KEPASTIAN
makam Tan Malaka kini tersandera oleh proses penelitian ilmiah. Sampel yang
tersisa setelah dilakukan penggalian pada 12 November 2009 di Selopanggung,
Kediri, Jawa Timur, tinggal 0,25 gram serpihan gigi dan 1,1 gram serpihan
tulang.
Dalam
pertemuan Asian Forensic Science Network pada 25-27 Mei 2011 di Seoul,
Korea Selatan, kasus ini dibahas. Pihak Korea Selatan bersedia melakukan
ekstraksi asam deoksiribonukleat (DNA), tetapi tidak berani menjamin
keberhasilannya karena umur sampel sudah 60 tahun.
Dalam
pertemuan International Association of Forensic Sciences di Madeira,
Portugal, pada 12-17 September 2011 terungkap teknik baru yang efektif
dalam memeriksa sampel DNA. Pada Oktober 2011, salah satu anggota Tim
Identifikasi DNA Tan Malaka mengikuti pelatihan penggunaan metode baru itu
yang menggunakan analisis LCN (low copy number). Jadi, cukup memakai
100-200 miligram tulang atau gigi sebagai sampel.
Di
dalam konferensi pers yang diadakan di Jakarta pada 8 Januari 2012, Tim
Forensik Tan Malaka menjanjikan akan menyampaikan hasil akhir pada November
2012. Kini setahun telah berlalu, tetapi tidak ada kabar berita.
Jika
dilakukan pemeriksaan, kemungkinan kesimpulan ada tiga. Pertama,
inkonklusif: tidak ada DNA atau ada DNA, tetapi profil Y-STR tidak ada.
Kedua, konklusif: ada DNA, profil Y-STR sesuai (positif) atau tidak cocok
(negatif). Ketiga, positif lemah: ada DNA, tetapi profil Y-STR yang keluar
hanya sebagian.
Hasil penemuan
Pada
8 Maret 2010 diumumkan laporan penyelidikan uji DNA kerangka jenazah yang diduga
Tan Malaka di Jakarta.
Tim
Identifikasi Tan Malaka terdiri dari dua dokter spesialis forensik, Djaja
Surya Atmadja dan Evi Untoro, serta dokter gigi Nurtamy Soedarsono (ahli
odontologi forensik). Mereka menemukan pada kedalaman 2 meter sebuah kerangka,
tanpa rambut, terbaring dalam posisi miring menghadap ke barat, dengan
kedua lengan bawah tersilang ke belakang.
Di
sekitar leher, tungkai, atau lengan tidak didapatkan tali maupun bahan
pengikat lainnya. Kerangka dalam keadaan rapuh, sebagian besar tulang kecil
sudah tidak ada lagi, tulang-tulang panjang hanya ada bagian tengahnya
saja, rapuh, dan bagian sumsumnya berisi akar dan tanah.
Sebelumnya
dari pihak keluarga diperoleh keterangan bahwa Tan Malaka tidak
merokok, mempunyai gigi geraham yang
terbuat dari emas, tetapi tidak
jelas geraham yang mana. Tidak lama sebelum meninggal, ia pernah
ditembak di tungkainya (tak jelas apakah tungkai kanan atau kiri) sehingga
Tan Malaka agak pincang. Ia juga mengidap penyakit paru-paru menahun, yang
ditandai dengan adanya riwayat sesak napas.
Pemeriksaan
antropologi forensik menunjukkan kerangka tersebut seorang laki-laki, ras
Mongoloid, tinggi badan 163-165 sentimeter, dikubur secara Islam, tanda
patah tulang tidak jelas. Pemeriksaan odontologi forensik terhadap rahang
dan gigi geligi menunjukkan kerangka adalah seorang laki-laki, ras
Mongoloid, usia 40-60 tahun, atrisi berat pada semua permukaan gigi depan,
dan ada riwayat pernah sakit gigi.
Pemeriksaan
DNA yang dilakukan pada kasus ini adalah pemeriksaan Y-Short Tandem Repeats
(Y-STR). Y-STR merupakan DNA inti (c-DNA) yang diturunkan secara total dari
seorang pria kepada semua anak laki-lakinya.
Pada
kasus ini Y-STR diturunkan oleh ayah Tan Malaka kepada Tan Malaka dan adik
laki-lakinya. Adik laki-lakinya kemudian menurunkan DNA yang sama kepada
anak laki-lakinya, yaitu Zulfikar, yang sekarang masih hidup. Jika benar
kerangka yang diperiksa adalah Tan Malaka, maka profil Y-STR dari kerangka
tersebut akan sama persis dengan profil Y-STR dari Zulfikar.
Pemeriksaan
terhadap sampel gigi maupun tulang atap tengkorak di laboratorium di dalam
negeri tidak berhasil mendapatkan DNA manusia dari sampel-sampel tersebut
sehingga tidak berhasil didapatkan profil Y-STR dari kerangka tersebut.
Penyebab
terjadinya keadaan ”kerangka tanpa DNA” seperti yang ditemukan pada kasus
ini dikenal sebagai kasus bog body, yang dapat terjadi akibat pengaruh
lingkungan yang lembab dan basah di sekitar kerangka yang terkubur di
daerah aliran sungai.
Perlu diputuskan
Empat
tahun telah berlalu setelah dilakukan penggalian makam Tan Malaka di
Selopanggung, Kediri. Bangsa Indonesia menunggu kepastian.
Tidak
usah lagi Tim Forensik Tan Malaka itu keliling dunia membawa sekian
miligram tulang dan gigi Tan Malaka dalam pertemuan ilmiah internasional.
Cukup diputuskan apakah penelitian ini berhasil atau gagal atau berhasil
sebagian. Namun, apa pun hasilnya sudah bisa ditetapkan bahwa makam Tan
Malaka memang di tempat itu.
Menurut
Harry A Poeze, sejarawan Belanda yang selama hayatnya didedikasikan untuk
meneliti tentang hal-ihwal Tan Malaka, berdasarkan wawancara dan dokumen
sejarah, lokasi itu memang benar di sana dengan kualifikasi 90 persen.
Jadi, kesimpulan forensik itu dapat diberi nilai 10 persen saja.
Kunjungan
pada seminar ilmiah forensik internasional
tentu atas biaya pribadi tim dokter. Adapun biaya penggalian makam
diperoleh dari donatur, yakni Taufiq Kiemas, yang waktu itu belum menjadi
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Jelas
itu uang pribadi karena diserahkan secara tunai dua kali pembayaran (total
Rp 100 juta) di pompa bensin milik Taufiq Kiemas di daerah Tebet, Jakarta
Selatan. Seharusnya negara (dalam hal ini Kementerian Sosial) yang mengurus
anggaran kegiatan ini.
Sudah
waktunya sisa jenazah Tan Malaka itu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta. Di lokasi yang lama di Kediri didirikan tugu peringatan
bahwa di sana pernah disemayamkan seorang pahlawan nasional.
Pemindahan
makam ke Kalibata merupakan semacam pengakuan bersalah Pemerintah Indonesia yang selama
30 tahun pemerintahan Orde Baru Soeharto menghilangkan nama Tan Malaka
dalam daftar pahlawan yang diajarkan di sekolah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar