Minggu, 22 Desember 2013

I B U

I B U
Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia  
KORAN SINDO,  22 Desember 2013
  


Beberapa waktu yang lalu saya singgah ke salah satu mal di Jakarta Selatan yang banyak gerai komputernya. Saya hendak membeli tinta printer. Maka saya masuk ke salah satu gerai yang menjual aksesori komputer. 

Gerai itu ditunggui oleh seorang ibu yang (saya duga) pemiliknya sendiri, seorang pegawai wanita, dan seorang anak laki-laki berumur 5 tahunan, yang sedang duduk di meja kasir sambil makan nasi dengan santainya. Tampaknya (saya duga juga) anak itu, sebut saja namanya Minggus (karena kebetulan saat itu hari Minggu) adalah anak pemilik gerai yang saya sebut saja namanya Manggus (mamanya Minggus). 
Adapun sang pegawai saya panggil mbak (saya memang memanggilnya “mbak”, seperti lazimnya orang memanggil setiap wanita muda yang tidak dikenal). Saya dilayani dengan baik oleh si mbak. Dia mengambilkan tinta printer yang saya maksud dan mempersilakan saya menuju meja kasir, yang sedang diduduki oleh Minggus. 

Eeeeh, melihat saya berdiri di depannya, Minggus ini melotot ke saya, dia tidak senang melihat saya di situ. Siapa ini kakek-kakek berwajah Dude Herlino berani-beraninya berdiri di depanku? Begitulah mungkin yang ada di benaknya (saya duga juga). 


Karena saya pada dasarnya senang pada anak kecil, maka saya tersenyum, sambil bertanya basa-basi, “Kelas berapa, Dik?” Eeeh, dia tambah melotot sambil memanyunkan bibirnya. Terus dia beranjak mau mengambil minuman kemasan dari meja yang lain. Karena meja itu terlalu tinggi buat dia, sementara si mbak sedang sibuk membuatkan bon buat saya, dan Bu Manggus juga sedang sibuk menulis-nulis entah apa, saya bantu Minggus mengambilkan satu gelas kemasan air mineral dan sedotannya. 


Yang membuat saya terkejut (tetapi tetap tersenyum, namanya juga psikolog), Minggus merebut air itu dari tangan saya sambil terus melotot. Sementara itu, Bunda Manggus tidak memperhatikan dan terus saja menulis. Sesudah merebut air Minggus mengambil piring nasinya (karena meja kasir ditempati bundanya untuk melayani saya membayar belanjaan) dan meletakkannya di lantai dan mulai meneruskan makan dengan santai, sambil salah satu kakinya naik keatas. Nah, disinilah terjadi klimaks dari drama kecil kehidupan itu. Si bunda Manggus, tiba-tiba murka besar. 


“Hai! Kenapa kamu duduk di bawah. Kaya anak pemulung saja. Sudah enak-enak jadi anak yang bisa makan di kursi, ini malah ingin jadi anak pemulung! Sana masuk!” Si ibu menghardik dengan wajah keras sambil menunjuk ke pintu gudang di belakang toko (nampaknya ibu itu lupa bahwa banyak pemulung yang penghasilannya lebih besar daripada PNS bergelar S-1). Minggus bergeming, dia diam saja di tempat. Dia pikir mamanya tidak serius. Tetapi mamanya serius. 

Tambah murka dia, “Ayo, masuk! Kalau enggak, mama tampar kamu!” Gesturnya benar-benar mau menampar. Maka Minggus cepat-cepat, dengan tubuh merunduk-runduk (seperti anjing kampung yang mau digebuk tuannya), masuk ke gudang. 


Setelah situasi kembali aman dan terkendali, barulah ibunda Manggus melayani saya dengan ramah-tamah, menerima pembayaran saya dengan senyum seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Si mbak menyerahkan tinta printer yang sudah dibungkus plastik kresek dan saya pun balik kanan jalan, kembali ke dunia saya sendiri yang saya rasa lebih aman dan damai daripada dunia Minggus. 


Kak Seto pernah mengobrol dengan saya tentang KDRT. Dia bilang, korban KDRT terbanyak itu anak-anak, bukan wanita, dan pelakunya adalah ibu kandung sendiri, bukan orang lain, termasuk bukan juga ibu tiri. Ibu tiri jaman sekarang umumnya baik hati, seperti Ashanty Anang (penggemar infotainment tentu kenal Ashanty). Saya sependapat dengan Kak Seto, karena saya banyak mendapat klien orang tua yang bermasalah dengan anaknya, atau anak yang bermasalah dengan orangtuanya. 

Ternyata buat para orang tua, mendisiplinkan anak identik dengan kekerasan. 
Anak SD kelas 1 atau kelas 2, yang masih getol-getolnya bermain, dihardik-hardik untuk belajar. Kalau sudah belajar beberapa saat, mamanya (mama kandung, bukan tiri) bertanya terus pelajaran untuk mengecek apakah sudah hafal atau belum. Kalau belum hafal, mama marah banget. Bukan hanya dihardik, tetapi juga dicubit, makin tidak bisa, makin dicubit, anak menangis (wajarlah menangis, kan sakit dicubit), wah malah makin menjadi- jadi dicubitnya, sampai paha anak merah-merah. 


Bagaimana anak mau belajar dan berpikir, kalau dicubiti terus seperti itu, padahal kan mama maunya anak itu pintar, berarti belajar, berarti berpikir, berarti tidak boleh kesakitan karena pahanya dicubiti. Itulah yang namanya reaction formation dalam psikologi. Ibu cinta pada anaknya, sayang pada anak dan ingin anak jadi pintar, jadi dokter, atau minimal jadi artis, bukannya jadi pemulung. Dampaknya pada anak malah sebaliknya. Makanya ketika saya tahu bagaimana Manggus memperlakukan Minggus, saya tidak heran ketika Minggus galak kepada saya. 


Dalam bahasa psikologi itu namanya displacement, yaitu pengalihan sasaran kemarahan dari ibu (yang tidak dibenarkan oleh norma sosial) kepada pihak lain yang dianggap lebih bisa dijadikan sasaran. Tetapi saya ngeri juga ketika memikirkan betapa banyaknya ibu yang memperlakukan anaknya dengan kejam. 

Hampir bisa dipastikan anak-anak mereka akan tumbuh menjadi orang dewasa yang juga kejam tanpa empati. Pada saatnya akan terjadi generasi bangsa Indonesia yang agresif, pemarah, dan tidak berempati. Dan generasi itu sudah mulai terlihat sekarang. Mudah-mudahan para ibu se-Indonesia menyadari betapa besarnya peran mereka dalam membentuk watak generasi bangsa. Selamat Hari Ibu.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar