Minggu, 22 Desember 2013

Langkah Penyelamatan PT Merpati

Langkah Penyelamatan PT Merpati
Sumaryoto Padmodiningrat  ;   Anggota DPR
SUARA MERDEKA,  11 Desember 2013

  

SOS (save our soul)! Begitulah barangkali jeritan PT Merpati Nusantara Airlines saat ini. Dalam kondisi mati suri, Merpati menghadapi ancaman bakal dijual, seperti pernah diutarakan Menteri BUMN beberapa waktu lalu.

Konon hanya ada dua opsi untuk menyelesaikan masalah. Pertama; tutup Merpati, seluruh biaya terkait PHK akan dihitung. Kedua; Merpati terbang terus, namun syarat dan kondisi apa pun harus diterima maskapai penerbangan itu. Sebagaimana Pelni, Merpati adalah perajut Nusantaraisme, nasionalisme khas Indonesia.

Dengan Pelni dan Merpati, masyarakat di wilayah terpencil merasa menjadi bagian dari NKRI. Keduanya memiliki tugas public service obligation (PSO) sehingga sebenarnya jangan pernah berpikir untuk menutup Merpati. Pemerintah tentu tak mau dikatakan salah urus. Apalagi Menteri BUMN bukan orang sembarangan.

Terbukti, hanya dalam waktu kurang dari 2 tahun, ia sudah dua kali mengganti direksi maskapai penerbangan itu. Sayang, kian sering direksi diganti, nasibnya justru makin terpuruk. Mungkin setengah frustrasi, pemerintah pun menyerahkan urusan Merpati kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA).

Pergantian dari satu direksi ke direksi lain, terakhir Dirut Rudy Setyopurnomo digantikan Asep Eka Nugraha pada 31 Juli 2013, ternyata tak menyelesaikan masalah. Rudy, yang sebelumnya digadang-gadang mampu memperbaiki kinerja, bahkan usai dilantik sesumbar hendak membukukan keuntungan Rp500 juta/hari, Kenyataannya gagal total.

Terperosok

Merpati bahkan terperosok ke jurang lebih dalam dengan meninggalkan masalah yang makin kompleks, seperti utang fuel (bahan bakar) ke Pertamina di atas plafon Rp 110 milliar, utang ke lessor sudah 10 bulan tak terbayar, pesawat terancam ditarik; alat produksi sudah tua dan terus berkurang; dan total utang Rp 7 triliun.

Sampai hari ini, PPAbelum merilis solusi apa pun untuk mengeluarkan Merpati dari krisis. Justru sejak 14 Oktober 2013 Merpati terjerat ìembargo’’ bahan bakar yang pelan tapi pasti menghilangkan seluruh potensi.

Embargo ini sudah meliputi 6 kota, yakni Yogyakarta, Bandung, Semarang, Palembang, Tanjung Karang, dan Cengkareng (Tangerang), sementara Surabaya sudah dibatasi jumlah pengisian 21.000 liter/hari, atau setara 7 jam terbang pesawat. Embargo bahan bakar adalah konsekuensi pahit atas ketakmampuannya menurunkan plafon utang ke Pertamina sampai di bawah Rp110 miliar.

Efek langsungnya adalah tidak bisa dilayaninya rute-rute yang melalui kota yang diembargo, dan terjadinya pengisian fuel double uplift untuk pulang-pergi. Pendek kata, kepak sayap Merpati sudah kepayahan akibat besar pasak daripada tiang, kekurangan alat produksi, dan kesulitan cash flow.

Ironisnya, manajemen Merpati saat ini tidak mampu memahami prioritas masalah dan tidak punya solusi, dengan membiarkan fuel embargo terus terjadi. Ini semua karena manajemen tak punya business plan sejak Rudy menjabat, yang menyebabkan pencairan dana penyertaan modal negara (PMN) Rp 200 miliar ter-pending.

Namun kendati katakanlah PMN Rp 200 miliar itu nanti cair, diyakini tak akan menyelesaikan masalah karena terlambat, sehingga cash flow tak akan tertolong, sebagaimana pencairan PMN Rp 560 miliar juga terlambat delapan bulan dari seharusnya Mei 2011.

Sejak berpisah dari PT Garuda Indonesia, Merpati telah 50 kali mendapat PMN. Asep, dirut baru yang mengundurkan diri dari jabatan direktur operasional pada 13 Februari 2013, pun bingung mau diapakan Merpati, karena terbebani problem masa lalu yang berimbas ke hari ini. Seandainya bisa dihapus, dalam arti seluruh beban finansial dihilangkan, masalah hari ini pun tidak bisa diselesaikan sendiri, karena alat produksi tidak cukup untuk menutup kebutuhan operasional berjalan.

Bola Panas

Alih-alih menyelamatkan Merpati, PPA kini sedang minta dana PMN ke pemerintah. Maka solusi apa pun yang akan diluncurkannya, tak akan terlepas dari skenario penyelamatan ìdana bantuannyaî yang sudah terlanjur dihabiskan Merpati, dan tak akan terlalu bermanfaat bagi Merpati, tapi sangat bermanfaat buat PPA. Hal ini tampaknya ada benang merah dengan pernyataan Menteri BUMN bahwa Merpati akan dijual, yang membuat direksi baru seakan tersandera.

Bola panas ini kemudian menggelinding menjadi bola liar dan berubah menjadi bola salju yang kian hari kian membesar. Asumsi liar pun berkembang mengiringi bola salju itu. Misalnya, Merpati sengaja dibangkrutkan, dengan menempatkan direksi yang tidak kapabel, untuk kemudian dijual. Semoga asumsi ini tidak benar.

Seharusnya ada opsi ketiga sebagai solusi, yakni membawa masalah Merpati ke DPR, dalam hal ini Komisi V, Komisi VI, Komisi XI, dan DPR memanggil pihak terkait seperti Kementerian BUMN, PPA, Dirut Merpati sekarang dan mantan dirut yang memahami masalah. Dialog itu untuk membicarakan, mengevaluasi, dan memutuskan yang terbaik.

Mungkin bisa dimulai dari pencairan PMN Rp 200 M, dilanjutkan revisi business plan yang akan dilaksanakan oleh direksi yang berkompeten. Lalu, utang Merpati terhadap pemerintah seperti eks pesawat MA-60 dijadikan PMN, sementara utang terhadap BUMN lain seperti PT Angkasa Pura dan tunggakan utang Pertamina dikonversikan menjadi saham.

Menteri BUMN tak perlu malu untuk kembali mengangkat mantan dirut, yang punya business plan. Jadi, apa yang diungkapkan Menteri BUMN bahwa Merpati akan dijual kita maknai sebagai sanepan. Yang sesungguhnya ia inginkan adalah menyelamatkan Merpati, bila perlu dengan dirut baru. Save (selamatkan) Merpati!  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar