Kamis, 19 Desember 2013

Outlook 2014 : Ada Harapan Lebih Baik

Outlook 2014 : Ada Harapan Lebih Baik
Telisa Aulia Falianty  ;    Ketua Program Magister Perencanaan
dan Kebijakan Publik FEUI
KORAN JAKARTA,  19 Desember 2013

  

Tantangan dan kondisi berat yang dihadapi Indonesia di tahun 2013 telah memberi semangat baru untuk harapan yang lebih baik di tahun 2014.
Harapan utama berasal dari perhelatan pemilu di tahun 2014 yang mudah-mudahan membawa angin segar dari sisi peningkatan aktivitas perekonomian dan kepemimpinan baru dengan perubahan. Meskipun demikian, risiko ketidakpastian global masih membayangi perekonomian nasional tahun depan.
Pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2014 masih akan dipengaruhi rencana dari US Federal Reserve (Th e Fed) yang akan menghentikan pembelian obligasi (quantitative easing) pada pertengahan tahun 2014.

Pemulihan perekonomian yang masih lambat di zona Euro juga mewarnai kondisi perekonomian dunia pada tahun 2014, dan slow motion crisis dunia masih akan dirasakan. Hal ini semakin diperberat dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara emerging market, terutama China.
Meskipun ada banyak yang pesimistis mengenai perekonomian Indonesia di tahun 2014, namun beberapa lembaga internasional banyak yang masih memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan tetap di atas 6 persen.

Di antaranya, Scotia Banks Global Economics memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan mencapai 6,5 persen. Dari pihak internal pemerintah Indonesia pun menunjukkan masih optimistis bahwa perekonomian bisa meraih angka 6 persen atau lebih.

Bank Indonesia (2013) memperkirakan, pertumbuhan ekonomi tahun depan akan lebih tinggi dari tahun ini, yakni di kisaran 6,4 persen–6 ,8 persen.
Melambatnya perekonomian China akan menjadi sentimen negatif bagi sejumlah indikator global dan memberi tekanan pada pertumbuhan negara- negara lain, termasuk Indonesia. Pemerintah China mulai mengurangi kebergantungan pada ekspor, sektor konstruksi, dan industri berat untuk menghindari overheating economy.

Sebagai ganti, China lebih mendorong konsumsi dalam negeri. Beijing juga secara perlahan mengurangi insentif dan keringanan bagi industri berat yang mengalami kapasitas berlebih. Mereka telah menaikkan pula upah minimum dan melonggarkan kendali suku bunga guna meningkatkan imbal hasil bunga.
Di samping itu, China juga memberi keringanan pajak dan insentif untuk industri yang melayani konsumsi domestik. Dampak kebijakan China itu tentu akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian global umumnya dan pertumbuhan ekonomi Indonesia khususnya.

Pertumbuhan ekonomi tahun 2014 diperkirakan lebih rendah dari sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) karena dampak dari krisis global.

Pada tahun 2014, konsumsi rumah tangga masih diharapkan jadi penopang sumber pertumbuhan ekonomi yang didukung pesta demokrasi, faktor demografi , dan kebijakan.

Investasi diharapkan masih melanjutkan tren pertumbuhan yang tinggi. Untuk faktor demografi yang akan menopang konsumsi rumah tangga adalah adanya peningkatan angka kerja dan dampaknya pada pendapatan serta daya beli.
Hasil penelitian Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (2013) menunjukkan bahwa angkatan kerja diperkirakan mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga tetap pada kisaran 5 persen. Ini didukung hasil uji kausalitas Granger yang memperlihatkan bahwa angkatan kerja memengaruhi konsumsi agregat.

Meskipun demikian, konsumsi ini bisa terpengaruh negatif karena perkembangan berbagai kebijakan dan kondisi terkini, seperti naiknya suku bunga, melemahnya nilai tukar, kebijakan peningkatan PPh impor untuk sejumlah barang konsumsi, serta semakin ketatnya kebijakan loan to value sebagai kebijakan makroprudensial.

Setelah melihat makroekonomi agregat Indonesia akan membahas kinerja sektoral. Jika kinerja sektoral dilihat lebih mendetail lagi, tampak bahwa dalam beberapa tahun terakhir sektor yang tumbuh tertinggi adalah pengangkutan- komunikasi, perdagangan, restoran-hotel, bangunan, keuangan, serta persewaan-jasa.

Sektor-sektor ini diprediksi akan tetap menjadi penopang perekonomian Indonesia tahun 2014. Sektor jasa yang terkait media, percetakan, dan periklanan diperkirakan akan banyak kebanjiran permintaan terkait dengan perhelatan pemilu.

Bank Indonesia (BI) telah memperkirakan dampak pemilu terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,2 persen. BI melihat berdasarkan data historis pemilu 2004 dan 2009, sedangkan terhadap infl asi, BI memprediksikan dampak terhadap pemilu tidak akan begitu besar karena pengeluarannya lebih banyak ke sektor jasa, bukan ke barang.

BI cukup optimistis infl asi akan kembali di kisaran target seiring dengan telah hilangnya dampak kenaikan harga BBM tahun 2013. Tekanan infl asi diperkirakan mereda karena peningkatan produksi pangan dan pupuk serta tekanan harga minyak global mereda akibat kenaikan pasokan minyak OPEC dan non-OPEC.

Pasokan pangan domestik diperkirakan membaik karena produksi pangan naik berkat kebijakan kemandirian pangan dan distribusi komoditas yang semakin bagus. Selain itu, juga adanya koordinasi kebijakan fi skal-moneter, walaupun masih ada risiko dari sisi iklim, cuaca, maupun geopolitik.

Namun demikian, sejumlah risiko tetap ada dari sisi kenaikan harga pangan dunia karena kebijakan terbaru dari paket WTO Bali. Hal ini terutama terkait transparansi stok dan subsidi pangan.

Belum lagi ada ekspansi China di pasar yang terus meningkatkan permintaan pangan sehingga ada kemungkinan kenaikan harga. Seandainya risiko ini kecil, kembalinya infl asi pada level normal diharapkan bisa mendorong lagi pertumbuhan ekonomi nasional. Pada akhirnya, pendapatan masyarakat diperkirakan bakal naik sehingga dapat mempertinggi daya beli.

Strategi 

Pemerintah telah membuat strategi di tahun 2014 untuk mencapai sasaran inflasi sebagai berikut. Pertama, peningkatan produksi pangan, perluasan areal, perbaikan aturan alih fungsi lahan, irigasi benih, dan pupuk.

Kedua, peningkatan jumlah kapal penangkapan ikan, penataan jalur distribusi, dan Sistem Logistik Nasional (Sislognas). Juga ada upaya menjaga ekspektasi infl asi melalui sosialisasi yang lebih baik, mengalokasikan anggaran untuk stabilisasi, seperti subsidi pangan, beras, benih, dan pupuk.

Kemudian, ada cadangan operasi pasar, raskin, impor, serta kebijakan realokasi belanja subsidi yang kurang tepat ke infrastruktur, pendidikan, dan pembangunan. Kondisi eksternal Indonesia pada tahun 2013 tampak lebih berat dari tahun 2012.

Tekanan ini sangat telihat pada defi sit neraca pembayaran yang diprediksikan Bank Dunia mencapai 4,8 miliar dollar AS.

Pada tahun 2014, BI memprediksikan bahwa pada tahun 2014 neraca pembayaran akan membaik seiring dengan harga komoditas internasional dan lebih meningkatnya pertumbuhan ekonomi global. Harapan menurunnya defi sit neraca pembayaran di tahun 2014 juga didukung kebijakan untuk menekan impor.

Pelemahan rupiah yang cukup tajam tahun ini juga bisa membantu menurunkan kuantitas impor. Sebagai penutup, apakah harapan perbaikan di tahun 2014 akan menjadi kenyataan, maka tugas kitalah sebagai warga negara untuk membantu mewujudkan bersama-sama.

Pekerjaan rumah tidak hanya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan stabilitas harga, tetapi juga mengentaskan kemiskinan, menaikkan kesejahteraan rakyat dalam arti sesungguhnya, dan multidimensional (tidak hanya aspek ekonomi).

Tugas lain, menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat yang layak dan berbudaya. Semua ini tentu bukan hanya tugas pemerintah, tapi seluruh warga Indonesia.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar