KORBAN jiwa topan Haiyan
berkecepatan 300 kilometer per jam yang meluluhlantakkan kota-kota dan
desa-desa di Filipina melebihi 10.000 orang. Ini adalah bencana alam
terburuk yang pernah terjadi di Filipina. Menurut Laporan Iklim Dunia,
kecepatan angin dan curah hujan pada siklon tropis akan terus meningkat
akibat pemanasan bumi yang memicu perubahan iklim.
Setidaknya ada lima sektor
penting yang terkena dampak perubahan iklim dan berpengaruh buruk pada
pembangunan manusia (UNDP, 2008).
Pertama, produksi pertanian
dan ketahanan pangan. Perubahan iklim memengaruhi curah hujan, suhu
udara, dan ketersediaan air bagi pertanian. Kedua, kebanjiran dan
kekurangan air. Ketiga, meningkatnya permukaan
laut. Peningkatan suhu udara 3-4 derajat celsius, menyebabkan banjir dan
rob sehingga 330 juta penduduk dunia menjadi pengungsi, masing-masing
lebih dari 70 juta di Banglades, 6 juta di dataran rendah Mesir, 22 juta
di Vietnam dan jutaan di Pantura Jawa.
Keempat, gonjang-ganjing
sistem ekologi dan punahnya keragaman hayati. Perubahan iklim telah pula
mengubah sistem ekologi. Separuh sistem terumbu karang dunia yang juga
menjadi salah satu kekayaan Indonesia, misalnya, rusak (bleaching) akibat pemanasan laut.
Kelima, ancaman bagi kesehatan
manusia. Sekitar 220-400 juta jiwa di negara miskin diperkirakan akan
tertular malaria. Begitu pula demam berdarah diperkirakan akan semakin
buruk.
Sebenarnya, secara jangka
panjang, penggunaan teknologi nonfosil seperti tenaga surya, biogas dan
panas bumi akan menjadi penyumbang terbesar kelestarian alam.
Meskipun demikian, sulit
dipastikan, apakah krisis iklim bisa diatasi hanya dengan kemajuan
teknologi.
Reduksi CO2 secara
radikal, misalnya, mensyaratkan ”perubahan pola hidup konsumtif secara
radikal,” ungkap Sandra Postel dari yayasan World Watch. Tanpa itu, akan
selalu ada benturan antara kepentingan ekonomi dan upaya melestarikan
alam.
Peran Indonesia
Sebagai penghasil karbon
dioksida terbesar ketiga dunia, Indonesia seharusnya telah
mengidentifikasi sektor-sektor yang berperan dalam penurunan emisi dan
mekanisme pembangunan bersih.
Sebagai negara kepulauan
dengan 65 persen penduduk tinggal di pesisir, pemanasan global yang
berdampak pada kenaikan permukaan laut harus dilihat sebagai ancaman
serius.
Sementara itu, sebagai negara
agraris, produktivitas pertanian negeri ini pun terancam gangguan tak
kalah serius akibat dampak perubahan iklim (Gayatri et.al. 2012).
Periode 2000-2005, Indonesia
menjadi juara dunia perusak hutan karena dalam kurun waktu tersebut hutan
kita yang rusak mencapai 1,87 juta hektar per tahun. Bencana lingkungan
pun merebak di mana-mana. Salah satu perusak hutan dan lingkungan hidup
adalah sektor pertambangan.
Menurut Jaringan Advokasi
Tambang (Jatam, 2006), kontribusi sektor tambang terhadap APBN relatif kecil,
lebih kecil dibandingkan dengan sektor kehutanan. Nilai tambahnya juga
rendah karena bahan tambang diekspor sebagai bahan mentah, ditambah
rendahnya penyerapan tenaga kerja massal di tingkat lokal.
Contoh paling kasat mata
adalah PT Freeport, korporasi tambang skala besar pertama di Indonesia
yang telah beroperasi selama hampir 40 tahun di Papua.
Hingga kini, setidaknya 1.448
ton emas, belum lagi tembaga dan perak telah dikeruk. Menurut Direktur
Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, keuntungan salah
satu perusahaan tambang terbesar di dunia ini dari hasil tambangnya di
Papua mencapai Rp 4.000 triliun dihitung dari laporan cadangan mineral
2010 (Tambang.co.id, 18/11/2011).
Ironisnya, meskipun produk
domestik bruto (PDB) Papua menduduki peringkat ketiga, nilai Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) terendah, yang mencerminkan rendahnya rata-rata
lama sekolah, buruknya kesehatan seperti tingginya angka kematian ibu
melahirkan, bayi dan anak balita, serta penghasilan masyarakat.
IPM Provinsi Papua menempati
urutan buncit, sedangkan Provinsi Papua Barat pada urutan ke-29 dari 33
provinsi Indonesia.
Papua juga memiliki persentase
penduduk miskin terbesar di Indonesia, di atas 25 persen.
Kemiskinan
Kemiskinan dan kerusakan
lingkungan memiliki hubungan kausalitas. Indonesia sebenarnya memiliki
strategi pembangunan berbasis pro-poor,
pro-job, dan pro-growth, yang dilengkapi
denganpro-environment sehingga bisa dipandang sebagai implementasi
komprehensif dari Tujuan Pembangunan Milenium (MDG).
Namun, statistik kemiskinan
bisa menjadi dasar evaluasi, sejauh mana kinerja strategi tersebut. Saat
ini, persentase kemiskinan 11,4 persen, masih jauh dari target MDG
sebesar 7,5 persen untuk Indonesia.
Bagi Amartya Sen, seseorang
disebut miskin karena tidak memiliki akses untuk memenuhi kebutuhannya.
Akses yang menjadi hak setiap orang itu ditentukan oleh nilai diri yang
dimiliki.
Bagi kebanyakan orang, nilai
yang dimiliki sebatas tenaga kerja. Karena itu, kemiskinan tidak bisa
diatasi dengan sekadar memperbesar produksi. Orang miskin harus mempunyai
pekerjaan.
Pelestarian lingkungan secara
partisipatif, dalam arti yang luas, ikut memperluas lapangan pekerjaan.
Pemerintah yang mewakili
negara terkait konstitusi, memiliki kewajiban, misalnya memberikan
pengakuan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan dan tambang
dengan kearifan lokal, membantu nelayan dan petani dalam upaya adaptasi
dan mitigasi perubahan iklim sambil mengembangkan pendidikan, kesehatan,
dan penghasilan.
Jeffrey Sachs dalam
bukunya The End of Poverty (2006)
menyimpulkan ”sementara investasi
pada kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur mungkin dapat mengatasi
perangkap kemiskinan yang sudah ekstrem kondisinya, degradasi lingkungan
pada skala lokal, regional, dan global dapat meniadakan manfaat investasi”.
Dengan kata lain, ada banyak
variabel penting yang ikut menentukan kesejahteraan dan kemiskinan,
tetapi lingkungan alam bisa dipandang sebagai salah satu yang terpenting.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar