Langkah
Penyelamatan PT Merpati
Sumaryoto Padmodiningrat ; Anggota DPR
|
SUARA
MERDEKA, 11 Desember 2013
SOS (save our soul)! Begitulah barangkali jeritan PT Merpati Nusantara
Airlines saat ini. Dalam kondisi mati suri, Merpati menghadapi ancaman bakal
dijual, seperti pernah diutarakan Menteri BUMN beberapa waktu lalu.
Konon hanya
ada dua opsi untuk menyelesaikan masalah. Pertama; tutup Merpati, seluruh
biaya terkait PHK akan dihitung. Kedua; Merpati terbang terus, namun syarat
dan kondisi apa pun harus diterima maskapai penerbangan itu. Sebagaimana
Pelni, Merpati adalah perajut Nusantaraisme, nasionalisme khas Indonesia.
Dengan Pelni
dan Merpati, masyarakat di wilayah terpencil merasa menjadi bagian dari NKRI.
Keduanya memiliki tugas public service
obligation (PSO) sehingga sebenarnya jangan pernah berpikir untuk menutup
Merpati. Pemerintah tentu tak mau dikatakan salah urus. Apalagi Menteri BUMN
bukan orang sembarangan.
Terbukti,
hanya dalam waktu kurang dari 2 tahun, ia sudah dua kali mengganti direksi
maskapai penerbangan itu. Sayang, kian sering direksi diganti, nasibnya
justru makin terpuruk. Mungkin setengah frustrasi, pemerintah pun menyerahkan
urusan Merpati kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA).
Pergantian
dari satu direksi ke direksi lain, terakhir Dirut Rudy Setyopurnomo
digantikan Asep Eka Nugraha pada 31 Juli 2013, ternyata tak menyelesaikan
masalah. Rudy, yang sebelumnya digadang-gadang mampu memperbaiki kinerja,
bahkan usai dilantik sesumbar hendak membukukan keuntungan Rp500 juta/hari,
Kenyataannya gagal total.
Terperosok
Merpati bahkan
terperosok ke jurang lebih dalam dengan meninggalkan masalah yang makin
kompleks, seperti utang fuel (bahan bakar) ke Pertamina di atas plafon Rp 110
milliar, utang ke lessor sudah 10 bulan tak terbayar, pesawat terancam
ditarik; alat produksi sudah tua dan terus berkurang; dan total utang Rp 7
triliun.
Sampai hari
ini, PPAbelum merilis solusi apa pun untuk mengeluarkan Merpati dari krisis.
Justru sejak 14 Oktober 2013 Merpati terjerat ìembargo’’ bahan bakar yang
pelan tapi pasti menghilangkan seluruh potensi.
Embargo ini sudah
meliputi 6 kota, yakni Yogyakarta, Bandung, Semarang, Palembang, Tanjung
Karang, dan Cengkareng (Tangerang), sementara Surabaya sudah dibatasi jumlah
pengisian 21.000 liter/hari, atau setara 7 jam terbang pesawat. Embargo bahan
bakar adalah konsekuensi pahit atas ketakmampuannya menurunkan plafon utang
ke Pertamina sampai di bawah Rp110 miliar.
Efek
langsungnya adalah tidak bisa dilayaninya rute-rute yang melalui kota yang
diembargo, dan terjadinya pengisian fuel double uplift untuk pulang-pergi.
Pendek kata, kepak sayap Merpati sudah kepayahan akibat besar pasak daripada
tiang, kekurangan alat produksi, dan kesulitan cash flow.
Ironisnya,
manajemen Merpati saat ini tidak mampu memahami prioritas masalah dan tidak
punya solusi, dengan membiarkan fuel embargo terus terjadi. Ini semua karena
manajemen tak punya business plan sejak Rudy menjabat, yang menyebabkan
pencairan dana penyertaan modal negara (PMN) Rp 200 miliar ter-pending.
Namun kendati
katakanlah PMN Rp 200 miliar itu nanti cair, diyakini tak akan menyelesaikan
masalah karena terlambat, sehingga cash flow tak akan tertolong, sebagaimana
pencairan PMN Rp 560 miliar juga terlambat delapan bulan dari seharusnya Mei
2011.
Sejak berpisah
dari PT Garuda Indonesia, Merpati telah 50 kali mendapat PMN. Asep, dirut
baru yang mengundurkan diri dari jabatan direktur operasional pada 13
Februari 2013, pun bingung mau diapakan Merpati, karena terbebani problem
masa lalu yang berimbas ke hari ini. Seandainya bisa dihapus, dalam arti
seluruh beban finansial dihilangkan, masalah hari ini pun tidak bisa
diselesaikan sendiri, karena alat produksi tidak cukup untuk menutup
kebutuhan operasional berjalan.
Bola Panas
Alih-alih
menyelamatkan Merpati, PPA kini sedang minta dana PMN ke pemerintah. Maka
solusi apa pun yang akan diluncurkannya, tak akan terlepas dari skenario
penyelamatan ìdana bantuannyaî yang sudah terlanjur dihabiskan Merpati, dan
tak akan terlalu bermanfaat bagi Merpati, tapi sangat bermanfaat buat PPA.
Hal ini tampaknya ada benang merah dengan pernyataan Menteri BUMN bahwa
Merpati akan dijual, yang membuat direksi baru seakan tersandera.
Bola panas ini
kemudian menggelinding menjadi bola liar dan berubah menjadi bola salju yang
kian hari kian membesar. Asumsi liar pun berkembang mengiringi bola salju
itu. Misalnya, Merpati sengaja dibangkrutkan, dengan menempatkan direksi yang
tidak kapabel, untuk kemudian dijual. Semoga asumsi ini tidak benar.
Seharusnya ada
opsi ketiga sebagai solusi, yakni membawa masalah Merpati ke DPR, dalam hal
ini Komisi V, Komisi VI, Komisi XI, dan DPR memanggil pihak terkait seperti
Kementerian BUMN, PPA, Dirut Merpati sekarang dan mantan dirut yang memahami
masalah. Dialog itu untuk membicarakan, mengevaluasi, dan memutuskan yang
terbaik.
Mungkin bisa
dimulai dari pencairan PMN Rp 200 M, dilanjutkan revisi business plan yang
akan dilaksanakan oleh direksi yang berkompeten. Lalu, utang Merpati terhadap
pemerintah seperti eks pesawat MA-60 dijadikan PMN, sementara utang terhadap
BUMN lain seperti PT Angkasa Pura dan tunggakan utang Pertamina dikonversikan
menjadi saham.
Menteri BUMN
tak perlu malu untuk kembali mengangkat mantan dirut, yang punya business
plan. Jadi, apa yang diungkapkan Menteri BUMN bahwa Merpati akan dijual kita
maknai sebagai sanepan. Yang sesungguhnya ia inginkan adalah menyelamatkan
Merpati, bila perlu dengan dirut baru. Save
(selamatkan) Merpati! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar