Sabtu, 21 Desember 2013

Perubahan Iklim dan Kemiskinan

Perubahan Iklim dan Kemiskinan
Ivan Hadar  ;    Direktur Eksekutif IDE (Institute for Democracy Education);
Ketua Dewan Pengurus IGJ (Indonesia for Global Justice)
KOMPAS,  20 Desember 2013


  
KORBAN jiwa topan Haiyan berkecepatan 300 kilometer per jam yang meluluhlantakkan kota-kota dan desa-desa di Filipina melebihi 10.000 orang. Ini adalah bencana alam terburuk yang pernah terjadi di Filipina. Menurut Laporan Iklim Dunia, kecepatan angin dan curah hujan pada siklon tropis akan terus meningkat akibat pemanasan bumi yang memicu perubahan iklim.

Setidaknya ada lima sektor penting yang terkena dampak perubahan iklim dan berpengaruh buruk pada pembangunan manusia (UNDP, 2008).
Pertama, produksi pertanian dan ketahanan pangan. Perubahan iklim memengaruhi curah hujan, suhu udara, dan ketersediaan air bagi pertanian. Kedua, kebanjiran dan kekurangan air. Ketiga, meningkatnya permukaan laut. Peningkatan suhu udara 3-4 derajat celsius, menyebabkan banjir dan rob sehingga 330 juta penduduk dunia menjadi pengungsi, masing-masing lebih dari 70 juta di Banglades, 6 juta di dataran rendah Mesir, 22 juta di Vietnam dan jutaan di Pantura Jawa.

Keempat, gonjang-ganjing sistem ekologi dan punahnya keragaman hayati. Perubahan iklim telah pula mengubah sistem ekologi. Separuh sistem terumbu karang dunia yang juga menjadi salah satu kekayaan Indonesia, misalnya, rusak (bleaching) akibat pemanasan laut.

Kelima, ancaman bagi kesehatan manusia. Sekitar 220-400 juta jiwa di negara miskin diperkirakan akan tertular malaria. Begitu pula demam berdarah diperkirakan akan semakin buruk.

Sebenarnya, secara jangka panjang, penggunaan teknologi nonfosil seperti tenaga surya, biogas dan panas bumi akan menjadi penyumbang terbesar kelestarian alam.

Meskipun demikian, sulit dipastikan, apakah krisis iklim bisa diatasi hanya dengan kemajuan teknologi.

Reduksi CO2 secara radikal, misalnya, mensyaratkan ”perubahan pola hidup konsumtif secara radikal,” ungkap Sandra Postel dari yayasan World Watch. Tanpa itu, akan selalu ada benturan antara kepentingan ekonomi dan upaya melestarikan alam.

Peran Indonesia

Sebagai penghasil karbon dioksida terbesar ketiga dunia, Indonesia seharusnya telah mengidentifikasi sektor-sektor yang berperan dalam penurunan emisi dan mekanisme pembangunan bersih.

Sebagai negara kepulauan dengan 65 persen penduduk tinggal di pesisir, pemanasan global yang berdampak pada kenaikan permukaan laut harus dilihat sebagai ancaman serius.

Sementara itu, sebagai negara agraris, produktivitas pertanian negeri ini pun terancam gangguan tak kalah serius akibat dampak perubahan iklim (Gayatri et.al. 2012).

Periode 2000-2005, Indonesia menjadi juara dunia perusak hutan karena dalam kurun waktu tersebut hutan kita yang rusak mencapai 1,87 juta hektar per tahun. Bencana lingkungan pun merebak di mana-mana. Salah satu perusak hutan dan lingkungan hidup adalah sektor pertambangan.

Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam, 2006), kontribusi sektor tambang terhadap APBN relatif kecil, lebih kecil dibandingkan dengan sektor kehutanan. Nilai tambahnya juga rendah karena bahan tambang diekspor sebagai bahan mentah, ditambah rendahnya penyerapan tenaga kerja massal di tingkat lokal.
Contoh paling kasat mata adalah PT Freeport, korporasi tambang skala besar pertama di Indonesia yang telah beroperasi selama hampir 40 tahun di Papua.

Hingga kini, setidaknya 1.448 ton emas, belum lagi tembaga dan perak telah dikeruk. Menurut Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, keuntungan salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia ini dari hasil tambangnya di Papua mencapai Rp 4.000 triliun dihitung dari laporan cadangan mineral 2010 (Tambang.co.id, 18/11/2011).

Ironisnya, meskipun produk domestik bruto (PDB) Papua menduduki peringkat ketiga, nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah, yang mencerminkan rendahnya rata-rata lama sekolah, buruknya kesehatan seperti tingginya angka kematian ibu melahirkan, bayi dan anak balita, serta penghasilan masyarakat.
IPM Provinsi Papua menempati urutan buncit, sedangkan Provinsi Papua Barat pada urutan ke-29 dari 33 provinsi Indonesia.

Papua juga memiliki persentase penduduk miskin terbesar di Indonesia, di atas 25 persen.

Kemiskinan

Kemiskinan dan kerusakan lingkungan memiliki hubungan kausalitas. Indonesia sebenarnya memiliki strategi pembangunan berbasis pro-poor, pro-job, dan pro-growth, yang dilengkapi denganpro-environment sehingga bisa dipandang sebagai implementasi komprehensif dari Tujuan Pembangunan Milenium (MDG).
Namun, statistik kemiskinan bisa menjadi dasar evaluasi, sejauh mana kinerja strategi tersebut. Saat ini, persentase kemiskinan 11,4 persen, masih jauh dari target MDG sebesar 7,5 persen untuk Indonesia.

Bagi Amartya Sen, seseorang disebut miskin karena tidak memiliki akses untuk memenuhi kebutuhannya. Akses yang menjadi hak setiap orang itu ditentukan oleh nilai diri yang dimiliki.

Bagi kebanyakan orang, nilai yang dimiliki sebatas tenaga kerja. Karena itu, kemiskinan tidak bisa diatasi dengan sekadar memperbesar produksi. Orang miskin harus mempunyai pekerjaan.

Pelestarian lingkungan secara partisipatif, dalam arti yang luas, ikut memperluas lapangan pekerjaan.

Pemerintah yang mewakili negara terkait konstitusi, memiliki kewajiban, misalnya memberikan pengakuan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan dan tambang dengan kearifan lokal, membantu nelayan dan petani dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sambil mengembangkan pendidikan, kesehatan, dan penghasilan.

Jeffrey Sachs dalam bukunya The End of Poverty (2006) menyimpulkan ”sementara investasi pada kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur mungkin dapat mengatasi perangkap kemiskinan yang sudah ekstrem kondisinya, degradasi lingkungan pada skala lokal, regional, dan global dapat meniadakan manfaat investasi”.

Dengan kata lain, ada banyak variabel penting yang ikut menentukan kesejahteraan dan kemiskinan, tetapi lingkungan alam bisa dipandang sebagai salah satu yang terpenting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar