Jumat, 20 Desember 2013

Komunitas Minus Keteladanan

Komunitas Minus Keteladanan
Tim Kompas  ;    Wartawan Kompas
KOMPAS,  20 Desember 2013
  


LALU lintas Jakarta yang padat menjadi wujud wajah kota yang tengah berpacu. Para pengendara saling serobot dan baku salip.

Mereka mengambil setiap kesempatan di persimpangan untuk saling mendahului. Setiap orang merasa memiliki alasan bergerak lebih dulu. Ujungnya, meskipun Jakarta dihuni warga yang sebagian besar terdidik, pemerintah harus memberlakukan denda mahal untuk menata lalu lintas.

Kepala Subdit Pembinaan dan Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Hindarsono menyebutkan, dari 30 Oktober hingga 3 Desember, atau 34 hari operasi sterilisasi jalur transjakarta, 11.000 penerobos jalur khusus itu ditilang polisi. Rata-rata setiap hari ada 323 pelanggar ditilang.

Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Chrysnanda Dwi Laksana mengatakan, kesemrawutan lalu lintas Jakarta harus diakui sudah dalam kondisi sangat parah. Kesemrawutan akibat berbagai hal, mulai dari kurangnya infrastruktur, sistem yang belum mendukung, edukasi yang kurang, sistem uji kompetensi pengemudi, hingga penegakan hukum. ”Itu dilanggar semua,” katanya.

Mereka yang melanggar pun bukan hanya warga biasa, melainkan juga pejabat pemerintah, petinggi swasta, dan penegak hukum. ”Kita ini bangga saat melanggar. Hanya mau tertib kalau ada petugas,” kata Chrysnanda.

Minus teladan

Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, menilai kesemrawutan lalu lintas Jakarta adalah cerminan kesemrawutan yang lebih besar. Sebagai pusat pemerintahan, Jakarta juga menjadi ajang perebutan kekuasaan politik dan ekonomi yang praktiknya jorok lagi kumuh.

Saban hari warga Jakarta tak hanya disuguhi berita buruknya perilaku politisi yang merampok hak warga lain melalui korupsi. Mereka sepanjang waktu juga hidup berimpitan dengan para selebritas politik yang sebagian ibarat kere munggah bale.

Mereka memanfaatkan setiap peluang menumpuk harta dan kekayaan. Di depan publik mereka tampil dengan wajah saleh, tapi di balik itu mereka dengan khusyuk memuja hedonisme. Kasus korupsi yang mengimpit beberapa petinggi partai politik, pejabat publik, serta aparat keamanan menjadi contoh.

Tanpa sepenuhnya disadari, kemuakan pada praktik itu membuat masyarakat hidup tanpa teladan. Berulangnya kasus kekerasan komunal, mulai dari tawuran antarkampung dan pelajar, baku pukul karena rebutan penumpang, okupasi bantaran sungai, hingga keengganan warga digusur dari tanah negara yang mereka tinggali secara ilegal tak dapat dilepaskan begitu saja dari hilangnya keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat.

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, berpendapat itu berpengaruh pada transformasi dari individu ke dalam komunitas. ”Sebagai individu, setiap manusia ada dalam kondisi baik, tetapi ketika masuk ke dalam komunitas hilangnya niat baik memunculkan sifat beringas. Dari personal integrity menjadi kumpulan yang anonim,” kata Robet.

Di Jakarta kondisi itu kian parah karena kota dipandang hanya sebagai kondisi material, arena kompetisi ekonomi dan politik yang masif. Logika itu menjadikan kota sebagai sosok yang mati, yang menyebabkan warga menjadi anonim. Akibatnya, meskipun Jakarta memiliki apa saja, bagi sebagian warganya, tidak memberi jalan keluar.

Kondisi itu kontradiktif dengan pemahaman bahwa kota adalah ruang kewargaan yang memanusiakan. Kota menjadi sehat ketika ruang itu menjadi bagian ekspresi aspirasi kebudayaan warga.

”Yang utama jalinan sosial serta kekuatan hubungan sosial. Kota adalah komunitas manusia, bukan sekadar fakta fisik, yaitu himpunan gedung-gedung. Seharusnya warga saling mengembangkan tidak saling meniadakan,” kata Robet.

Penempatan bangku-bangku besi di banyak kaki lima Jakarta dinilai Robert menunjukkan adanya kesadaran sosiologis itu, yaitu jalan tidak hanya untuk kendaraan. Orang diberi tempat untuk duduk dan mengobrol. ”Ada kesadaran bahwa yang utama adalah manusia,” katanya.

Mal, menurut Robet, tidak merepresentasikan hal serupa. Mal melulu merepresentasikan perdagangan. Yang ada di mal adalah pertarungan ekonomi dan kontestasi strata sosial. ”Bukan ekspresi aspirasi kebudayaan,” kata Robet.

Harapan

Selain itu, upaya beberapa sosiolog, seperti Imam Prasodjo yang mendampingi anak-anak SMP di wilayah Matraman yang gemar tawuran serta Paulus Wirutomo yang mendampingi anak-anak muda di wilayah rawan tawuran di Johar Baru, juga layak diapresiasi. Anak-anak itu diajak menemukan potensi diri mereka dan membaginya kepada orang lain. Menurut Imam Prasodjo, langkah itu merupakan upaya membangun komunitas yang responsif di tengah komunitas minim komunikasi.

Selain itu, tentu saja kehadiran Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama. Menurut Imam Prasodjo dan Robertus Robet, kedua pemimpin Jakarta itu tidak hanya memberi alternatif, tetapi juga berbeda dari politikus lain. Mereka tampil dengan sederhana, lugas, dan tanpa pamrih.

”Melihat itu semua, secara teoretis Jakarta bisa dibenahi,” kata Imam yakin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar