Pengalaman
masyarakat Indonesia dalam melihat pemimpinnya melahirkan romantisisme
tersendiri. Dari Soekarno hingga SBY, kepemimpinan mereka menjadi
multitafsir dalam perspektif dan deskripsi masyarakat.
Soekarno termasuk yang paling
banyak ditiru gaya orasi, cara berpakaian, serta dikenal sebagai Bapak
Proklamator. Soeharto yang memerintah selama 32 tahun dikenal sebagai
Bapak Pembangunan.
Habibie adalah seorang
teknokrat, presiden pada masa transisi dan penuh romantisisme yang
terbalut dalam kisah ”Habibie-Ainun”.
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dikenal sebagai seorang kiai yang pluralis
dan visioner.
Megawati Soekarnoputri,
perempuan presiden pertama, berpribadi tenang serta berintuisi tajam.
Susilo Bambang Yudhoyono dikenal kesantunannya berbicara, berpenampilan,
dan berbusana anggun.
Dari keenam presiden yang
pernah memimpin Indonesia, Soeharto adalah pribadi yang menarik diulas.
Kepemimpinannya selama 32 tahun telah memengaruhi berbagai sendi-sendi
kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama dalam masyarakat
Indonesia dari Sabang hingga Merauke.
Soeharto berhasil menata
kehidupan berbangsa dan bernegara atas nama ”pembangunan”. Kombinasi
represif dan ideologis adalah kunci untuk mengeliminasi potensi-potensi
konflik. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme seolah menjadi ”tradisi”
yang sulit dihilangkan dan diberantas.
Ketika era Soeharto berakhir
Mei 1998, kepemimpinan di Indonesia diuji kembali. Habibie, Gus Dur,
Megawati, dan SBY berupaya melakukan yang terbaik untuk masyarakat.
Huru-hara politik dan konflik sosial adalah ujian bagi kepemimpinan
mereka.
Persoalan kebangsaan yang
bernama otonomi daerah, separatisme, etnisitas, agama, dan
multikulturalisme merupakan bom waktu yang tersebar di titik-titik rawan
wilayah Indonesia, seperti Aceh, Jakarta, Poso, Ambon, dan Papua.
Fenomena ini telah membuat masyarakat lelah dan jenuh bahkan takut untuk
hidup di negaranya sendiri.
Satu dasawarsa lebih
sepeninggal Soeharto, hura hara politik, dan konflik sosial malah semakin
tinggi eskalasinya. Partai politik dan elite hanya sibuk berkelit dari
kasus korupsi dan membangun pencitraan. Wajar jika rakyat berpikir bahwa
era reformasi tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Sebaliknya, atas nama reformasi, semua tatanan menjadi kabur dan
amburadul.
Lantas muncul ungkapan yang
membangkitkan romantisisme kepemimpinan masa lalu dalam bahasa ”penak
zamanku to”. Bahasa sederhana yang mengomparasi masa kini dan masa
kepemimpinan Soeharto.
Pencetus ide ungkapan ini
mungkin tidak menyangka bahwa akan mendapatkan respons luar biasa dari
masyarakat. Mulai dari baju, poster, stiker, dan bentuk suvenir lainnya.
Bahkan, orang menyebut kita terkena wabah SARS, bukan penyakit melainkan
sindrom akut rindu Soeharto.
Apakah ini fenomena bahwa
rakyat rindu dengan kepemimpinan Soeharto? Harus diakui bahwa pada era
Orde Baru dalam kacamata Soeharto, problematika huru hara politik dan
konflik sosial hampir bisa diredam atas nama ”pembangunan”.
Karyanya dalam meningkatkan
pembangunan tecermin dalam konsep trilogi, yaitu stabilitas nasional yang
dinamis, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, serta pemerataan pembangunan
dan hasil-hasilnya.
Konsep ini terbukti ampuh
untuk mengatasi berbagai persoalan kebangsaan saat itu. Namun, konsep ini
juga meruntuhkan kepemimpinannya tatkala krisis ekonomi melanda
Indonesia.
Fondasi ekonomi yang dibangun
Soeharto tidak bisa mengatasi krisis. Stabilitas nasional diciptakan
bernuansa represif dengan mengatasnamakan separatis dan subversif.
Kearifan lokal setempat mengalami ”penyeragaman” hingga ”diskriminasi”.
Pemerataan dalam konteks trickle-down effectsangat sentralistik dan
daerah yang kaya sumber daya alam tidak pernah merasakan manfaatnya.
Istilah ”penak zamanku to” bukan ingin membangkitkan euforia
Soeharto, apalagi kembali ke era tersebut. Ungkapan ini hanya reaksi atas
kondisi yang dialami oleh bangsa Indonesia saat ini. Persoalan politik,
korupsi, konflik agama, konflik sosial, etnisitas, dan persoalan lainnya
semakin marak terjadi di negeri ini.
Dalam hal menjaga keamanan dan
ketertiban, polisi dan TNI yang dulunya mesra, sekarang seolah saling
unjuk kekuatan. Harmonisasi antarlembaga negara yang terjadi pada era
Soeharto kini berubah jadi saling curiga dan pamer kekuasaan. Elite
politik yang harusnya jadi contoh, malah saling mencari kelemahan dan
sibuk memperbaiki citra partai dan individu. Prinsipnya ”penak zamanku to”.
Kita tidak ingin lagi kembali
di era kepemimpinan Soeharto, tetapi ”penak
zamanku to” adalah analogi dari kejenuhan masyarakat. Kritik ini
sangat berharga bagi setiap anak bangsa yang ingin memimpin negeri ini
yang dirundung banyak problematika. Pekerjaan rumah bangsa ini tidak
hanya diletakkan pada pundak satu orang, tetapi semua elemen bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar