Jumat, 20 Desember 2013

Ibu Kota Bukan Monopoli Pemodal

Ibu Kota Bukan Monopoli Pemodal
Tim Kompas  ;    Wartawan Kompas
KOMPAS,  20 Desember 2013

  

JIKA ruang publik menjadi komoditas pasar, yang terjadi adalah kekacauan. Jakarta mengalaminya bertahun-tahun hingga membuat persoalan kota semakin menggunung.

Kondisi ini terjadi karena tidak ada pegangan berupa aturan yang konsisten maupun pemimpin yang berpihak pada kepentingan publik. Perkembangan kota ini lebih banyak dipengaruhi pemilik modal. Mereka berusaha merebut ruang-ruang strategis yang harusnya untuk kepentingan publik, diubah menjadi area komersial. Hal ini memungkinkan terjadi atasi izin kepala daerah.

Akibatnya, kaum lemah terpinggirkan, makin sulit memenuhi kebutuhan hidupnya, dan akhirnya mereka berjuang mencari solusi hidup sendiri. Berkembang tanpa arah yang jelas, kota ini menjadi sensitif terhadap berbagai persoalan lingkungan dan sosial.

Salah satu bukti nyata adalah sulitnya warga mendapatkan air bersih dari jaringan pipa. Kondisi itu mendorong warga melakukan penyedotan air tanah tanpa kendali. Banjir mengancam kota sepanjang musim, warga tercekam persoalan sosial yang kompleks, dan mobilitas warga yang kian terhambat karena banyaknya simpul macet.

Teguh (46), karyawan swasta di kawasan Senayan, mengingat masa awal kerjanya tahun 1990-an. ”Ketika itu, dengan bus umum dari rumah ke tempat kerja saya perlu waktu kurang dari 30 menit. Sekarang naik bus umum ke tempat kerja memakan waktu 45 menit. Saya terpaksa naik sepeda motor ke kantor,” tutur Teguh, yang sehari-hari tinggal di Pancoran, Jakarta Selatan.

Bukan hanya mobilitas yang semakin susah, ayah tiga anak ini merasakan kualitas udara di Ibu Kota semakin menurun. Setelah menempuh perjalanan dari rumah ke kantor, saya seperti diasapi. ”Jumlah penduduk makin banyak, polusi kendaraan semakin parah. Sepertinya semua ini dibiarkan, tidak ada kontrol pengendalian daya dukung lingkungan, ruang terbuka makin menyempit,” katanya.

Keluhan Teguh wajar. Hal itu bisa terjadi lantaran pemerintah membuka peluang bagi siapa saja mengusulkan perubahan peruntukan tata ruang sesuai Perda Nomor 1 Tahun 2006 tentang Retribusi Daerah. Aturan ini memungkinkan adanya perubahan peruntukan setelah mendapat persetujuan gubernur dengan membayar retribusi daerah.

Perubahan peruntukan kawasan tidak bisa dibendung. Beberapa tempat makam berubah menjadi mal di Jakarta Utara, menjadi apartemen di Jakarta Selatan, serta menjadi kantor pemerintah di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Perubahan ini yang kemudian membangkitkan mobilitas orang, yang berujung pada kepadatan lalu lintas. Semua tutup mata atas penyimpangan peruntukan lahan.

Namun, setelah terbit Perda Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah, retribusi dari penyesuaian peruntukan tidak diperbolehkan lagi. Ketentuan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Penjaga wajah Jakarta

Sejalan dengan UU No 26 Tahun 2007, tahun 2012 Pemprov DKI mengesahkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2030, satu tahun kemudian Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) disahkan 5 Desember 2013. Pengesahan RDTR inilah yang menjadi tonggak sejarah tata ruang di Jakarta maupun di Indonesia.

”Sekarang tak boleh lagi ada perubahan peruntukan. Aturan RDTR bersifat mengikat, berlaku bagi perorangan, badan usaha, maupun pemerintah. Semua bisa menerima sanksi jika melanggar aturan tata ruang,” kata Kepala Dinas Tata Ruang DKI Jakarta Gamal Sinurat.

Dokumen RDTR itu terdiri atas 241 halaman, 672 pasal, dan 23 bab. Substansi materi Perda RDTR berupa pola pengembangan kawasan dan sifat lingkungan, rencana detail tata ruang di 44 kecamatan, rencana pemanfaatan ruang, peraturan zonasi, perizinan, rekomendasi, pembinaan dan pengawasan, serta sanksi bagi pelanggar tata ruang.

Dengan terbitnya Perda RDTR dan Peraturan Zonasi, seharusnya wajah Ibu Kota tidak lagi dikendalikan pasar. Dokumen RDTR kini menjadi panglima pemanfaatan kawasan bagi siapa saja di Ibu Kota. Pada saat yang bersamaan, tantangan berikutnya adalah penegakan aturan.

Pengamat perkotaan Universitas Trisakti Jakarta, Yayat Supriyatna, berpendapat bahwa pengawasan menjadi faktor terlemah penegakan hukum tata ruang. Selama ini penegakan aturan tata ruang masih kedodoran. Banyak kasus pelanggaran tata ruang terjadi karena lemahnya pengawasan di lapangan.

Persoalannya, siapakah petugas penegak aturan tata ruang dan zonasi? Sejauh ini pengawasan mengandalkan tugas Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) DKI. Sementara lurah dan camat belum mendapat kewenangan besar ikut mengawasi persoalan tersebut. Mereka yang seharusnya menjadi garda depan penegak aturan tata ruang dan zonasi. 
Dengan begitu diharapankan wajah Ibu Kota bisa diselamatkan melalui peran lurah dan camat.

Fakta yang masih segar di ingatan publik adalah robohnya Gelanggang Remaja Koja, Jakarta Utara, akhir September lalu. Pelaksana proyek nekat membangun gelanggang, padahal perizinan belum dilengkapi. Hal serupa terjadi pada pembangunan apartemen di Jakarta Pusat, pertengahan November lalu. Petugas P2B DKI Jakarta baru mengetahui setelah bangunan berdiri.

Modus pelanggaran seperti ini terlalu sering terjadi dan kembali terulang berkali-kali. Ini membuktikan bahwa pamong di tingkat wilayah belum melaksanakan tugasnya secara profesional. Jika sudah ada aturannya, pamong pemerintah harus konsisten menegakkan aturan. Sebab, tidak ada tata ruang yang baik selama tidak ada tata pemerintahan yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar