Jumat, 20 Desember 2013

Klan Atut dan Homo Ergaster

Klan Atut dan Homo Ergaster
Reza Indragiri Amriel  ;    Psikolog forensik dan anggota Asosiasi Psikologi Islami
JAWA POS,  19 Desember 2013

  

GUBERNUR Banten Atut Chosiyah Chasan menjadi gubernur perempuan pertama yang menjadi tersangka KPK. Seperti adat perkara yang diusut KPK, cepat atau lambat, Atut akan menjadi penghuni hotel prodeo. Bayangan keruntuhan klannya dalam ''pesta'' kekuasaan kian kentara.

Para penguasa negeri Banten, yang notabene mempunyai pertalian keluarga dengan Atut, pun bisa jadi satu demi satu terseret ke bui karena kecipratan atau bahkan mencipratkan diri dengan harta kotor yang dicurigai dari hasil korupsi proyek. Pintu kasus yang melingkar-lingkar di keluarga penguasa Banten itu adalah suap Akil Mochtar semasa menjadi bos Mahkamah Konstitusi.

Dari perspektif evolusi, kelakuan Atut dan para sedulurnya sebenarnya mengandung ''pembenaran''. Sejak zaman dahulu, manusia dan organisme pra-manusia cenderung memprioritaskan sanak sendiri. Apa pun akan dilakukan oleh -anggaplah- nenek moyang manusia demi mempertahankan supremasi mereka sebagai penguasa rimba dan sumber-sumber pangan.

Betapa gen nepotisme itu berlangsung turun-temurun dari jutaan tahun silam hingga kini bersemayam di dalam DNA para penguasa nepotis. Atut berikut keluarganya adalah manusia tangguh yang berkat ketangguhannya itu bertahan hidup ala Darwinian.

Namun, dalam proses evolusi tersebut, tampaknya, ada anomali. Tidak seluruh gen berkembang dan terwarisi sesuai hukum alam. Spekulasi tentang anomali tersebut bertitik tolak dari generasi manusia purbakala Homo Ergaster. Homo Ergaster memang diketahui telah mengenal teknologi guna memudahkan aktivitas mereka, terutama saat berburu.

Jadi, spesies tersebut mengalami lompatan inteligensia kognitif yang mengagumkan. Tapi, lebih dari itu, para ilmuwan yang percaya bahwa Homo Ergaster merupakan bagian dari mata rantai evolusi manusia menyebut adanya sebuah penanda psikologis yang membedakan Homo Ergaster dengan manusia-manusia purbakala lainnya. Penanda itu adalah kemampuan berempati.

Empati adalah keterampilan untuk memosisikan diri sendiri pada diri orang lain. Dengan keterampilan reflektif macam itulah seorang individu bisa merasakan perasaan orang lain dan menduga-duga isi pikiran orang lain, bahkan tanpa harus didahului interaksi intens satu sama lain.

Sebagai kemampuan yang terbentuk dalam relasi sosial, empati dapat menerbitkan perasaan iba, takut, menyesal, dan sensasi-sensasi batin antarinsan lainnya. Dengan dimensi psikologis yang berkembang sedemikian canggih, berbeda dengan pendahulunya, Homo Ergaster tidak akan menyantap habis hewan buruan mereka saat itu juga di medan perburuan. Sebagian daging akan mereka bawa pulang ke permukiman sebagai oleh-oleh bagi keluarga dan orang-orang lain di luar keluarga. 

Kekayaan sekaligus kepekaan hati itulah yang, sekali lagi, dipandang sebagai sebuah momen emas yang membedakan antara evolusi manusia dan bukan manusia.

Bisa dibayangkan, ketika keterampilan psikologis yang telah berkembang sejak masa Homo Ergaster itu ternyata berhenti, yang terbentuk adalah manusia dengan kepedulian tingkat tinggi kepada keluarga dekat, namun tidak disertai kepeduliaan setara terhadap pihak-pihak di luar lingkaran inti itu. Hasrat untuk memperkukuh klan sebagai pemegang supremasi tidak didampingi keinginan untuk turut mempermakmur hidup orang-orang di luar klan.

Pemandangan nyata nan tragis itu terlihat pada sekelompok orang (keluarga) yang begitu gemar hidup berfoya-foya, sedangkan di sebelahnya hidup tetangga yang kembang kempis menahan lapar dan pasrah disongsong maut lantaran sakit. Jangankan ke Jepang atau Singapura untuk berbelanja barang-barang mahal, ke puskesmas terdekat pun -meminjam sebutan Iwan Fals- ''orang-orang kalah'' itu tak kuasa.

Pengaruh anomali gen tersebut, tampaknya, paralel terhadap tindak perangai manusia dengan keberadaan ''gen rakus''. Gen itu disebut para peneliti sebagai faktor yang membuat sebagian orang mencandu untuk mengonsumsi makanan dengan kalori lebih tinggi daripada orang kebanyakan.

Ketiadaan empati berujung pada kelaliman. Mirip Firaun yang memburu Nabi Musa as. Seburuk-buruknya keadaan: Ratu dan segenap isi istana bermandi intan berlian, sedangkan rakyatnya menggelepar dalam kepapaan. Beruntung, Tuhan memberikan privilege kepada orang-orang yang diperlakukan secara lalim.

Privilege itu berupa keampuhan doa. Doa yang tidak melulu harus berwujud untaian kata. Bahkan, tetesan air mata atau erangan perih bisa Tuhan pahami sebagai doa. Dan tatkala rupa-rupa doa itu dirintihkan korban penguasa durjana, pupus jarak antara si pendoa dan pengabulan Tuhan atas doa tersebut.

Lantas, setelah Atut ditetapkan sebagai tersangka, gejolak afeksi apakah yang layak kita ekspresikan? Mengutuknya? Menghina dinanya? Bisa dipahami kalau itu yang diperagakan. Tapi, tidak semestinya berhenti hanya sampai di situ. Keyakinan bahwa kita juga mempunyai kelengkapan psikologis berupa empati, sebagaimana dipunyai Homo Ergaster, sepatutnya menyemangati kita untuk secara patut memindahtangankan lumbung harta Atut (dan keluarga) kepada masyarakat Provinsi Banten. Khususnya kepada para warga melarat yang selama ini telah disengsarakan ''pemimpin-pemimpin'' lalim mereka.

Tentu, berfokus semata-mata pada penghukuman juga tidak bijak. Rasa sakit tak juga serta-merta mengubah manusia. Karena itu, kelak setelah Atut (dan keluarganya) divonis bersalah, sungguh tepat bila dia dikenai sanksi berupa kerja sosial. Tidak hanya dengan kegiatan bagi-bagi uang, melainkan mendorong Atut untuk sungguh-sungguh turun tangan dan bersimbah peluh melayani kaum jelata. Barang-barang semisal tas dan sepatu mahalnya dimuseumkan, dipajang sebelah-menyebelah dengan kain kafan dan piring seng yang pernah dipakai masyarakat miskin Banten semasa hidup.

Satu garis bawah: Manusia tanpa empati tidak boleh hidup hari ini. Tempat bagi mereka adalah bumi jutaan tahun silam, jauh sebelum Homo Ergaster datang. Allahu a'lam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar