Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
selama ini terkubur. Padahal, spirit nasionalisme, berbangsa, dan bernegara
terselip di dalamnya. Maka Kongres Kebangsaan yang digagas Forum Pemimpin
Redaksi (Pemred) harus ditindaklanjuti dengan berbagai gerakan revolusioner
untuk menghidupkan kembali GBHN sebagai kekuatan negara.
Negara kehilangan power di tengah badai
globalisasi. Akhirnya, ekonomi yang berkembang di Indonesia sudah jauh dari
kerakyatan dan Pancasila. Kongres Kebangsaan diharapkan bisa melahirkan
kembali GBHN. Gagasan menghidupkan kembali GBHN harus direspons positif
semua kalangan, tak hanya dari para tokoh dan pimpinan partai. Insan
pendidikan dan ekonom harus ikut serta menghidupkan kembali GBHN.
Kongres Kebangsaan di Jakarta, Selasa (10/12), dihadiri beberapa kalangan
dan lembaga seperti Panglima TNI, Ketua DPR, Ketua Mahkamah Konstitusi, dan
Ketua Mahkamah Agung (MA). Setelah ketua lembaga negara memaparkan
pandangannya, dilanjutkan ketua umum partai politik.
Semua harus menyambut baik. Pemerintah,
parpol, ormas, dan kalangan lain perlu menindaklanjuti gagasan
dihidupkannya GBHN agar ada arah pembangunan ekonomi bangsa. Logika
penghidupan GBHN sangat kuat karena landasan pembangunan saat ini dirasakan
tidak efektif, tanpa haluan.
Ketua parpol sangat mendukung GHBN
dilahirkan kembali. Ada beberapa alasan logis untuk melahirkan GHBN
kembali, di antaranya Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang belum mengakomodasi sebuah pedoman pembangunan
dan menyulitkan program pemerintah untuk berjalan secara berkelanjutan.
Haluan negara yang baru dapat mengarahkan
rencana pembangunan secara teratur dengan jangka waktu tepat.
Indonesia perlu memperbaiki kualitas bernegara. Maka tidak adil kalau GBHN
diganti konsep Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang dibuat,
dikontrol, dan dinilai pemerintah sendiri. GBHN perlu agar ada acuan arah
pembangunan.
Catur Sukses Pembangunan Nasional yang
diharapkan tercapai pada tahun 2045 salah satunya didukung dengan GHBN.
Rangkaian pencapaian kesejahteraan dibagi dalam tiga dekade yakni
2015-2025, 2025-2035, dan 2035-2045 dengan satu capaian yang sifatnya
kuantitatif dan kualitatif. Karena tak ada lagi GBHN, akibatnya pembangunan
disesuaikan dengan visi-misi presiden terpilih.
Selain itu, UU dirasa semakin rancu
karena bentuk pemerintahan tak jelas, presidensiil atau parlementer. Ke
depan, hal itu harus ditata kembali. Perlu juga diubah butir-butir yang
tidak sesuai dengan Pancasila.
UU pun dirasa perlu ditata ulang karena
pascareformasi banyak sekali peraturan dalam perundang-undangan tidak
prorakyat.
Di sisi lain, stabilitas keamanan dan politik juga penting. Tanpa
stabilitas politik dan keamanan tak mungkin pembangunan berjalan. Negara
harus mengedepankan kepentingan nasional. Pemerintah harus berani melawan
kontrak yang tak sesuai dengan nasionalisme Indonesia.
Kadaulatan Ekonomi
Ekonomi menjadi faktor utama yang harus
dibenahi karena selama ini sistem ekonomi kapitalistik dan neoliberalisme.
Padahal, Indonesia membutuhkan ekonomi kerakyatan sesuai konstitusi dan
Pancasila. Ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pancasila dan
Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem untuk mewujudkan kedaulatan rakyat
dalam bidang ekonomi.
Selain itu, ekonomi kerakyatan sangat
bertolak belakangan dengan sistem neoliberalisme yang bertujuan utama
mengembangkan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas. Ekonomi
kerakyatan disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan,
cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai negara.
Lalu bumi, air, dan segala kekayaan yang
terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.
Indonesia harus segera mewujudkan
kedaulatan ekonomi seperti melalui pengembangan koperasi. Ide besar Bung Hatta
ini harus direalisasikan dengan tegas karena lewat koperasi Indonesia bisa
membangun ekonomi.
Semua pengembangan dan pengelolaan BUMN
harus berbasis kerakyatan dan tolak kaum kapitalis penjajah. M Yudhie
Haryono (2013) menjelaskan pentingnya pengelolaan BUMN dari, oleh, dan
untuk rakyat. Jadi, bukan untuk kaum penjarah yang menindas rakyat.
Semua pemanfaatan hasil bumi, laut, air,
dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Ini untuk memenuhi hak setiap warga negara untuk
mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta memelihara fakir
miskin dan anak telantar. Formula tersebut bisa ditegakkan dengan demokrasi
ekonomi.
Indonesia harus memperkuat ekonomi
kerakyatan dan agar ekonomi nasional tidak mudah terimbas ketika terjadi
krisis dari sejumlah negara. Maka, pemerintah harus memberi perhatian lebih
untuk sektor riil, di antaranya pertanian dan perikanan guna menggerakkan
ekonomi di daerah.
Indonesia harus bisa mengamankan pangan
dalam negeri sebab bila pemerintah tidak mampu mengamankan pangan dalam
negeri, andaikan terjadi krisis keuangan atau ekonomi, bisa berdampak
buruk. Hal itu sudah jelas tertera pada GBHN.
Haluan negara yang mengacu pada Trisakti
Bung Karno sudah jelas bahwa bangsa ini akan berdaulat secara politik,
mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara kebudayaan. Itulah yang
harus diimplementasikan dalam kebijakan agar masa depan Republik ini lebih
baik.
Pemerintah perlu menetapkan pedoman baku
semacam GBHN yang mengamanatkan secara tegas pencapaian kemandirian pangan
dan energi. Kebergantungan Indonesia yang sangat tinggi pada impor pangan,
mencapai 12 miliar dollar AS setahun, dan impor bahan bakar minyak (BBM)
sekitar 150 juta dollar AS per hari, menyebabkan defisit transaksi berjalan
kian lebar. Indonesia juga harus menegaskan kembali, ekonomi harus berpijak
pada Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar