DALAM
satu tahun terakhir Jakarta—atau lebih tepatnya kawasan Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi—masih berkutat pada masalah yang sama.
Kemacetan dan banjir selalu
menyengsarakan semua warga kota. Belum lagi jika bicara masalah air
bersih, sampah, sampai ke persoalan sosial masyarakat kota seperti
kemiskinan dan angka kriminalitas yang tinggi.
Jakarta sedemikian sesak oleh
persoalan, sesesak jejalan sekitar 10 juta warganya, ditambah lebih dari
2 juta orang komuter dari kawasan sekitar.
Wakil Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama mengakui bahwa beban yang ditanggung Jakarta, yang
satu kesatuan dengan Bodetabek, sudah melebihi kemampuan yang dimiliki
kota ini.
”Kita tidak pernah bayangkan
Jakarta berisi lebih dari 10 juta orang. Akhirnya kota tidak dirancang
untuk menampung orang sebanyak itu. Kelebihan beban, ya, sudah pasti,”
ujarnya.
Tidak ada integrasi yang jelas
antara wilayah Jakarta dan sekitarnya. Basuki pun mengakui bahwa lembaga
Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabek belum menghasilkan output yang
signifikan. Kepala daerah di Jabodetabek pun sangat jarang duduk bersama
membahas persoalan-persoalan yang dihadapi. Gubernur DKI Jakarta Joko
Widodo pernah bertemu dengan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Akan tetapi, tindak lanjut secara
nyata dari pertemuan itu sepertinya belum terlihat.
Memang ketiga gubernur itu tak
akan bisa bergerak bersama tanpa kejelasan kerja sama dan payung hukum
serta program yang jelas di tingkat pemerintah pusat sebagai induk
lembaga yang membawahkan Jabodetabek. Puluhan miliar uang yang
digelontorkan DKI sebagai dana hibah untuk membantu pembangunan di
kawasan sekitar bagai air dituang ke tumpukan pasir.
Saling bergantung
Selama ini setiap tahun DKI
Jakarta menghibahkan dana kepada sembilan kabupaten/kota di sekitarnya,
yaitu Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang,
Kota Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Depok, dan
Kabupaten Cianjur. Tahun 2013, APBD DKI Jakarta mengalokasikan dana hibah
Rp 45 miliar untuk kabupaten/kota tersebut.
”Besarnya tidak sama untuk
setiap kabupaten dan kota. Seperti tahun ini alokasi untuk Kabupaten
Bogor Rp 8 miliar guna pembongkaran vila di kawasan resapan,” kata
Pelaksana Tugas Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI
Jakarta Sarwo Handayani.
APBD DKI Jakarta juga
mengalokasikan dana untuk BKSP Jabodetabek sebesar Rp 2 miliar. Sarwo
mengatakan, kerja sama Jakarta dengan daerah sekitarnya didasarkan atas
sinergi dan diharapkan hasilnya positif. Namun, dana yang dibayarkan dan
upaya yang telah atau sedang dilakukan DKI saat ini laksana deret hitung
melawan deret ukur. Masalahnya sendiri terus menggelembung.
Bupati Bogor terpilih Rachmat
Yasin dan Wali Kota Bogor terpilih Bima Arya Sugiarto mengatakan, jumlah
penduduk di kedua daerah itu mencapai 4,5 juta jiwa. Ditambah dengan
penduduk Kota Depok, total jumlah warga di ketiga daerah yang bertetangga
dekat dengan Jakarta itu mencapai sekitar 5,5 juta.
Berdasarkan data JUTPI
(Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration) dan Dinas
Perhubungan DKI Jakarta pada 2012, Kota Bogor-Kabupaten Bogor-Kota Depok
setiap hari menyumbang 2.246.000 perjalanan oleh 1.185.403 orang per hari
ke Ibu Kota. Jumlah itu sekitar 20 persen dari keseluruhan penduduk di
ketiga daerah tersebut. Sekitar 80 persen perjalanan menggunakan
kendaraan pribadi yang menyesaki ruas-ruas jalan. Ibaratnya, sebagian
besar dari 24 jam waktu warga dari sekitar Jakarta dihabiskan di kota ini
dan mereka hanya menumpang tidur di rumah mereka di luar Jakarta.
Hal itu menunjukkan tingkat
ketergantungan yang amat tinggi antara daerah sekitar dan pusat ekonomi,
yaitu Jakarta. Kondisi itu memang aneh, ketika saling ketergantungan
sedemikian besar terjadi, tidak ada kebijakan terintegrasi antardaerah
untuk bersama-sama mengatasi masalah.
Akibatnya, kawasan di sekitar
Jakarta turut menanggung masalah yang sama dengan Jakarta. Kota Bogor,
misalnya, kata Bima, setiap hari menderita kerugian sebesar Rp 713 juta
akibat kemacetan lalu lintas.
Pengamat transportasi dari
Unika Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, mengatakan, tanpa ada
kebijakan pembangunan angkutan massal yang saling terintegrasi antarkota
di wilayah Jabodetabek, kemacetan total tidak hanya akan terjadi di
Jakarta, tetapi juga di daerah sekitarnya.
Akan lumpuh
Bahkan, Firdaus Ali, pakar
teknik lingkungan dari Universitas Indonesia, beberapa kali menegaskan
butuh kesatuan regulasi soal penataan ruang serta pengawasan yang ketat
antarkawasan di Jabodetabek. Suatu penegasan berdasarkan fakta adanya
hubungan saling bergantung ini sejak jauh-jauh hari sebenarnya sudah
disadari oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah di Jabodetabek.
Namun, selalu saja tidak ada
kemajuan dalam proses membina hubungan baik dan saling kerja sama. Dengan
kondisi yang semakin buruk dan tidak efisien itu, pada akhirnya rakyat
juga yang harus menanggung beban bencana tersebut.
Akankah di tahun depan
kebuntuan ini bisa diakhiri?
Rakyat akan melihat sendiri
nanti apakah ego sektoral setiap pihak masih jadi batu sandungan dalam
menjalin hubungan antardaerah. Jika masih berlangsung, para ahli
memprediksi suatu saat akan terjadi ledakan masalah yang membuat Jakarta
lumpuh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar