LALU lintas Jakarta yang padat
menjadi wujud wajah kota yang tengah berpacu. Para pengendara saling
serobot dan baku salip.
Mereka mengambil setiap
kesempatan di persimpangan untuk saling mendahului. Setiap orang merasa
memiliki alasan bergerak lebih dulu. Ujungnya, meskipun Jakarta dihuni
warga yang sebagian besar terdidik, pemerintah harus memberlakukan denda
mahal untuk menata lalu lintas.
Kepala Subdit Pembinaan dan
Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Ajun Komisaris
Besar Hindarsono menyebutkan, dari 30 Oktober hingga 3 Desember, atau 34
hari operasi sterilisasi jalur transjakarta, 11.000 penerobos jalur khusus
itu ditilang polisi. Rata-rata setiap hari ada 323 pelanggar ditilang.
Direktur Lalu Lintas Polda Metro
Jaya Komisaris Besar Chrysnanda Dwi Laksana mengatakan, kesemrawutan lalu
lintas Jakarta harus diakui sudah dalam kondisi sangat parah. Kesemrawutan
akibat berbagai hal, mulai dari kurangnya infrastruktur, sistem yang belum
mendukung, edukasi yang kurang, sistem uji kompetensi pengemudi, hingga
penegakan hukum. ”Itu dilanggar semua,” katanya.
Mereka yang melanggar pun bukan
hanya warga biasa, melainkan juga pejabat pemerintah, petinggi swasta, dan
penegak hukum. ”Kita ini bangga saat melanggar. Hanya mau tertib kalau ada
petugas,” kata Chrysnanda.
Minus teladan
Sosiolog Universitas Indonesia,
Imam Prasodjo, menilai kesemrawutan lalu lintas Jakarta adalah cerminan
kesemrawutan yang lebih besar. Sebagai pusat pemerintahan, Jakarta juga
menjadi ajang perebutan kekuasaan politik dan ekonomi yang praktiknya jorok
lagi kumuh.
Saban hari warga Jakarta tak
hanya disuguhi berita buruknya perilaku politisi yang merampok hak warga
lain melalui korupsi. Mereka sepanjang waktu juga hidup berimpitan dengan
para selebritas politik yang sebagian ibarat kere munggah bale.
Mereka memanfaatkan setiap
peluang menumpuk harta dan kekayaan. Di depan publik mereka tampil dengan
wajah saleh, tapi di balik itu mereka dengan khusyuk memuja hedonisme.
Kasus korupsi yang mengimpit beberapa petinggi partai politik, pejabat
publik, serta aparat keamanan menjadi contoh.
Tanpa sepenuhnya disadari,
kemuakan pada praktik itu membuat masyarakat hidup tanpa teladan.
Berulangnya kasus kekerasan komunal, mulai dari tawuran antarkampung dan
pelajar, baku pukul karena rebutan penumpang, okupasi bantaran sungai,
hingga keengganan warga digusur dari tanah negara yang mereka tinggali
secara ilegal tak dapat dilepaskan begitu saja dari hilangnya keteladanan
dalam kehidupan bermasyarakat.
Sosiolog Universitas Negeri
Jakarta, Robertus Robet, berpendapat itu berpengaruh pada transformasi dari
individu ke dalam komunitas. ”Sebagai individu, setiap manusia ada dalam
kondisi baik, tetapi ketika masuk ke dalam komunitas hilangnya niat baik
memunculkan sifat beringas. Dari personal
integrity menjadi kumpulan yang anonim,” kata Robet.
Di Jakarta kondisi itu kian
parah karena kota dipandang hanya sebagai kondisi material, arena kompetisi
ekonomi dan politik yang masif. Logika itu menjadikan kota sebagai sosok
yang mati, yang menyebabkan warga menjadi anonim. Akibatnya, meskipun
Jakarta memiliki apa saja, bagi sebagian warganya, tidak memberi jalan
keluar.
Kondisi itu kontradiktif dengan
pemahaman bahwa kota adalah ruang kewargaan yang memanusiakan. Kota menjadi
sehat ketika ruang itu menjadi bagian ekspresi aspirasi kebudayaan warga.
”Yang utama jalinan sosial serta kekuatan hubungan
sosial. Kota adalah komunitas manusia, bukan sekadar fakta fisik, yaitu
himpunan gedung-gedung. Seharusnya warga saling mengembangkan tidak saling
meniadakan,”
kata Robet.
Penempatan bangku-bangku besi di
banyak kaki lima Jakarta dinilai Robert menunjukkan adanya kesadaran
sosiologis itu, yaitu jalan tidak hanya untuk kendaraan. Orang diberi
tempat untuk duduk dan mengobrol. ”Ada
kesadaran bahwa yang utama adalah manusia,” katanya.
Mal, menurut Robet, tidak
merepresentasikan hal serupa. Mal melulu merepresentasikan perdagangan.
Yang ada di mal adalah pertarungan ekonomi dan kontestasi strata sosial.
”Bukan ekspresi aspirasi kebudayaan,” kata Robet.
Harapan
Selain itu, upaya beberapa
sosiolog, seperti Imam Prasodjo yang mendampingi anak-anak SMP di wilayah
Matraman yang gemar tawuran serta Paulus Wirutomo yang mendampingi
anak-anak muda di wilayah rawan tawuran di Johar Baru, juga layak
diapresiasi. Anak-anak itu diajak menemukan potensi diri mereka dan
membaginya kepada orang lain. Menurut Imam Prasodjo, langkah itu merupakan
upaya membangun komunitas yang responsif di tengah komunitas minim
komunikasi.
Selain itu, tentu saja kehadiran
Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama. Menurut Imam Prasodjo dan Robertus
Robet, kedua pemimpin Jakarta itu tidak hanya memberi alternatif, tetapi
juga berbeda dari politikus lain. Mereka tampil dengan sederhana, lugas,
dan tanpa pamrih.
”Melihat itu semua, secara teoretis Jakarta bisa
dibenahi,”
kata Imam yakin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar