Sabtu, 21 Desember 2013

Kendaraan Sah Menuju Kekuasaan

Kendaraan Sah Menuju Kekuasaan
Toeti Prahas Adhitama  ;    Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA,  20 Desember 2013
  


KURANG dari empat bulan menuju pemilu legislatif, disusul pemilu presiden (pilpres) tiga bulan kemudian, masih ada sisa-sisa sinisme masyarakat terhadap partaipartai politik (parpol) sekalipun parpol menjadi kendaraan sah menuju kekuasaan. Dalam konteks itu, sekitar satu tahun lalu kolom ini menyampaikan saran; yang terpenting para konstituen perlu meneliti bagaimana integritas moral parpol untuk menentukan bisa dipercaya atau tidak. Tugas itu tidak sederhana mengingat makin canggihnya kampanye politik.

Mengapa parpol diperlukan? Bisa dijawab dengan pertanyaan balik; apakah bisa dibayangkan apa jadinya bila tidak ada parpol? Bagaimana proses demokrasi akan dijalankan? Pada awalnya parpol, selain media, dibutuhkan masyarakat guna mengimbangi kekuasaan negara demi demokrasi. Bahwa kemudian timbul masalah dengan partai-partai politik, yang salah bukan sistemnya, melainkan pengelolaannya. Faktanya, walaupun asas demokrasi sama di mana-mana, tetapi permasalahannya berbedabeda sesuai dengan kemajuan dan karakter tiap bangsa. Itu bisa diperhatikan dari kiprah partai-partai politik di berbagai negara. Situasi di negaranegara yang sudah matang berdemokrasi tentu beda dari situasi di negara-negara yang sedang dalam proses belajar berdemokrasi, seperti Indonesia.

Tumbuh dan kembangnya parpol
Wapres Mohammad Hatta pada 3 November 1945 menganjurkan pembentukan partaipartai politik lewat Maklumat X. Disebutkan di sana bahwa pemilihan anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan Januari 1946. Akan tetapi, karena waktu itu Republik Indonesia belum siap dengan penyusunan perangkat UU Pemilu, pemilu pertama ternyata baru terselenggara hampir satu dasawarsa kemudian, 1955. Untuk anggota DPR RI, tercatat parpol peserta sebanyak 28. Lebih lima dasawarsa kemudian, 2009, pemilu mencatat ada 44 parpol peserta. Untuk Pemilu 2014 hanya 11 parpol yang dinyatakan lolos sebagai peserta.

Bila kita telusuri sepak terjang partai-partai politik di Indonesia, pada awalnya persaingan antarpartai yang sarat idealisme terfokus pada pertarungan aliran-aliran politik yang ada waktu itu, yang merefleksikan pertarungan politik antaraliran di dunia. Itu sesuai dengan spirit negara-negara yang baru tumbuh sebagai nation seputar Perang Dunia II. Mereka mencari-cari ‘isme’ mana yang paling sesuai dan tepat bagi rakyatnya.

Di masa yang oleh sejarah disebut Orde Lama itu, pada awalnya masyarakat menyaksikan kejayaan parpol melalui sistem parlementer. Pemilu 1955, yang diikuti 28 partai, mencatat munculnya empat parpol besar, yaitu Masyumi, PNI, NU, dan PKI. Dalam kehidupan bernegara, sistem banyak partai ternyata tidak berjalan baik karena justru membuat kabinet jatuh-bangun. Pembangunan negara terganggu. Demokrasi parlementer digantikan dengan demokrasi terpimpin lewat Dekrit 5 Juli 1959, yang mengakibatkan berkurangnya peran parpol. Sebaliknya, peran presiden menjadi sangat kuat. Parpol dikuasai kekuatan nasional, agama, dan komunis, yang lebih dikenal dengan istilah Nasakom, diwakili PNI, NU, dan PKI. Setelah gerakan yang disebut G-30-S/PKI, September 1965, Indonesia memasuki masa yang disebut Orde Baru.

Di masa tersebut partaipartai politik bergerak lebih leluasa. Salah satu kekuatan politik terbesar adalah Golongan Karya (Golkar) yang memenangi Pemilu 1971. Namun dua tahun kemudian (1973), terjadi lagi penyederhanaan partai lewat fusi-fusi antarpartai yang akhirnya mengerucut menjadi tiga kekuatan besar, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Parpol masa reformasi

Setelah pemerintahan Orde Baru tumbang (1998), sistem multipartai kembali terjadi. Sesuai dengan zaman, terjadi semacam metamorfosis pada partai-partai politik. Politik aliran tergusur oleh politik pragmatis sehingga dalam gerakan politik timbul kesan pseudo nasionalis atau agamais.

Sikap dan perilaku banyak tokoh politikus sepertinya mengabaikan pendapat konstituen. Korupsi bahkan merebak di kalangan sebagian politikus, yang menunjukkan kepentingan pribadi dan kelompok lebih menonjol daripada kepentingan rakyat. Ideologi dan platform partai kurang dimengerti rakyat.

Idealnya, para konstituen mendapat gambaran tentang rincian rencana partai dalam bidang-bidang yang terutama menyangkut kepentingan mereka, seperti lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, dan pangan. Konstituen ingin bisa membayangkan bagaimana masa depan mereka seandainya partai ini atau partai itu yang menang. Siapa-siapa yang mereka usung sebagai pimpinan? 
Bagaimana karakter jajaran pimpinannya? Para konstituen berharap banyak.

Bagi yang aktif mengikuti atau langsung berkecimpung dalam kegiatan partai, permasalahannya tidak segampang yang dicelotehkan. Parpol wajib menyeleksi dengan teliti kader-kader yang mampu mengusung spirit dan menggerakkan partai, dari mana mencari sumber dana, platform seperti apa yang memenuhi kebutuhan rakyat dan mampu mereka jalankan, serta bagaimana visi dan misi partai dalam menghadapi berbagai masalah bangsa dan cara-cara mengatasinya. Yang juga amat penting, bagaimana integritas moral para kader yang menjadi landasan bagi suatu lembaga politik untuk bisa dipercaya para konstituen.

Mereka pun tentunya berusaha jangan lagi ada dinasti politik yang dibangun keluarga untuk melestarikan kekuasaan. Kecermatan dan kehati-hatian diperlukan untuk memilih pemimpin-pemimpin masa depan. Tokoh-tokoh macam apa yang pas mengena di hati rakyat? Tangan parpol tetap akan menentukan hasil Pemilu 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar