Sabtu, 21 Desember 2013

Mereposisi Desa di Mata Negara

Mereposisi Desa di Mata Negara
Suyatno  ;    Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Terbuka,
Alumnus Pascasarjana Ilmu Politik UGM
MEDIA INDONESIA,  20 Desember 2013
  


ATAS nama peningkatan produktivitas, desa akan menerima gelontoran dana APBN. Itulah salah satu isi A Undang-Undang (UU) Desa yang telah disahkan di Rapat Paripurna DPR pada 18 Desember 2013. Dengan pengesahan itu, setiap desa akan mendapat dana dari alokasi APBN yang bersumber dari belanja pusat dengan mengefektifkan program berbasis desa. Mekanisme pengajuan dana dilakukan melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang anggotanya merupakan wakil penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.

Walaupun diliputi kekhawatiran terjadinya penyeleweng an, sejumlah pihak mengang gap perubahan tersebut telah memunculkan harapan akan adanya bukti konkret ke berpihakan negara kepada desa.

Dengan besaran anggaran yang diusulkan melalui rapat paripurna tambahan 10% dari dana transfer daerah, jika dana transfer daerah dari APBN Rp528 triliun, alokasi anggaran untuk desa Rp52 triliun. Menariknya juga dana itu diusulkan tidak mengurangi Rp528 triliun dana transfer daerah itu.

Jumlah desa di Indonesia saat ini mencapai 72.944. Andai saja usulan PDIP yang dipakai, hitungan dana alokasi desa dari APBN 2014 akan berjumlah Rp54 triliun sehingga setiap desa akan mendapat rata-rata Rp750 juta yang disesuaikan dengan skala dan jumlah penduduk miskin. Bahkan dalam hitungan Pansus UU Desa, dana itu mencapai Rp850 juta. Sungguh sebuah perubahan besaran yang ke depan akan berdampak besar pada berubahnya posisi desa di mata negara.

Posisi desa

Desa merupakan ujung tom bak pelaksanaan kebijakan pemerintah kepada masyarakat. Sebagai representasi kehadiran negara, desa adalah garda terdepan yang berhubungan langsung dengan rakyat. Posisi ini menyebabkan desa berikut aparaturnya paling dekat dengan masyarakat ketimbang aparatur lain yang sekaligus memiliki tantangan tersendiri. Akibat perkembangan tuntutan zaman, desa mengalami perubahan posisi.

Desa diperlakukan tidak lagi seperti dulu. Karenanya, desa juga memiliki kepentingan yang juga berubah, termasuk anggarannya.

Sebagaimana diketahui, desa sebagai basis kehidupan masyarakat akar rumput mempunyai dua wilayah berbeda, tetapi saling berkaitan. Dua wilayah itu merupakan titik masuk krusial pembaruan desa yang saat ini paralel dengan agenda besar reformasi politik ataupun pembaruan pemerintahan (governance reform) (Eko: 2003).

Pertama, wilayah internal desa (demokrasi desa). Secara politik wilayah ini menunjuk pada relasi antara pemerintah desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), institusi lokal, dan warga masyarakat. Desa dalam pandangan ini sering disebut miniatur negara. Sebagai miniatur negara Indonesia, desa menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai segudang tugas kenegaraan: menjalankan birokratisasi di level desa, melaksanakan program-program pembangunan, memberikan pelayanan administratif, serta melakukan kontrol dan mobilisasi warga desa. Sungguh tugas kades begitu komplet dan tidak ringan.

Kedua, wilayah eksternal desa (otonomi desa). Wilayah ini mencakup hubungan antara desa dan pemerintah supradesa (pusat, provinsi, kabupaten, dan kecamatan) dalam konteks formasi negara yang hierarkissentralistis. 

Pemerintah desa sebenarnya merupakan wujud self-governing community yang dibentuk secara mandiri oleh masyarakat. Bahkan desa punya `otonomi asli' karena usianya jauh lebih tua ketimbang negara atau kabupaten. Namun, kehidupan desa tidaklah tunggal dan homogen karena masuknya negara dan modal ke desa.

Realitas tentang desa yang diungkapkan tadi sedikit banyak memengaruhi peran, posisi, dan nasib desa. Ada sejumlah hal yang melatarbelakangi desa layak mendapat peningkatan dana. Pertama, terjadi kesenjangan yang menimpa desa. Tuntutan terhadap peran dan posisi desa sudah dalam konteks otonomi desa, sedangkan nasib berupa pengakuan dan penghargaan masih dalam tataran demokrasi desa. Jaminan hidup berupa biaya pembangunan, insentif, atau penghasilan perangkat desa jauh dari kata layak.

Kedua, dalam hal hierarki, desa lebih berorientasi ke atas. Selama Orde Baru desa lebih memosisikan diri sebagai klien negara (Antlov: 2003). Manakala kebijakan otonomi daerah telah memberi angin segar bagi klien-klien negara di tingkat kabupaten dan provinsi, mengapa tingkat desa tidak? Padahal anggaran program-program, penghasilan dari tanah bengkok, dan dana insentif belumlah dianggap memadai dengan peran dan kiprah yang harus mereka jalani.

Reorientasi otonomi

Ada sejumlah hal yang patut dipikirkan agar menjadi pertimbangan terkait dengan pemberian anggaran desa yang lebih baik. Tujuannya tentu saja persoalan yang menimpa desa bisa teratasi. Kejadian masa lalu yang kelabu tidak berlarutlarut dan terulang serta mencegah penyelewengan.

Pertama, reorientasi kebijakan desentralisasi desa patut dilakukan. Otonomi desa tidak dapat serta-merta disamaratakan dengan kebijakan otonomi daerah lainnya. Karena berbeda, perlakuannya juga berbeda. Itulah yang memunculkan pertanyaan layakkah desa sebagaimana daerah otonom lainnya. Jika jawabannya layak, patut dipikirkan desa untuk berposisi sebagaimana layaknya daerah otonom lainnya. Baik anggaran, penghargaan, maupun perlakuannya seperti daerah tingkat lainnya.

Namun jika tidak, desa patut dikembalikan pada habitatnya agar bertahan hidup sebagaimana sebelum ada negara.

Kedua, menempatkan desa pada posisi yang lebih adil.Tuntutan hierarki sebagai level terbawah akan menuai tuntutan manakala beban yang diberikan kepada desa tidak sesuai dengan pemberian dana anggaran dan imbalan yang diberikan. Apalagi di level lain mendapatkan perlakuan yang berbeda. Di sini peran supervisi kecamatan dan kabupaten, kemungkinan penyalahgunaan dana masih berbicara.

Ketiga, transformasi dari dalam. Adanya upaya defeodalisasi berupa kesadaran individu dari homo hierarchicus yang menempatkan individu dalam konteks patron dan klien menjadi homo aequalis yang melihat antarindividu sebagai sesama. Baik di tataran elite desa maupun pada rakyat jelata, dibangun kesadaran pentingnya kebersamaan. Posisi di antara sesama ialah sederajat dan saling menghormati, terutama dalam transparansi penggunaan dana desa. 
Dari sini siapa pun yang menjabat pimpinan di desa juga sudah memiliki sifat 
yang sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan masyarakat desa.

Pengelolaan negara ini ternyata membutuhkan pemikiran yang komprehensif, utuh, dan menyeluruh. Pemikiran yang bijak dan seadil-adilnya patut menjadi landasan yang paling utama. Perlakuan yang berbeda terhadap satu bagian dari keseluruhan pemerintahan akan menyebabkan munculnya tuntutan perlakuan yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar