tahun baru), sesungguhnya menyiratkan sebuah pesan bahwa periode Natal ditunggu para pelaku ekonomi/bisnis untuk mendongkrak omzet usahanya. Mau tidak mau harus diakui bahwa periode sepanjang Desember hingga awal Januari adalah periode terjadinya kenaikan konsumsi masyarakat dalam banyak hal, seperti makanan, pakaian serta barang-barang kebutuhan lain. 

Dengan pola histori dan kecenderungan yang terjadi secara siklikal tahunan, hampir bisa dipastikan bahwa konsumtivisme Natal akan membawa dampak positif bagi bergeraknya sektor riil. Kendati momentumnya pendek, para pelaku dunia usaha hendaknya bisa memanfaatkannya untuk mendongkrak omzet usaha. Tak aneh, kalau selama Desember, biasanya terjadi kenaikan angka inflasi bulanan jika dibandingkan dengan bulan-bulan biasanya. Itu artinya, harga barang dan jasa akan cenderung meningkat akibat kenaikan permintaan konsumsi masyarakat (demand pull inflation). 

Dengan demikian, di satu sisi pola konsumtivistik kurang cocok untuk perayaan Natal. Namun, di sisi lain, pola ini akan "menggulirkan" bahkan "menendang" perekonomian domestik yang belakangan ini tengah "tiarap". Setidaknya, aktivitas dan gebyar Natal dan tahun baru akan memberikan kontribusi positif bagi menggeliatnya perekonomian domestik. Terlebih momentumnya bersamaan dengan hari libur Natal dan tahun baru, sehingga para pelaku bisnis di seputar jasa pariwisata juga ikut menikmati "gurihnya" panen wisatawan domestik. 

Akhirnya, momentum Natal dan tahun baru secara tidak disadari sangat ditunggu para pelaku dunia usaha. Libido konsumtivistik akan membawa secercah harapan di tengah menurunnya skala bisnis akibat melesunya (resesi) perekonomian Eropa. Setidaknya, adanya kenaikan omzet akan mampu memperpanjang napas kehidupan pelaku usaha yang cenderung stagnan. Padahal, para pembelanja Natal dan tahun baru mungkin tidak menyadari bahwa uang yang mereka "buang" untuk berbagai keperluan, sebenarnya sangat berarti bagi para pengusaha. Inilah efek "bola salju" ekonomi konsumtivisme Natal. Selamat Natal 2013, dan selamat menggerakkan ekonomi riil. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar