PERIODE Natal
dan tahun baru selama ini identik dengan periode berbelanja. Tak heran
kalau semua outlet yang memasarkan barang konsumtif pun merayakan
"momen-moner" spesial ini. Berbagai event bertajuk Christmas
Sale (obral Natal) diadakan di berbagai mal, pusat perbelanjaan, kafe,
restoran, tempat hiburan, serta semua bentuk outlet, untuk menjangkau para
pembeli. Bekerja sama dengan berbagai penerbit kartu kredit, diskon
besar-besaran pun digelar. Ini tentu untuk mengimbangi libido
konsumtivistime masyarakat urban yang demikian besarnya.
Jelas, semua
aktivitas yang berkaitan dengan Natal dan tahun baru akan mendorong
perekonomian domestik menjadi lebih bergairah. Di balik gebyar Natal,
terjadi kenaikan konsumsi masyarakat dalam banyak komoditas barang dan
jasa. Dengan demikian, konsumtivisme Natal setidaknya menggerakkan roda
perekonomian domestik, yang belakangan ini "lesu darah" akibat
virus resesi ekonomi di Eropa dan AS.
Libido
konsumtivisme berarti nafsu birahi untuk berbelanja, mengonsumsi
(menikmati), dan memiliki barang dan jasa yang bersifat konsumtif. Mereka
biasanya adalah kelompok masyarakat kelas menengah. Kelompok ini mampu
menghambur-hamburkan uang jutaan rupiah hanya untuk makan siang di sebuah
hotel berbintang lima atau belanja ratusan juta rupiah di berbagai pusat
perbelanjaan di Singapura, Dubai, Hongkong, atau tempat prestisius lainnya.
Dalam konteks
Natal, tidak sedikit orang Kristen, terutama yang termasuk golongan the
have, melakukan hal yang sama, yakni belanja di pasar internasional untuk
menyiapkan gaun/pakaian dan aksesorisnya yang baru atau untuk keperluan
Natal lain.
Apabila kita
iseng-iseng mencoba mengalkulasi seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
memenuhi hasrat libido konsumtivisme sepanjang Natal, mungkin kita akan
dibuat tercengang-cengang. Angka yang didapatkan sudah berbilang ratusan
miliar rupiah, bahkan mungkin triliunan rupiah. Mulai ibadah yang sederhana
di gereja masing-masing, hingga perayaan Natal yang cukup meriah dan mewah
di sejumlah gedung pertemuan, hotel mulai kelas melati hingga bintang lima.
Luar biasa!
Inilah bentuk pola-pola konsumtif yang sudah merasuk sukma. Terlepas dari
segi normatif, baik buruk, benar salah, kenaikan konsumsi menjelang,
selama, dan pasca-Natal (tahun baru), sesungguhnya menyiratkan sebuah pesan
bahwa periode Natal ditunggu para pelaku ekonomi/bisnis untuk mendongkrak
omzet usahanya. Mau tidak mau harus diakui bahwa periode sepanjang Desember
hingga awal Januari adalah periode terjadinya kenaikan konsumsi masyarakat
dalam banyak hal, seperti makanan, pakaian serta barang-barang kebutuhan
lain.
Dengan pola
histori dan kecenderungan yang terjadi secara siklikal tahunan, hampir bisa
dipastikan bahwa konsumtivisme Natal akan membawa dampak positif bagi
bergeraknya sektor riil. Kendati momentumnya pendek, para pelaku dunia
usaha hendaknya bisa memanfaatkannya untuk mendongkrak omzet usaha. Tak
aneh, kalau selama Desember, biasanya terjadi kenaikan angka inflasi
bulanan jika dibandingkan dengan bulan-bulan biasanya. Itu artinya, harga
barang dan jasa akan cenderung meningkat akibat kenaikan permintaan
konsumsi masyarakat (demand pull inflation).
Dengan
demikian, di satu sisi pola konsumtivistik kurang cocok untuk perayaan
Natal. Namun, di sisi lain, pola ini akan "menggulirkan" bahkan
"menendang" perekonomian domestik yang belakangan ini tengah
"tiarap". Setidaknya, aktivitas dan gebyar Natal dan tahun baru
akan memberikan kontribusi positif bagi menggeliatnya perekonomian
domestik. Terlebih momentumnya bersamaan dengan hari libur Natal dan tahun
baru, sehingga para pelaku bisnis di seputar jasa pariwisata juga ikut
menikmati "gurihnya" panen wisatawan domestik.
Akhirnya,
momentum Natal dan tahun baru secara tidak disadari sangat ditunggu para
pelaku dunia usaha. Libido konsumtivistik akan membawa secercah harapan di
tengah menurunnya skala bisnis akibat melesunya (resesi) perekonomian
Eropa. Setidaknya, adanya kenaikan omzet akan mampu memperpanjang napas
kehidupan pelaku usaha yang cenderung stagnan. Padahal, para pembelanja
Natal dan tahun baru mungkin tidak menyadari bahwa uang yang mereka
"buang" untuk berbagai keperluan, sebenarnya sangat berarti bagi
para pengusaha. Inilah efek "bola salju" ekonomi konsumtivisme
Natal. Selamat Natal 2013, dan
selamat menggerakkan ekonomi riil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar