ATAS
nama peningkatan produktivitas, desa akan menerima gelontoran dana APBN.
Itulah salah satu isi A Undang-Undang (UU) Desa yang telah disahkan di
Rapat Paripurna DPR pada 18 Desember 2013. Dengan pengesahan itu, setiap
desa akan mendapat dana dari alokasi APBN yang bersumber dari belanja
pusat dengan mengefektifkan program berbasis desa. Mekanisme pengajuan
dana dilakukan melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang anggotanya
merupakan wakil penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan
ditetapkan secara demokratis.
Walaupun diliputi kekhawatiran
terjadinya penyeleweng an, sejumlah pihak mengang gap perubahan tersebut
telah memunculkan harapan akan adanya bukti konkret ke berpihakan negara
kepada desa.
Dengan besaran anggaran yang
diusulkan melalui rapat paripurna tambahan 10% dari dana transfer daerah,
jika dana transfer daerah dari APBN Rp528 triliun, alokasi anggaran untuk
desa Rp52 triliun. Menariknya juga dana itu diusulkan tidak mengurangi
Rp528 triliun dana transfer daerah itu.
Jumlah desa di Indonesia saat
ini mencapai 72.944. Andai saja usulan PDIP yang dipakai, hitungan dana
alokasi desa dari APBN 2014 akan berjumlah Rp54 triliun sehingga setiap
desa akan mendapat rata-rata Rp750 juta yang disesuaikan dengan skala dan
jumlah penduduk miskin. Bahkan dalam hitungan Pansus UU Desa, dana itu
mencapai Rp850 juta. Sungguh sebuah perubahan besaran yang ke depan akan
berdampak besar pada berubahnya posisi desa di mata negara.
Posisi desa
Desa merupakan ujung tom bak
pelaksanaan kebijakan pemerintah kepada masyarakat. Sebagai representasi
kehadiran negara, desa adalah garda terdepan yang berhubungan langsung
dengan rakyat. Posisi ini menyebabkan desa berikut aparaturnya paling
dekat dengan masyarakat ketimbang aparatur lain yang sekaligus memiliki
tantangan tersendiri. Akibat perkembangan tuntutan zaman, desa mengalami
perubahan posisi.
Desa diperlakukan tidak lagi seperti dulu. Karenanya, desa juga memiliki
kepentingan yang juga berubah, termasuk anggarannya.
Sebagaimana diketahui, desa
sebagai basis kehidupan masyarakat akar rumput mempunyai dua wilayah
berbeda, tetapi saling berkaitan. Dua wilayah itu merupakan titik masuk
krusial pembaruan desa yang saat ini paralel dengan agenda besar
reformasi politik ataupun pembaruan pemerintahan (governance reform) (Eko:
2003).
Pertama, wilayah internal desa
(demokrasi desa). Secara politik wilayah ini menunjuk pada relasi antara
pemerintah desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), institusi lokal, dan warga
masyarakat. Desa dalam pandangan ini sering disebut miniatur negara.
Sebagai miniatur negara Indonesia, desa menjadi bagian dari birokrasi
negara yang mempunyai segudang tugas kenegaraan: menjalankan
birokratisasi di level desa, melaksanakan program-program pembangunan,
memberikan pelayanan administratif, serta melakukan kontrol dan
mobilisasi warga desa. Sungguh tugas kades begitu komplet dan tidak
ringan.
Kedua, wilayah eksternal desa
(otonomi desa). Wilayah ini mencakup hubungan antara desa dan pemerintah
supradesa (pusat, provinsi, kabupaten, dan kecamatan) dalam konteks
formasi negara yang hierarkissentralistis.
Pemerintah desa sebenarnya
merupakan wujud self-governing community yang dibentuk secara mandiri
oleh masyarakat. Bahkan desa punya `otonomi asli' karena usianya jauh
lebih tua ketimbang negara atau kabupaten. Namun, kehidupan desa tidaklah
tunggal dan homogen karena masuknya negara dan modal ke desa.
Realitas tentang desa yang
diungkapkan tadi sedikit banyak memengaruhi peran, posisi, dan nasib
desa. Ada sejumlah hal yang melatarbelakangi desa layak mendapat
peningkatan dana. Pertama, terjadi kesenjangan yang menimpa desa.
Tuntutan terhadap peran dan posisi desa sudah dalam konteks otonomi desa,
sedangkan nasib berupa pengakuan dan penghargaan masih dalam tataran
demokrasi desa. Jaminan hidup berupa biaya pembangunan, insentif, atau
penghasilan perangkat desa jauh dari kata layak.
Kedua, dalam hal hierarki,
desa lebih berorientasi ke atas. Selama Orde Baru desa lebih memosisikan
diri sebagai klien negara (Antlov: 2003). Manakala kebijakan otonomi
daerah telah memberi angin segar bagi klien-klien negara di tingkat
kabupaten dan provinsi, mengapa tingkat desa tidak? Padahal anggaran
program-program, penghasilan dari tanah bengkok, dan dana insentif
belumlah dianggap memadai dengan peran dan kiprah yang harus mereka
jalani.
Reorientasi otonomi
Ada sejumlah hal yang patut
dipikirkan agar menjadi pertimbangan terkait dengan pemberian anggaran
desa yang lebih baik. Tujuannya tentu saja persoalan yang menimpa desa
bisa teratasi. Kejadian masa lalu yang kelabu tidak berlarutlarut dan
terulang serta mencegah penyelewengan.
Pertama, reorientasi kebijakan
desentralisasi desa patut dilakukan. Otonomi desa tidak dapat serta-merta
disamaratakan dengan kebijakan otonomi daerah lainnya. Karena berbeda,
perlakuannya juga berbeda. Itulah yang memunculkan pertanyaan layakkah
desa sebagaimana daerah otonom lainnya. Jika jawabannya layak, patut
dipikirkan desa untuk berposisi sebagaimana layaknya daerah otonom
lainnya. Baik anggaran, penghargaan, maupun perlakuannya seperti daerah
tingkat lainnya.
Namun jika tidak, desa patut dikembalikan pada habitatnya agar bertahan
hidup sebagaimana sebelum ada negara.
Kedua, menempatkan desa pada
posisi yang lebih adil.Tuntutan hierarki sebagai level terbawah akan menuai tuntutan manakala
beban yang diberikan kepada desa tidak sesuai dengan pemberian dana
anggaran dan imbalan yang diberikan. Apalagi di level lain mendapatkan
perlakuan yang berbeda. Di sini peran supervisi kecamatan dan kabupaten,
kemungkinan penyalahgunaan dana masih berbicara.
Ketiga, transformasi dari
dalam. Adanya upaya defeodalisasi berupa kesadaran individu dari homo hierarchicus yang menempatkan
individu dalam konteks patron dan klien menjadi homo aequalis yang melihat antarindividu sebagai sesama. Baik
di tataran elite desa maupun pada rakyat jelata, dibangun kesadaran
pentingnya kebersamaan. Posisi di antara sesama ialah sederajat dan
saling menghormati, terutama dalam transparansi penggunaan dana desa.
Dari sini siapa pun yang menjabat pimpinan di desa juga sudah memiliki
sifat
yang sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan masyarakat desa.
Pengelolaan negara ini ternyata
membutuhkan pemikiran yang komprehensif, utuh, dan menyeluruh. Pemikiran
yang bijak dan seadil-adilnya patut menjadi landasan yang paling utama.
Perlakuan yang berbeda terhadap satu bagian dari keseluruhan pemerintahan
akan menyebabkan munculnya tuntutan perlakuan yang sama.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar