Minggu, 22 Desember 2013

Kepemimpinan dalam “Penak Jamanku To”

Kepemimpinan dalam “Penak Jamanku To”
Achmad Herman  ;    Pengajar di FISIP Universitas Tadulako Palu,
Sedang Menempuh S3 Ilmu Sosial di Unair Surabaya
KOMPAS,  21 Desember 2013

  

Pengalaman masyarakat Indonesia dalam melihat pemimpinnya melahirkan romantisisme tersendiri. Dari Soekarno hingga SBY, kepemimpinan mereka menjadi multitafsir dalam perspektif dan deskripsi masyarakat.

Soekarno termasuk yang paling banyak ditiru gaya orasi, cara berpakaian, serta dikenal sebagai Bapak Proklamator. Soeharto yang memerintah selama 32 tahun dikenal sebagai Bapak Pembangunan.

Habibie adalah seorang teknokrat, presiden pada masa transisi dan penuh romantisisme yang terbalut dalam kisah ”Habibie-Ainun”. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dikenal sebagai seorang kiai yang pluralis dan visioner.

Megawati Soekarnoputri, perempuan presiden pertama, berpribadi tenang serta berintuisi tajam. Susilo Bambang Yudhoyono dikenal kesantunannya berbicara, berpenampilan, dan berbusana anggun.

Dari keenam presiden yang pernah memimpin Indonesia, Soeharto adalah pribadi yang menarik diulas. Kepemimpinannya selama 32 tahun telah memengaruhi berbagai sendi-sendi kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama dalam masyarakat Indonesia dari Sabang hingga Merauke.

Soeharto berhasil menata kehidupan berbangsa dan bernegara atas nama ”pembangunan”. Kombinasi represif dan ideologis adalah kunci untuk mengeliminasi potensi-potensi konflik. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme seolah menjadi ”tradisi” yang sulit dihilangkan dan diberantas.

Ketika era Soeharto berakhir Mei 1998, kepemimpinan di Indonesia diuji kembali. Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY berupaya melakukan yang terbaik untuk masyarakat. Huru-hara politik dan konflik sosial adalah ujian bagi kepemimpinan mereka.

Persoalan kebangsaan yang bernama otonomi daerah, separatisme, etnisitas, agama, dan multikulturalisme merupakan bom waktu yang tersebar di titik-titik rawan wilayah Indonesia, seperti Aceh, Jakarta, Poso, Ambon, dan Papua. Fenomena ini telah membuat masyarakat lelah dan jenuh bahkan takut untuk hidup di negaranya sendiri.

Satu dasawarsa lebih sepeninggal Soeharto, hura hara politik, dan konflik sosial malah semakin tinggi eskalasinya. Partai politik dan elite hanya sibuk berkelit dari kasus korupsi dan membangun pencitraan. Wajar jika rakyat berpikir bahwa era reformasi tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik. 

Sebaliknya, atas nama reformasi, semua tatanan menjadi kabur dan amburadul.
Lantas muncul ungkapan yang membangkitkan romantisisme kepemimpinan masa lalu dalam bahasa ”penak zamanku to”. Bahasa sederhana yang mengomparasi masa kini dan masa kepemimpinan Soeharto.

Pencetus ide ungkapan ini mungkin tidak menyangka bahwa akan mendapatkan respons luar biasa dari masyarakat. Mulai dari baju, poster, stiker, dan bentuk suvenir lainnya. Bahkan, orang menyebut kita terkena wabah SARS, bukan penyakit melainkan sindrom akut rindu Soeharto.

Apakah ini fenomena bahwa rakyat rindu dengan kepemimpinan Soeharto? Harus diakui bahwa pada era Orde Baru dalam kacamata Soeharto, problematika huru hara politik dan konflik sosial hampir bisa diredam atas nama ”pembangunan”.

Karyanya dalam meningkatkan pembangunan tecermin dalam konsep trilogi, yaitu stabilitas nasional yang dinamis, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, serta pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.

Konsep ini terbukti ampuh untuk mengatasi berbagai persoalan kebangsaan saat itu. Namun, konsep ini juga meruntuhkan kepemimpinannya tatkala krisis ekonomi melanda Indonesia.

Fondasi ekonomi yang dibangun Soeharto tidak bisa mengatasi krisis. Stabilitas nasional diciptakan bernuansa represif dengan mengatasnamakan separatis dan subversif. Kearifan lokal setempat mengalami ”penyeragaman” hingga ”diskriminasi”. Pemerataan dalam konteks trickle-down effectsangat sentralistik dan daerah yang kaya sumber daya alam tidak pernah merasakan manfaatnya.

Istilah ”penak zamanku to” bukan ingin membangkitkan euforia Soeharto, apalagi kembali ke era tersebut. Ungkapan ini hanya reaksi atas kondisi yang dialami oleh bangsa Indonesia saat ini. Persoalan politik, korupsi, konflik agama, konflik sosial, etnisitas, dan persoalan lainnya semakin marak terjadi di negeri ini.

Dalam hal menjaga keamanan dan ketertiban, polisi dan TNI yang dulunya mesra, sekarang seolah saling unjuk kekuatan. Harmonisasi antarlembaga negara yang terjadi pada era Soeharto kini berubah jadi saling curiga dan pamer kekuasaan. Elite politik yang harusnya jadi contoh, malah saling mencari kelemahan dan sibuk memperbaiki citra partai dan individu. Prinsipnya ”penak zamanku to”.

Kita tidak ingin lagi kembali di era kepemimpinan Soeharto, tetapi ”penak zamanku to” adalah analogi dari kejenuhan masyarakat. Kritik ini sangat berharga bagi setiap anak bangsa yang ingin memimpin negeri ini yang dirundung banyak problematika. Pekerjaan rumah bangsa ini tidak hanya diletakkan pada pundak satu orang, tetapi semua elemen bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar