JIKA ruang publik menjadi
komoditas pasar, yang terjadi adalah kekacauan. Jakarta mengalaminya
bertahun-tahun hingga membuat persoalan kota semakin menggunung.
Kondisi ini terjadi karena tidak
ada pegangan berupa aturan yang konsisten maupun pemimpin yang berpihak
pada kepentingan publik. Perkembangan kota ini lebih banyak dipengaruhi
pemilik modal. Mereka berusaha merebut ruang-ruang strategis yang harusnya
untuk kepentingan publik, diubah menjadi area komersial. Hal ini
memungkinkan terjadi atasi izin kepala daerah.
Akibatnya, kaum lemah terpinggirkan,
makin sulit memenuhi kebutuhan hidupnya, dan akhirnya mereka berjuang
mencari solusi hidup sendiri. Berkembang tanpa arah yang jelas, kota ini
menjadi sensitif terhadap berbagai persoalan lingkungan dan sosial.
Salah satu bukti nyata adalah
sulitnya warga mendapatkan air bersih dari jaringan pipa. Kondisi itu
mendorong warga melakukan penyedotan air tanah tanpa kendali. Banjir
mengancam kota sepanjang musim, warga tercekam persoalan sosial yang
kompleks, dan mobilitas warga yang kian terhambat karena banyaknya simpul
macet.
Teguh (46), karyawan swasta di
kawasan Senayan, mengingat masa awal kerjanya tahun 1990-an. ”Ketika itu,
dengan bus umum dari rumah ke tempat kerja saya perlu waktu kurang dari 30
menit. Sekarang naik bus umum ke tempat kerja memakan waktu 45 menit. Saya
terpaksa naik sepeda motor ke kantor,” tutur Teguh, yang sehari-hari
tinggal di Pancoran, Jakarta Selatan.
Bukan hanya mobilitas yang
semakin susah, ayah tiga anak ini merasakan kualitas udara di Ibu Kota
semakin menurun. Setelah menempuh perjalanan dari rumah ke kantor, saya
seperti diasapi. ”Jumlah penduduk makin banyak, polusi kendaraan semakin
parah. Sepertinya semua ini dibiarkan, tidak ada kontrol pengendalian daya
dukung lingkungan, ruang terbuka makin menyempit,” katanya.
Keluhan Teguh wajar. Hal itu
bisa terjadi lantaran pemerintah membuka peluang bagi siapa saja
mengusulkan perubahan peruntukan tata ruang sesuai Perda Nomor 1 Tahun 2006
tentang Retribusi Daerah. Aturan ini memungkinkan adanya perubahan
peruntukan setelah mendapat persetujuan gubernur dengan membayar retribusi
daerah.
Perubahan peruntukan kawasan
tidak bisa dibendung. Beberapa tempat makam berubah menjadi mal di Jakarta
Utara, menjadi apartemen di Jakarta Selatan, serta menjadi kantor
pemerintah di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Perubahan ini yang
kemudian membangkitkan mobilitas orang, yang berujung pada kepadatan lalu
lintas. Semua tutup mata atas penyimpangan peruntukan lahan.
Namun, setelah terbit Perda
Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah, retribusi dari penyesuaian
peruntukan tidak diperbolehkan lagi. Ketentuan ini mengacu pada
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Penjaga wajah Jakarta
Sejalan dengan UU No 26 Tahun
2007, tahun 2012 Pemprov DKI mengesahkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
2030, satu tahun kemudian Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) disahkan 5
Desember 2013. Pengesahan RDTR inilah yang menjadi tonggak sejarah tata
ruang di Jakarta maupun di Indonesia.
”Sekarang tak boleh lagi ada
perubahan peruntukan. Aturan RDTR bersifat mengikat, berlaku bagi
perorangan, badan usaha, maupun pemerintah. Semua bisa menerima sanksi jika
melanggar aturan tata ruang,” kata Kepala Dinas Tata Ruang DKI Jakarta
Gamal Sinurat.
Dokumen RDTR itu terdiri atas
241 halaman, 672 pasal, dan 23 bab. Substansi materi Perda RDTR berupa pola
pengembangan kawasan dan sifat lingkungan, rencana detail tata ruang di 44
kecamatan, rencana pemanfaatan ruang, peraturan zonasi, perizinan, rekomendasi,
pembinaan dan pengawasan, serta sanksi bagi pelanggar tata ruang.
Dengan terbitnya Perda RDTR dan
Peraturan Zonasi, seharusnya wajah Ibu Kota tidak lagi dikendalikan pasar.
Dokumen RDTR kini menjadi panglima pemanfaatan kawasan bagi siapa saja di
Ibu Kota. Pada saat yang bersamaan, tantangan berikutnya adalah penegakan
aturan.
Pengamat perkotaan Universitas
Trisakti Jakarta, Yayat Supriyatna, berpendapat bahwa pengawasan menjadi
faktor terlemah penegakan hukum tata ruang. Selama ini penegakan aturan tata
ruang masih kedodoran. Banyak kasus pelanggaran tata ruang terjadi karena
lemahnya pengawasan di lapangan.
Persoalannya, siapakah petugas
penegak aturan tata ruang dan zonasi? Sejauh ini pengawasan mengandalkan
tugas Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) DKI. Sementara lurah
dan camat belum mendapat kewenangan besar ikut mengawasi persoalan
tersebut. Mereka yang seharusnya menjadi garda depan penegak aturan tata
ruang dan zonasi.
Dengan begitu diharapankan wajah Ibu Kota bisa
diselamatkan melalui peran lurah dan camat.
Fakta yang masih segar di
ingatan publik adalah robohnya Gelanggang Remaja Koja, Jakarta Utara, akhir
September lalu. Pelaksana proyek nekat membangun gelanggang, padahal
perizinan belum dilengkapi. Hal serupa terjadi pada pembangunan apartemen
di Jakarta Pusat, pertengahan November lalu. Petugas P2B DKI Jakarta baru
mengetahui setelah bangunan berdiri.
Modus pelanggaran seperti ini
terlalu sering terjadi dan kembali terulang berkali-kali. Ini membuktikan
bahwa pamong di tingkat wilayah belum melaksanakan tugasnya secara
profesional. Jika sudah ada aturannya, pamong pemerintah harus konsisten
menegakkan aturan. Sebab, tidak ada tata ruang yang baik selama tidak ada
tata pemerintahan yang baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar