GUBERNUR Banten Atut Chosiyah Chasan menjadi gubernur perempuan
pertama yang menjadi tersangka KPK. Seperti adat perkara yang diusut KPK,
cepat atau lambat, Atut akan menjadi penghuni hotel prodeo. Bayangan
keruntuhan klannya dalam ''pesta'' kekuasaan kian kentara.
Para penguasa
negeri Banten, yang notabene mempunyai pertalian keluarga dengan Atut, pun
bisa jadi satu demi satu terseret ke bui karena kecipratan atau bahkan
mencipratkan diri dengan harta kotor yang dicurigai dari hasil korupsi
proyek. Pintu kasus yang melingkar-lingkar di keluarga penguasa Banten itu
adalah suap Akil Mochtar semasa menjadi bos Mahkamah Konstitusi.
Dari perspektif
evolusi, kelakuan Atut dan para sedulurnya sebenarnya mengandung
''pembenaran''. Sejak zaman dahulu, manusia dan organisme pra-manusia
cenderung memprioritaskan sanak sendiri. Apa pun akan dilakukan oleh
-anggaplah- nenek moyang manusia demi mempertahankan supremasi mereka
sebagai penguasa rimba dan sumber-sumber pangan.
Betapa gen
nepotisme itu berlangsung turun-temurun dari jutaan tahun silam hingga kini
bersemayam di dalam DNA para penguasa nepotis. Atut berikut keluarganya
adalah manusia tangguh yang berkat ketangguhannya itu bertahan hidup ala
Darwinian.
Namun, dalam
proses evolusi tersebut, tampaknya, ada anomali. Tidak seluruh gen
berkembang dan terwarisi sesuai hukum alam. Spekulasi tentang anomali
tersebut bertitik tolak dari generasi manusia purbakala Homo Ergaster. Homo
Ergaster memang diketahui telah mengenal teknologi guna memudahkan
aktivitas mereka, terutama saat berburu.
Jadi, spesies
tersebut mengalami lompatan inteligensia kognitif yang mengagumkan. Tapi,
lebih dari itu, para ilmuwan yang percaya bahwa Homo Ergaster merupakan
bagian dari mata rantai evolusi manusia menyebut adanya sebuah penanda
psikologis yang membedakan Homo Ergaster dengan manusia-manusia purbakala
lainnya. Penanda itu adalah kemampuan berempati.
Empati adalah
keterampilan untuk memosisikan diri sendiri pada diri orang lain. Dengan
keterampilan reflektif macam itulah seorang individu bisa merasakan
perasaan orang lain dan menduga-duga isi pikiran orang lain, bahkan tanpa
harus didahului interaksi intens satu sama lain.
Sebagai
kemampuan yang terbentuk dalam relasi sosial, empati dapat menerbitkan
perasaan iba, takut, menyesal, dan sensasi-sensasi batin antarinsan
lainnya. Dengan dimensi psikologis yang berkembang sedemikian canggih,
berbeda dengan pendahulunya, Homo Ergaster tidak akan menyantap habis hewan
buruan mereka saat itu juga di medan perburuan. Sebagian daging akan mereka
bawa pulang ke permukiman sebagai oleh-oleh bagi keluarga dan orang-orang
lain di luar keluarga.
Kekayaan
sekaligus kepekaan hati itulah yang, sekali lagi, dipandang sebagai sebuah
momen emas yang membedakan antara evolusi manusia dan bukan manusia.
Bisa dibayangkan,
ketika keterampilan psikologis yang telah berkembang sejak masa Homo
Ergaster itu ternyata berhenti, yang terbentuk adalah manusia dengan
kepedulian tingkat tinggi kepada keluarga dekat, namun tidak disertai
kepeduliaan setara terhadap pihak-pihak di luar lingkaran inti itu. Hasrat
untuk memperkukuh klan sebagai pemegang supremasi tidak didampingi
keinginan untuk turut mempermakmur hidup orang-orang di luar klan.
Pemandangan
nyata nan tragis itu terlihat pada sekelompok orang (keluarga) yang begitu
gemar hidup berfoya-foya, sedangkan di sebelahnya hidup tetangga yang
kembang kempis menahan lapar dan pasrah disongsong maut lantaran sakit.
Jangankan ke Jepang atau Singapura untuk berbelanja barang-barang mahal, ke
puskesmas terdekat pun -meminjam sebutan Iwan Fals- ''orang-orang kalah''
itu tak kuasa.
Pengaruh
anomali gen tersebut, tampaknya, paralel terhadap tindak perangai manusia
dengan keberadaan ''gen rakus''. Gen itu disebut para peneliti sebagai
faktor yang membuat sebagian orang mencandu untuk mengonsumsi makanan
dengan kalori lebih tinggi daripada orang kebanyakan.
Ketiadaan
empati berujung pada kelaliman. Mirip Firaun yang memburu Nabi Musa as.
Seburuk-buruknya keadaan: Ratu dan segenap isi istana bermandi intan
berlian, sedangkan rakyatnya menggelepar dalam kepapaan. Beruntung, Tuhan
memberikan privilege kepada orang-orang yang diperlakukan secara lalim.
Privilege itu
berupa keampuhan doa. Doa yang tidak melulu harus berwujud untaian kata.
Bahkan, tetesan air mata atau erangan perih bisa Tuhan pahami sebagai doa.
Dan tatkala rupa-rupa doa itu dirintihkan korban penguasa durjana, pupus
jarak antara si pendoa dan pengabulan Tuhan atas doa tersebut.
Lantas, setelah
Atut ditetapkan sebagai tersangka, gejolak afeksi apakah yang layak kita
ekspresikan? Mengutuknya? Menghina dinanya? Bisa dipahami kalau itu yang
diperagakan. Tapi, tidak semestinya berhenti hanya sampai di situ.
Keyakinan bahwa kita juga mempunyai kelengkapan psikologis berupa empati,
sebagaimana dipunyai Homo Ergaster, sepatutnya menyemangati kita untuk
secara patut memindahtangankan lumbung harta Atut (dan keluarga) kepada
masyarakat Provinsi Banten. Khususnya kepada para warga melarat yang selama
ini telah disengsarakan ''pemimpin-pemimpin'' lalim mereka.
Tentu, berfokus
semata-mata pada penghukuman juga tidak bijak. Rasa sakit tak juga
serta-merta mengubah manusia. Karena itu, kelak setelah Atut (dan
keluarganya) divonis bersalah, sungguh tepat bila dia dikenai sanksi berupa
kerja sosial. Tidak hanya dengan kegiatan bagi-bagi uang, melainkan
mendorong Atut untuk sungguh-sungguh turun tangan dan bersimbah peluh
melayani kaum jelata. Barang-barang semisal tas dan sepatu mahalnya
dimuseumkan, dipajang sebelah-menyebelah dengan kain kafan dan piring seng
yang pernah dipakai masyarakat miskin Banten semasa hidup.
Satu garis
bawah: Manusia tanpa empati tidak boleh hidup hari ini. Tempat bagi mereka
adalah bumi jutaan tahun silam, jauh sebelum Homo Ergaster datang. Allahu a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar