Tantangan dan kondisi berat yang dihadapi
Indonesia di tahun 2013 telah memberi semangat baru untuk harapan yang
lebih baik di tahun 2014.
Harapan
utama berasal dari perhelatan pemilu di tahun 2014 yang mudah-mudahan
membawa angin segar dari sisi peningkatan aktivitas perekonomian dan
kepemimpinan baru dengan perubahan. Meskipun demikian, risiko
ketidakpastian global masih membayangi perekonomian nasional tahun depan.
Pertumbuhan
ekonomi dunia pada tahun 2014 masih akan dipengaruhi rencana dari US
Federal Reserve (Th e Fed) yang akan menghentikan pembelian obligasi
(quantitative easing) pada pertengahan tahun 2014.
Pemulihan
perekonomian yang masih lambat di zona Euro juga mewarnai kondisi
perekonomian dunia pada tahun 2014, dan slow
motion crisis dunia masih akan dirasakan. Hal ini semakin diperberat
dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara emerging market,
terutama China.
Meskipun
ada banyak yang pesimistis mengenai perekonomian Indonesia di tahun 2014,
namun beberapa lembaga internasional banyak yang masih memprediksi
pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan tetap di atas 6 persen.
Di
antaranya, Scotia Banks Global
Economics memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan
mencapai 6,5 persen. Dari pihak internal pemerintah Indonesia pun
menunjukkan masih optimistis bahwa perekonomian bisa meraih angka 6 persen
atau lebih.
Bank
Indonesia (2013) memperkirakan, pertumbuhan ekonomi tahun depan akan lebih
tinggi dari tahun ini, yakni di kisaran 6,4 persen–6 ,8 persen.
Melambatnya
perekonomian China akan menjadi sentimen negatif bagi sejumlah indikator
global dan memberi tekanan pada pertumbuhan negara- negara lain, termasuk
Indonesia. Pemerintah China mulai mengurangi kebergantungan pada ekspor,
sektor konstruksi, dan industri berat untuk menghindari overheating
economy.
Sebagai
ganti, China lebih mendorong konsumsi dalam negeri. Beijing juga secara
perlahan mengurangi insentif dan keringanan bagi industri berat yang
mengalami kapasitas berlebih. Mereka telah menaikkan pula upah minimum dan
melonggarkan kendali suku bunga guna meningkatkan imbal hasil bunga.
Di
samping itu, China juga memberi keringanan pajak dan insentif untuk
industri yang melayani konsumsi domestik. Dampak kebijakan China itu tentu
akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian global umumnya dan
pertumbuhan ekonomi Indonesia khususnya.
Pertumbuhan
ekonomi tahun 2014 diperkirakan lebih rendah dari sasaran Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) karena dampak dari krisis global.
Pada
tahun 2014, konsumsi rumah tangga masih diharapkan jadi penopang sumber
pertumbuhan ekonomi yang didukung pesta demokrasi, faktor demografi , dan
kebijakan.
Investasi
diharapkan masih melanjutkan tren pertumbuhan yang tinggi. Untuk faktor
demografi yang akan menopang konsumsi rumah tangga adalah adanya
peningkatan angka kerja dan dampaknya pada pendapatan serta daya beli.
Hasil
penelitian Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (2013) menunjukkan
bahwa angkatan kerja diperkirakan mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga
tetap pada kisaran 5 persen. Ini didukung hasil uji kausalitas Granger yang
memperlihatkan bahwa angkatan kerja memengaruhi konsumsi agregat.
Meskipun
demikian, konsumsi ini bisa terpengaruh negatif karena perkembangan
berbagai kebijakan dan kondisi terkini, seperti naiknya suku bunga,
melemahnya nilai tukar, kebijakan peningkatan PPh impor untuk sejumlah
barang konsumsi, serta semakin ketatnya kebijakan loan to value sebagai
kebijakan makroprudensial.
Setelah
melihat makroekonomi agregat Indonesia akan membahas kinerja sektoral. Jika
kinerja sektoral dilihat lebih mendetail lagi, tampak bahwa dalam beberapa
tahun terakhir sektor yang tumbuh tertinggi adalah pengangkutan-
komunikasi, perdagangan, restoran-hotel, bangunan, keuangan, serta
persewaan-jasa.
Sektor-sektor
ini diprediksi akan tetap menjadi penopang perekonomian Indonesia tahun
2014. Sektor jasa yang terkait media, percetakan, dan periklanan
diperkirakan akan banyak kebanjiran permintaan terkait dengan perhelatan
pemilu.
Bank
Indonesia (BI) telah memperkirakan dampak pemilu terhadap pertumbuhan
ekonomi Indonesia sebesar 0,2 persen. BI melihat berdasarkan data historis
pemilu 2004 dan 2009, sedangkan terhadap infl asi, BI memprediksikan dampak
terhadap pemilu tidak akan begitu besar karena pengeluarannya lebih banyak
ke sektor jasa, bukan ke barang.
BI
cukup optimistis infl asi akan kembali di kisaran target seiring dengan
telah hilangnya dampak kenaikan harga BBM tahun 2013. Tekanan infl asi
diperkirakan mereda karena peningkatan produksi pangan dan pupuk serta
tekanan harga minyak global mereda akibat kenaikan pasokan minyak OPEC dan
non-OPEC.
Pasokan
pangan domestik diperkirakan membaik karena produksi pangan naik berkat
kebijakan kemandirian pangan dan distribusi komoditas yang semakin bagus.
Selain itu, juga adanya koordinasi kebijakan fi skal-moneter, walaupun
masih ada risiko dari sisi iklim, cuaca, maupun geopolitik.
Namun
demikian, sejumlah risiko tetap ada dari sisi kenaikan harga pangan dunia
karena kebijakan terbaru dari paket WTO Bali. Hal ini terutama terkait
transparansi stok dan subsidi pangan.
Belum
lagi ada ekspansi China di pasar yang terus meningkatkan permintaan pangan
sehingga ada kemungkinan kenaikan harga. Seandainya risiko ini kecil,
kembalinya infl asi pada level normal diharapkan bisa mendorong lagi
pertumbuhan ekonomi nasional. Pada akhirnya, pendapatan masyarakat
diperkirakan bakal naik sehingga dapat mempertinggi daya beli.
Strategi
Pemerintah
telah membuat strategi di tahun 2014 untuk mencapai sasaran inflasi
sebagai berikut. Pertama, peningkatan produksi pangan, perluasan areal,
perbaikan aturan alih fungsi lahan, irigasi benih, dan pupuk.
Kedua,
peningkatan jumlah kapal penangkapan ikan, penataan jalur distribusi, dan
Sistem Logistik Nasional (Sislognas). Juga ada upaya menjaga ekspektasi
infl asi melalui sosialisasi yang lebih baik, mengalokasikan anggaran untuk
stabilisasi, seperti subsidi pangan, beras, benih, dan pupuk.
Kemudian,
ada cadangan operasi pasar, raskin, impor, serta kebijakan realokasi
belanja subsidi yang kurang tepat ke infrastruktur, pendidikan, dan
pembangunan. Kondisi eksternal Indonesia pada tahun 2013 tampak lebih berat
dari tahun 2012.
Tekanan
ini sangat telihat pada defi sit neraca pembayaran yang diprediksikan Bank
Dunia mencapai 4,8 miliar dollar AS.
Pada
tahun 2014, BI memprediksikan bahwa pada tahun 2014 neraca pembayaran akan
membaik seiring dengan harga komoditas internasional dan lebih meningkatnya
pertumbuhan ekonomi global. Harapan menurunnya defi sit neraca pembayaran
di tahun 2014 juga didukung kebijakan untuk menekan impor.
Pelemahan
rupiah yang cukup tajam tahun ini juga bisa membantu menurunkan kuantitas
impor. Sebagai penutup, apakah harapan perbaikan di tahun 2014 akan menjadi
kenyataan, maka tugas kitalah sebagai warga negara untuk membantu
mewujudkan bersama-sama.
Pekerjaan
rumah tidak hanya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan stabilitas harga,
tetapi juga mengentaskan kemiskinan, menaikkan kesejahteraan rakyat dalam
arti sesungguhnya, dan multidimensional (tidak hanya aspek ekonomi).
Tugas lain, menciptakan lapangan kerja
bagi masyarakat yang layak dan berbudaya. Semua ini tentu bukan hanya tugas
pemerintah, tapi seluruh warga Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar