IBU ialah guru yang pertama dan paling utama bagi anak.
Ungkapan ini tidaklah berlebihan bila melihat peran dan fungsi ibu dalam
rumah tangga terlebih dalam menyiapkan generasi penerus. Siang malam
bahkan dari pagi sampai pagi kembali ibu tidak hanya dihadapkan dengan
urusan privat rumah tangga, seperti terkait dengan suami, anak-anak dan
rumah, tetapi juga dihadapkan dengan urusan publik. Fakta tersebut
menunjukkan betapa peran ibu sangat penting.
Dalam kehidupan
yang kompleks dewasa ini, peran ibu cukup menentukan bagi generasi muda.
Apalagi saat ini kita hidup dalam kehidupan yang kompleks, yang disebut
orang sebagai suatu ‘era dunia tanpa batas’, menyentuh semua dimensi
kehidupan, yang semula hanya berorientasi pada masalah ekonomi, tetapi
ternyata juga terjadi pada aspek kehidupan yang lain, yaitu aspek sosial
dan budaya masyarakat. Manusia secara tidak sadar didorong untuk semakin
memuja materi, konsumerisme, individualistis, dan dalam upaya
mencapainya.
Bergesernya peran
dan fungsi lembaga sosial, lembaga perkawinan, dan peran keluarga sebagai
media membentuk dan mentransfer nilainilai yang paling dasar bagi
generasi yang akan datang digantikan oleh institusi lain, terutama
teknologi dan informasi yang mengatasnamakan modernisasi.
Tidak ada satu
bangsa pun yang dapat menghindarkan diri dari pengaruh globalisasi ini,
selain memutuskan dan memosisikan diri sebagai pemain atau penonton.
Kondisi tersebut
langsung atau tidak sangat berdampak pada kondisi kehidupan kaum ibu.
Faktanya kaum ibu masa kini menghadapi persoalan yang kian kompleks. Mulai
tantangan masalah moral, pornografi, eksploitasi ekonomi, korupsi,
eksploitasi perempuan di media massa, eksploitasi di pariwisata, dunia
hiburan, trafficking, dan lain sebagainya. Di pihak lain,
akibat arus globalisasi yang menggiring masyarakat pada arus informasi,
posisi ibu semakin tertantang, karena ia tidak hanya mampu beradaptasi
dengan perkembangan teknologi, tetapi pada saat yang sama juga harus
selalu berlandaskan pada moralitas.
Dalam konteks
bangsa dan negara, posisi ibu sesungguhnya sangat stra tegis. Karena ia
tidak hanya sebagai mitra suami, pendidik anak, tetapi pada saat yang
sama juga sebagai bagian dari bangsa yang turut serta menentukan arah
masa depan bangsa. Posisi ibu merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari apa pun keadaan kondisi negara ini. Dalam ukuran apa pun, ibu
menjadi bagian dari numerator dan denominator yang menggambarkan
bagaimana keadaan bangsa ini ke depan. Karena jumlah perempuan cukup
besar, adalah wajar jika isu perempuan seharusnya juga menjadi separuh
dari isu kehidupan yang harus mendapat perhatian.
Pengembangan
kepribadian ibu merupakan keharusan. Namun, kepribadian yang seperti apa
yang harus kita tuju. Jika kita berkaca terhadap negara-negara maju,
pengembangan kepribadian manusia yang paling efektif adalah melalui
pendidikan. Memang prosesnya terjadi secara evolutif dan membutuhkan
waktu cukup panjang. Namun, pendidikan merupakan treatment yang
sistematis dan progresnya cukup terukur.
Mengingat posisi
ibu, sangat penting bagi keluarga dan masyarakat, kiranya dapat dilihat
dari berbagai sisi. Seperti dimensi ekonomis. Peran itu menuntut seorang
ibu di samping sebagai manajer dalam rumah tangga, sering pula memain kan
peran ekonomi dalam kerangka memperkuat pilar-pilar kekuatan dalam
kehidupan berkeluarga.
Dimensi budaya, rumah
tangga merupakan unit terkecil dari masyarakat sebagai wadah transformasi
dan internalisasi nilai kepada anggota keluarga. Ibu menjadi model
pewaris nilai-nilai budaya kepada anggota keluarganya.
Selanjutnya,
dimensi spiritual merupakan dimensi yang fundamental dalam kehidupan
manusia. Ibu sebagai guru yang pertama dan utama memiliki peran dalam
memberikan kebiasaan berperilaku yang berada dalam norma-norma agama.
Dengan begitu, anak memiliki pemahaman, penghayatan dan pengamalan
keagamaan yang baik dan konsisten.
Perspektif tafsir keagamaan
Islam adalah agama
ramah bagi ibu dan perempuan. Meski pada praktiknya ibu sering mendapatkan
diskrimi nasi dan tradisi kelam yang kurang menguntungkan, tetapi Islam
tetap pada watak dan tabiatnya seba gai agama yang mengembangkan konsep
kemitrasejajaran. Kedudukan kaum ibu sebagai perempuan sama dengan
kedudukan laki-laki.
Keduanya sama-sama
berpeluang untuk mencapai derajat keimanan dan keislaman yang tertinggi.
Keduanya sama-sama berkesempatan untuk mendapatkan ampunan Allah atas
berbagai kesalahan yang telah mereka lakukan. Mereka juga sama-sama
berkesempatan untuk mendapatkan surga, pahala, dan kenikmatan yang tidak
terputus, yakni jika keduanya samasama beriman, taat dan rajin beribadah,
jujur dalam segala ucapan dan perbuatan, serta mengerjakan amalamal saleh
yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi seluruh larangan yang telah
ditetapkan Allah.
Mahmud Syaltut,
mantan Syeikh al-Azhar dalam bukunya Min Taujihat al-Islam mengatakan
tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Allah
telah menganugerahkan kepa da perempuan sebagaimana menganugerahkan
kepada laki-laki. Yaitu potensi untuk memikul tanggung jawab dan
menjadikan kedua jenis kelamin itu dapat melaksanakan aktivitasnya yang
bersifat umum ataupun khusus.
Karena itu,
hukum-hukum syariatnya meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Sisi
lainnya adalah dimensi pembangunan karakter. Peran ibu menjadi sangat
vital dalam pembentukan karakter anak untuk siap menghadapi dunia di masa
yang akan datang. Pada awalnya anak akan meniru perilaku ibu, karena ia
adalah orang pertama yang dekat dan dikagumi oleh anak.
Terdapat sembilan
pilar kepribadian yang seharusnya dimiliki, yaitu pertama, karakter cinta
Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggung jawab;
ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima,
dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerja sama; keenam,
percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan;
kedelapan, baik dan rendah hati; dan kesembilan, karakter toleransi,
kedamaian, dan kesatuan.
Dimensi lainnya
yang tidak kalah penting adalah dimensi politik.
Posisi kaum ibu tidak lepas dari proses politik. Betapa tidak, ia selain
menjadi pemilih juga berhak dipilih dalam politik. Pada 2014, merupakan
tahun politik. Tantangan politik pada 2014 sangat berat jika dibandingkan
dengan tantangan politik pada 2009.
Tantangan mendasar
di tahun politik ini adalah menurunnya animo masyarakat terhadap partai
politik. Kondisi ini akan memengaruhi partisipasi kaum ibu dalam politik.
Oleh karena itu,
perempuan sebagai bagian dari bangsa penting menyalurkan aspirasi
politiknya. Karena penyaluran aspirasi politik merupakan hak setiap warga
negara.
Meski memiliki
tugas domestik, seorang ibu juga penting memberikan pendidikan politik
bagi anak dan lingkungannya agar anak terutama yang telah memiliki hak
pilih tidak absen dalam pemilu.
Diakui bahwa saat ini politisi dihadapkan
pada prahara, tetapi tentu bukan lembaga politiknya, melainkan sebenarnya
adalah personalnya. Sehingga untuk menyiapkan politisi yang handal,
berkarakter dan berdaya saing tinggi diperlukan pendidikan sejak dini
dimulai dari hal terkecil dalam keluarga.
Misalnya, penumbuhan sikap
kepemimpinan, bersikap adil, demokratis dan jujur. Integritas sangat
penting ditanamkan sejak dini agar anak kelak menjadi
generasi emas yang
tidak hanya cerdas, lincah, tetapi juga berintegritas tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar