Senin, 09 Desember 2013

Kepastian Makam Tan Malaka

Kepastian Makam Tan Malaka
Asvi Warman Adam  ;   Sejarawan;
Bekerja sebagai Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta
KOMPAS,  09 Desember 2013

  

KEPASTIAN makam Tan Malaka kini tersandera oleh proses penelitian ilmiah. Sampel yang tersisa setelah dilakukan penggalian pada 12 November 2009 di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, tinggal 0,25 gram serpihan gigi dan 1,1 gram serpihan tulang.

Dalam pertemuan Asian Forensic Science Network pada 25-27 Mei 2011 di Seoul, Korea Selatan, kasus ini dibahas. Pihak Korea Selatan bersedia melakukan ekstraksi asam deoksiribonukleat (DNA), tetapi tidak berani menjamin keberhasilannya karena umur sampel sudah 60 tahun.

Dalam pertemuan International Association of Forensic Sciences di Madeira, Portugal, pada 12-17 September 2011 terungkap teknik baru yang efektif dalam memeriksa sampel DNA. Pada Oktober 2011, salah satu anggota Tim Identifikasi DNA Tan Malaka mengikuti pelatihan penggunaan metode baru itu yang menggunakan analisis LCN (low copy number). Jadi, cukup memakai 100-200 miligram tulang atau gigi sebagai sampel.

Di dalam konferensi pers yang diadakan di Jakarta pada 8 Januari 2012, Tim Forensik Tan Malaka menjanjikan akan menyampaikan hasil akhir pada November 2012. Kini setahun telah berlalu, tetapi tidak ada kabar berita.

Jika dilakukan pemeriksaan, kemungkinan kesimpulan ada tiga. Pertama, inkonklusif: tidak ada DNA atau ada DNA, tetapi profil Y-STR tidak ada. Kedua, konklusif: ada DNA, profil Y-STR sesuai (positif) atau tidak cocok (negatif). Ketiga, positif lemah: ada DNA, tetapi profil Y-STR yang keluar hanya sebagian.   

Hasil penemuan

Pada 8 Maret 2010 diumumkan laporan penyelidikan uji DNA kerangka jenazah yang diduga Tan Malaka di Jakarta.

Tim Identifikasi Tan Malaka terdiri dari dua dokter spesialis forensik, Djaja Surya Atmadja dan Evi Untoro, serta dokter gigi Nurtamy Soedarsono (ahli odontologi forensik). Mereka menemukan pada kedalaman 2 meter sebuah kerangka, tanpa rambut, terbaring dalam posisi miring menghadap ke barat, dengan kedua lengan bawah tersilang ke belakang.

Di sekitar leher, tungkai, atau lengan tidak didapatkan tali maupun bahan pengikat lainnya. Kerangka dalam keadaan rapuh, sebagian besar tulang kecil sudah tidak ada lagi, tulang-tulang panjang hanya ada bagian tengahnya saja, rapuh, dan bagian sumsumnya berisi akar dan tanah. 

Sebelumnya dari pihak keluarga diperoleh keterangan bahwa Tan Malaka tidak merokok,  mempunyai gigi geraham yang terbuat dari emas, tetapi tidak  jelas geraham yang mana. Tidak lama sebelum meninggal, ia pernah ditembak di tungkainya (tak jelas apakah tungkai kanan atau kiri) sehingga Tan Malaka agak pincang. Ia juga mengidap penyakit paru-paru menahun, yang ditandai dengan adanya riwayat sesak napas.

Pemeriksaan antropologi forensik menunjukkan kerangka tersebut seorang laki-laki, ras Mongoloid, tinggi badan 163-165 sentimeter, dikubur secara Islam, tanda patah tulang tidak jelas. Pemeriksaan odontologi forensik terhadap rahang dan gigi geligi menunjukkan kerangka adalah seorang laki-laki, ras Mongoloid, usia 40-60 tahun, atrisi berat pada semua permukaan gigi depan, dan ada riwayat pernah sakit gigi.

Pemeriksaan DNA yang dilakukan pada kasus ini adalah pemeriksaan Y-Short Tandem Repeats (Y-STR). Y-STR merupakan DNA inti (c-DNA) yang diturunkan secara total dari seorang pria kepada semua anak laki-lakinya.

Pada kasus ini Y-STR diturunkan oleh ayah Tan Malaka kepada Tan Malaka dan adik laki-lakinya. Adik laki-lakinya kemudian menurunkan DNA yang sama kepada anak laki-lakinya, yaitu Zulfikar, yang sekarang masih hidup. Jika benar kerangka yang diperiksa adalah Tan Malaka, maka profil Y-STR dari kerangka tersebut akan sama persis dengan profil Y-STR dari Zulfikar.

Pemeriksaan terhadap sampel gigi maupun tulang atap tengkorak di laboratorium di dalam negeri tidak berhasil mendapatkan DNA manusia dari sampel-sampel tersebut sehingga tidak berhasil didapatkan profil Y-STR dari kerangka tersebut.

Penyebab terjadinya keadaan ”kerangka tanpa DNA” seperti yang ditemukan pada kasus ini dikenal sebagai kasus bog body, yang dapat terjadi akibat pengaruh lingkungan yang lembab dan basah di sekitar kerangka yang terkubur di daerah aliran sungai.

Perlu diputuskan
Empat tahun telah berlalu setelah dilakukan penggalian makam Tan Malaka di Selopanggung, Kediri. Bangsa Indonesia menunggu kepastian.

Tidak usah lagi Tim Forensik Tan Malaka itu keliling dunia membawa sekian miligram tulang dan gigi Tan Malaka dalam pertemuan ilmiah internasional. Cukup diputuskan apakah penelitian ini berhasil atau gagal atau berhasil sebagian. Namun, apa pun hasilnya sudah bisa ditetapkan bahwa makam Tan Malaka memang di tempat itu.

Menurut Harry A Poeze, sejarawan Belanda yang selama hayatnya didedikasikan untuk meneliti tentang hal-ihwal Tan Malaka, berdasarkan wawancara dan dokumen sejarah, lokasi itu memang benar di sana dengan kualifikasi 90 persen. Jadi, kesimpulan forensik itu dapat diberi nilai 10 persen saja. 

Kunjungan pada seminar ilmiah forensik internasional  tentu atas biaya pribadi tim dokter. Adapun biaya penggalian makam diperoleh dari donatur, yakni Taufiq Kiemas, yang waktu itu belum menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Jelas itu uang pribadi karena diserahkan secara tunai dua kali pembayaran (total Rp 100 juta) di pompa bensin milik Taufiq Kiemas di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Seharusnya negara (dalam hal ini Kementerian Sosial) yang mengurus anggaran kegiatan ini.

Sudah waktunya sisa jenazah Tan Malaka itu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Di lokasi yang lama di Kediri didirikan tugu peringatan bahwa di sana pernah disemayamkan seorang pahlawan nasional.

Pemindahan makam ke Kalibata merupakan semacam pengakuan  bersalah Pemerintah Indonesia yang selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru Soeharto menghilangkan nama Tan Malaka dalam daftar pahlawan yang diajarkan di sekolah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar