Kejadiannya memang sudah awal
November. Namun, gaungnya masih bisa dibahas sampai sekarang. Apalagi kalau
bukan soal curahan hati Presiden SBY soal kemacetan. ”Saya seperti tertusuk ketemu teman–teman perdana menteri yang
sampai dua jam dari bandara ke Istana. Saya tidak enak ditanya solusi
kemacetan. Yang harus jelaskan bukan saya, tapi gubernurnya,” begitu
dikatakannya kepada para wartawan.
Pernyataan Presiden SBY, yang
kelihatannya sederhana, menjadi tidak biasa karena suhu politik sedang
hangat. Maklum, gubernur yang ditunjuk SBY itu sedang jadi ikon politik:
dicintai media dan populer di mata rakyat.
Maka, pernyataan ini bisa
mengandung dua arti. Pertama, Presiden memang sedih dan kaget begitu
ditanya oleh ”teman-temannya” karena, menurut Presiden, yang lebih tahu dan
bertanggung jawab adalah Gubernur DKI. Kedua, Presiden sedang menyindir
Gubernur DKI karena kondisi lalu lintas di DKI masih parah.
Menelisik pernyataan Presiden
SBY tentang pertanyaan ”teman-temannya” itu, kita tidak perlu memihak siapa
pun.
Cukup memakai logika saja.
Adalah sesuatu yang aneh dan di luar kebiasaan jika seorang tamu negara
yang terhormat: perdana menteri, kepala pemerintahan yang sedang bertamu,
menanyakan sisi negatif negara tuan rumah, apalagi mengeluhkan lama
perjalanan.
Sopan santunnya, sang tamu
terhormat tidak menyinggung hal yang ”remeh-temeh” dalam tingkat
pembicaraan antar-dua pemimpin negara, kecuali dimulai pihak tuan rumah.
Biasanya, mereka akan pura-pura
tidak tahu kalau jalanan macet atau mengatakannya sebagai hal biasa di
negara mana pun, termasuk di negara tamu yang bersangkutan. Cukup aneh pula
jika tamu negara yang penting, dari bandara ke Istana tidak
menggunakan voorijder,
sampai harus memakan waktu dua jam.
Banyak masalah
Seperti gubernur-gubernur sebelumnya,
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama, dari
awal memang menghadapi banyak masalah yang sepertinya mustahil diatasi.
Apalagi mereka baru setahun menjabat.
Kenyataannya, gubernur dan
wakilnya ini justru sudah memetakan masalah di wilayah kerjanya sehingga
bisa membuat konsep dan menyusun rencana kerja yang menyeluruh.
Mereka berusaha menerapkan
manajemen yang benar secara benar. Kedua pejabat itu meski tegas tetap
menjunjung tinggi kesantunan: tidak pernah menyebut siapa-siapa yang
mempunyai andil atas kondisi DKI yang semrawut seperti sekarang. Bagi
mereka, yang penting adalah bekerja menyelesaikan setiap masalah untuk
kepentingan rakyat banyak, titik.
Mereka menyentuh kesejahteraan
rakyat mulai dari Kartu Jakarta Sehat, Kartu Jakarta Pintar, dan
mengefisiensikan pelayanan penduduk.
Masalah banjir ditangani mulai
dari membersihkan gorong-gorong, penormalan sungai, serta pengembalian dan
perbaikan fungsi dan kondisi waduk-waduk. Penduduk di kawasan waduk
dipindahkan tanpa kericuhan.
Taman-taman terbuka hijau
dibangun dan tempat hiburan murah untuk penduduk dikembangkan. Pasar Tanah
Abang, yang menyebabkan kemacetan parah puluhan tahun, dibenahi dengan
damai.
Kepadatan kendaraan diatasi
dengan penambahan bus transjakarta, pembenahan angkutan umum lain, dan
dimulainya pembangunan monorel. Di bidang birokrasi, aparat DKI yang tidak
bekerja dengan baik diganti, jabatan dilelang, dan pengawasan difungsikan.
Tentu semua tidak berjalan
mulus, pasti ada kekurangan dan belum berjalan sesuai rencana. Ada penduduk
yang susah diatur dan terbiasa semaunya sendiri, ada pihak-pihak yang
terusik pembenahan ini sehingga selalu mencela, mengecilkan, dan
mencari-cari kesalahan gubernur dan wakilnya.
Membenahi DKI memang tidak
mudah. Urusan banjir dari sungai-sungai dan kepadatan kendaraan di jalan
tidak bisa diatasi DKI sendiri. Perlu kerja sama dengan kawasan
sekelilingnya karena sungai-sungai berhulu di daerah lain dan
kendaraan-kendaraan banyak yang datang dari luar perbatasan DKI.
Tanggung jawab pusat
Bagaimana bisa presiden tidak
merasa bertanggung jawab atas kemacetan lalu lintas, sementara kebijakan
pemerintahannya justru menambah kepadatan dengan mengizinkan mobil murah.
Alasan-alasan para elite partai yang membela kebijakan mobil murah malah
menjadi tertawaan. Kiranya lebih baik mereka diam saja daripada kelihatan
”bodohnya”.
Jokowi menyadari bahwa wewenang
pembentukan Otoritas Transportasi Jakarta untuk menyelaraskan arus lalu
lintas wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi ada di tangan
pemerintah pusat. Namun, pemerintah pusat belum siuman. Oleh karena itu,
daripada sibuk mencela Jokowi dan wakilnya, lebih baik biarkan saja mereka
bekerja menyelesaikan program-programnya.
Jika Jokowi berhasil, toh mereka
juga menikmati hasilnya. Jika ternyata tidak becus, ya, tidak perlu dipilih
kembali. Kalaupun mau dicalonkan jadi presiden, ya, tidak laku.
Mungkin kita lupa bahwa sebagian
besar rakyat sekarang tidak bodoh. Mereka tahu apa seharusnya tugas
pemerintah. Mereka tahu partai mana yang tidak bersih dan tidak benar-benar
berjuang untuk rakyat. Mereka tahu, apa itu KPK, mencintai dan mendukung
semua upayanya memberantas korupsi.
Rakyat juga tahu dan mengerti
ada tokoh-tokoh partai yang sering bicara di televisi secara ngawur,
seolah paling pandai. Tapi, ya, itulah demokrasi kita. Baru sebatas itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar