Minggu, 22 Desember 2013

Menyiasati Relasi Anak Mami

Menyiasati Relasi Anak Mami
Sawitri Supardi Sadarjoen ;   Penulis Rubrik Konsultasi Psikologi Harian Kompas, Dekan Fakultas Psikologi Universitas YARSI
KOMPAS,  22 Desember 2013

  

Konflik sering tidak bisa dihindari antar-orangtua anak, antar-saudara sekandung, antarpasangan suami-istri, anak-mertua, kerabat, dan antar-dua sahabat. Konflik tak selalu berakibat negatif. Ada konflik yang justru memicu peningkatan kualitas relasi. Melalui konflik, kita bisa lebih saling memahami, yang membuat relasi yang terjalin lebih akrab dan tulus adanya.

Tina (28 tahun), seorang sarjana dari salah satu universitas di kota B, datang berkonsultasi karena merasa migrennya kambuh dan menurunnya gairah dalam berhubungan intim dengan suaminya. Dalam sesi terapi yang pertama, setengah waktunya dihabiskan dengan mengungkap kemarahannya terhadap ibu, justru sedikit sekali waktu yang dihabiskan untuk menerangkan kondisi diri sendiri.

Ia menyampaikan, relasi dengan ibu sejak remaja tidak pernah membaik, bahkan sampai saat ini, kala ia telah berkeluarga dan punya seorang anak berumur 7 bulan. Sebenarnya, setelah menikah 2 tahun lalu, Tina tinggal berlainan kota dengan ibu. Namun, sebagai anak satu-satunya, Tina merasa wajib mengundang ibu untuk berkunjung paling tidak satu tahun sekali.

Biasanya baru sampai di hari ketiga saja ibu menginap di rumah, Tina sudah merasa sakit kepala dan dibuat tidak nyaman oleh berbagai ucapan dan sikap ibu. Seperti misalnya, Tina sebenarnya telah berupaya keras mengubah dekorasi kamar tengah rumahnya, tetapi ibu tidak komentar sekecap pun. 

Kemudian Tono, suami Tina, berinisiatif membawa ibu makan di restoran yang agak mahal, komentar ibu tentang masakan restoran tersebut kurang enak didengar oleh yang mentraktir, kemudian merembet pada harga makanan di restoran tersebut yang terlampau mahal.

Di ujung percakapan muncul pula kritikan ibu tentang cara Tina mengelola uang keluarga, dinilai, Tina boros dan kurang cermat menata keuangan. Tak satu pun upaya Tina dan Tono yang bermaksud menghibur dan menyenangkan hati ibunya mendapat penghargaan, bahkan terima kasih pun tidak. Kebersihan dapur tidak luput dari kritikan ibu. Saat Tina menyatakan bahwa ia hamil 3 bulan, ibu serta-merta mengungkap, ”Wuih, bagaimana kamu mau mengurus anakmu dengan baik kalau sekarang saja kamu tidak bisa membagi waktu untuk membersihkan rumah.”

Tina tidak berani merespons setiap kritikan ibunya, ia terdiam sambil menahan amarah dalam hatinya. Ia merasa nyaman kembali kalau sudah mengungkap kekesalannya kepada psikolog. Ungkapan Tina saat itu biasanya terkesan gembira lega, seolah lepas dari situasi yang mencekam, ”Waduh, akhirnya ibu pamit pulang setelah 7 hari tinggal di rumah saya, sekarang saya bebas di rumah sendiri.”

Analisis interrelasi antara Tina dan ibu

Dengan tetap mempertahankan sikap diam seribu bahasa, tanpa disadarinya Tina sebenarnya mempertahankan sikap kebiasaan negatif yang dimiliki ibunya. Hal ini bisa terjadi karena pada dasarnya tanpa disadari Tina pun mempertahankan posisinya sebagai anak tunggal mami yang bergantung pada ibu setiap waktu hingga usianya yang sudah 28 tahun ini.

Migren saat kunjungan ibunya merupakan pertanda bahwa saat ini ternyata Tina butuh untuk mampu menempatkan posisi yang secara sadar diinginkannya saat ini, yaitu menjadi individu dewasa, mandiri, serta otonom dan bukan anak mami yang selalu menuruti keinginan mami demi rasa aman mami dan Tina sendiri sebagai anak tunggal.

Cara praktis untuk menyiasati situasi relasi mami-anak mami bagi Tina adalah sebagai berikut:

1. Rasa marah terhadap ibu yang selama ini dipendam Tina merupakan pertanda bahwa Tina tidak ingin mempertahankan cara relasi yang lama. Tina ingin bentuk relasi yang baru sebagai individu dewasa, mandiri, dan otonom. Mengungkapkan marah setelah ibu tidak ada di hadapannya bukanlah suatu solusi yang tepat bagi masalah kemarahan terhadap ibu yang tertahan.

2. Untuk itu, Tina harus memastikan dulu di mana posisi yang diinginkan Tina dalam relasi ibu-anak perempuan.
Yaitu, sebagai sosok dewasa yang memiliki otonomi dan dapat berperan sebagai orang dewasa di hadapan ibunya. Artinya, Tina dapat menempatkan dirinya sebagai diri sendiri terutama untuk isu-isu emosional, tetapi bukan untuk menjaga jarak emosional dengan ibu. Di sini Tina seyogianya mampu mengekspresikan perasaan dengan cara yang tepat tanpa mengurangi kasih dan rasa cintanya pada ibu.

3. Bila ibu mulai mengkritik cara Tina mengelola rumahnya, mulailah Tina dengan keterampilan komunikasi yang baru, yaitu rileks, penuh empati, tanpa mengesankan suatu penolakan terhadap ibu dan dengan tenang berkata: ”Ibu, saya ingin sekali mendapatkan diri sebagai individu yang bertanggung jawab terhadap hidup ini. Saya ingin tahu apa yang saya inginkan dan harapkan dalam hidup ini, Bu, baik dalam menata rumah, mengatur keuangan, dan sebagainya. Artinya, saya ingin menentukan cara hidup saya sendiri dengan tetap mampu menjalin relasi kasih dengan ibu ataupun orang lain sebagai diri sendiri tanpa harus selalu bertengkar dengan ibu.

4. Cara komunikasi baru itu, pelan tapi pasti, akan membuat ibu pun akhirnya mengubah posisinya di depan anak perempuannya dengan cara baru, dengan catatan, secara dewasa pula Tina sesekali meminta ibunya menceritakan pengalamannya mengasuh dirinya sebagai anak tunggal yang pasti ”sulit” pada masa yang lalu agar tetap diberi kesempatan berperan sebagai penasihat dalam keluarga.

5. Dengan demikian, pelan tapi pasti pula, melalui iklim interrelasi yang baru dengan ibunya tersebut, kemandirian, kedewasaan, dan otonomi Tina sebagai anak perempuan yang dewasa akan terbentuk sambil ibunya pun tidak merasa ditolak dan tidak diinginkan perannya sebagai penasihat Tina.

Alhasil, migren tidak lagi menyerang Tina dan relasi intim yang dewasa pun tercipta antara Tina dan suaminya, Tono. Bravo.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar