KURANG dari empat bulan menuju
pemilu legislatif, disusul pemilu presiden (pilpres) tiga bulan kemudian,
masih ada sisa-sisa sinisme masyarakat terhadap partaipartai politik
(parpol) sekalipun parpol menjadi kendaraan sah menuju kekuasaan. Dalam
konteks itu, sekitar satu tahun lalu kolom ini menyampaikan saran; yang
terpenting para konstituen perlu meneliti bagaimana integritas moral
parpol untuk menentukan bisa dipercaya atau tidak. Tugas itu tidak sederhana
mengingat makin canggihnya kampanye politik.
Mengapa parpol diperlukan? Bisa dijawab dengan
pertanyaan balik; apakah bisa dibayangkan apa jadinya bila tidak ada
parpol? Bagaimana proses demokrasi akan dijalankan? Pada awalnya parpol,
selain media, dibutuhkan masyarakat guna mengimbangi kekuasaan negara
demi demokrasi. Bahwa kemudian timbul masalah dengan partai-partai
politik, yang salah bukan sistemnya, melainkan pengelolaannya. Faktanya,
walaupun asas demokrasi sama di mana-mana, tetapi permasalahannya
berbedabeda sesuai dengan kemajuan dan karakter tiap bangsa. Itu bisa
diperhatikan dari kiprah partai-partai politik di berbagai negara.
Situasi di negaranegara yang sudah matang berdemokrasi tentu beda dari
situasi di negara-negara yang sedang dalam proses belajar berdemokrasi,
seperti Indonesia.
Tumbuh dan kembangnya parpol
Wapres Mohammad Hatta pada 3 November 1945
menganjurkan pembentukan partaipartai politik lewat Maklumat X.
Disebutkan di sana bahwa pemilihan anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan
Januari 1946. Akan tetapi, karena waktu itu Republik Indonesia belum siap
dengan penyusunan perangkat UU Pemilu, pemilu pertama ternyata baru
terselenggara hampir satu dasawarsa kemudian, 1955. Untuk anggota DPR RI,
tercatat parpol peserta sebanyak 28. Lebih lima dasawarsa kemudian, 2009,
pemilu mencatat ada 44 parpol peserta. Untuk Pemilu 2014 hanya 11 parpol
yang dinyatakan lolos sebagai peserta.
Bila kita telusuri sepak terjang partai-partai politik
di Indonesia, pada awalnya persaingan antarpartai yang sarat idealisme
terfokus pada pertarungan aliran-aliran politik yang ada waktu itu, yang
merefleksikan pertarungan politik antaraliran di dunia. Itu sesuai dengan
spirit negara-negara yang baru tumbuh sebagai nation seputar Perang Dunia
II. Mereka mencari-cari ‘isme’ mana yang paling sesuai dan tepat bagi
rakyatnya.
Di masa yang oleh sejarah disebut Orde Lama itu, pada
awalnya masyarakat menyaksikan kejayaan parpol melalui sistem
parlementer. Pemilu 1955, yang diikuti 28 partai, mencatat munculnya empat
parpol besar, yaitu Masyumi, PNI, NU, dan PKI. Dalam kehidupan bernegara,
sistem banyak partai ternyata tidak berjalan baik karena justru membuat
kabinet jatuh-bangun. Pembangunan negara terganggu. Demokrasi parlementer
digantikan dengan demokrasi terpimpin lewat Dekrit 5 Juli 1959, yang
mengakibatkan berkurangnya peran parpol. Sebaliknya, peran presiden
menjadi sangat kuat. Parpol dikuasai kekuatan nasional, agama, dan
komunis, yang lebih dikenal dengan istilah Nasakom, diwakili PNI, NU, dan
PKI. Setelah gerakan yang disebut G-30-S/PKI, September 1965, Indonesia
memasuki masa yang disebut Orde Baru.
Di masa tersebut partaipartai politik bergerak lebih
leluasa. Salah satu kekuatan politik terbesar adalah Golongan Karya
(Golkar) yang memenangi Pemilu 1971. Namun dua tahun kemudian (1973),
terjadi lagi penyederhanaan partai lewat fusi-fusi antarpartai yang
akhirnya mengerucut menjadi tiga kekuatan besar, yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Parpol masa reformasi
Setelah
pemerintahan Orde Baru tumbang (1998), sistem multipartai kembali
terjadi. Sesuai dengan zaman, terjadi semacam metamorfosis pada partai-partai
politik. Politik aliran tergusur oleh politik pragmatis sehingga dalam gerakan politik
timbul kesan pseudo nasionalis atau agamais.
Sikap dan perilaku banyak tokoh politikus sepertinya
mengabaikan pendapat konstituen. Korupsi bahkan merebak di kalangan
sebagian politikus, yang menunjukkan kepentingan pribadi dan kelompok
lebih menonjol daripada kepentingan rakyat. Ideologi dan platform partai
kurang dimengerti rakyat.
Idealnya, para konstituen mendapat gambaran tentang
rincian rencana partai dalam bidang-bidang yang terutama menyangkut kepentingan
mereka, seperti lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, dan pangan.
Konstituen ingin bisa membayangkan bagaimana masa depan mereka seandainya
partai ini atau partai itu yang menang. Siapa-siapa yang mereka usung
sebagai pimpinan?
Bagaimana karakter jajaran pimpinannya? Para konstituen
berharap banyak.
Bagi yang aktif mengikuti atau langsung berkecimpung
dalam kegiatan partai, permasalahannya tidak segampang yang dicelotehkan.
Parpol wajib menyeleksi dengan teliti kader-kader yang mampu mengusung
spirit dan menggerakkan partai, dari mana mencari sumber dana, platform
seperti apa yang memenuhi kebutuhan rakyat dan mampu mereka jalankan,
serta bagaimana visi dan misi partai dalam menghadapi berbagai masalah
bangsa dan cara-cara mengatasinya. Yang juga amat penting, bagaimana
integritas moral para kader yang menjadi landasan bagi suatu lembaga
politik untuk bisa dipercaya para konstituen.
Mereka pun tentunya berusaha
jangan lagi ada dinasti politik yang dibangun keluarga untuk melestarikan
kekuasaan. Kecermatan dan kehati-hatian diperlukan untuk memilih
pemimpin-pemimpin masa depan. Tokoh-tokoh macam apa yang pas mengena di
hati rakyat? Tangan parpol tetap akan menentukan hasil Pemilu 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar