Ketika kelompok Teater Gapit
dari Solo, Jawa Tengah, muncul pada tahun 1980, tebersit harapan bahwa itu
bakal menjadi momentum ”kebangkitan sastra Jawa”. Setidaknya dalam bentuk
”sastra panggung”. Teater Gapit yang dibentuk dari kalangan mahasiswa
Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI, sekarang ISI) Surakarta mendadak
menjadi tumpuan banyak kalangan setelah beberapa dekade sastra Jawa seakan
mengalami kemandekan.
Kemandekan yang ditandai oleh
surutnya kreativitas para penulis dan redupnya pamor sastra Jawa dianggap
sebagai perkara yang serius. Meski ”sastra Jawa” pada waktu itu lebih
dimaknai sebagai sastra Jawa ”gagrag anyar” (gaya baru), yang muncul pada
akhir 1950 atau awal 1960. Bagi sebagian kalangan, sastra Jawa gagrag anyar
adalah sastra yang cenderung ”ringan”, bersifat hiburan (populer).
Akan tetapi, suka atau tidak,
zaman telah berganti. Apa boleh buat, sastra Jawa mengalami ”evolusi”
sendiri, yang niscaya sulit dihindarkan.
Istimewa
Teater Gapit yang dimotori oleh
alm Bambang Widhoyo SP (meninggal 1997), selaku penulis naskah dan sutradara,
selain produktif, repertoar-repertoar yang diangkat di panggungnya
menawarkan kreativitas baru yang segar dan menghebohkan. Semangat yang
melatari tema lakon-lakonnya adalah kritik sosial dengan mengangkat nasib
rakyat yang tertindas akibat ketidakadilan sosial.
Di samping orisinalitas
lakon-lakon yang ditulis Bambang, pesan-pesan yang disuarakan Gapit di
panggung terasa menggigit karena dikaitkan dengan persoalan sosial yang
aktual. Semisal mengambil setting rakyat miskin di kampung,
masalah penggusuran di perkotaan. Atau tentang fenomena industrialisasi
yang dikontraskan dengan nilai-nilai masyarakat agraris. Ataupun tentang
masyarakat yang dipinggirkan oleh penguasa represif lantaran perbedaan
ideologi.
Nilai lebih repertoar yang
ditulis Bambang Widhoyo karena ia mampu menghidupkan pikiran-pikiran
berikut ”dunia batin” warga awam dalam bahasa mereka. Di samping itu, ia
memberi bobot lain, yaitu menyelipkan ajaran hidup, kearifan rakyat kecil,
hingga piwulang yang dipetik dari ajaran leluhur yang populer di
masyarakat. Lewat dialog, celotehan, ataupun tembang macapat yang menyentuh
penonton.
Repertoar yang ditulis Bambang
dan telah dipentaskan Teater Gapit adalah Brug, Suk-suk Peng, Rol, Leng, Tuk,
dan Dom. Naskah terakhir, Luh, yang ditulis Bambang menjelang
menutup mata, belum sempat dipentaskan. Bagi penutur Jawa, repertoar Gapit
terasa merefleksikan ”jiwa zaman”. Didukung para aktornya yang kuat,
dialog-dialog bernada keras, lugas, ¬dan diwarnai pisuhan (makian) yang
jadi ciri khasnya, berhasil melukiskan realita masyarakat yang dimaksud.
Dengan meramu aspek-aspek dalam
budaya Jawa, Teater Gapit yang berbahasa Jawa, terasa kuat dan utuh. Justru
dengan media bahasa (sastra) Jawa, Gapit berhasil mengartikulasikan
aspirasi orang Jawa dalam paradigma masyarakat modern. Ia dengan begitu
menawarkan ”sastra panggung” baru di samping pertunjukan seni tradisi yang
sudah ada, wayang orang dan ketoprak.
Memanfaatkan elemen-elemen
kesenian tradisi, Teater Gapit punya kelebihan dalam pertunjukannya, yaitu
kekompakan dalam iringan berupa musik karawitan; kreasi gending-gending
sampakan, dolanan, geculan, di samping merangkai syair-syair baru yang
segar-menggairahkan.
Berbekal modal yang sama,
setelah 16 tahun sejak meninggalnya Bambang Widhoyo, kelompok yang sama
namun dengan personel generasi baru kini ”bermetamorfosa” menjadi Teater
Lungid. Sayangnya, tanpa Bambang dengan kekuatan pada repertoar yang
ditulis sendiri berikut visinya, Teater Lungid sampai hari ini belum
menelurkan lakon-lakon karyanya sendiri.
Canggung
Pada tahun 2011, Teater Lungid
mementaskan lakon Visa, karya Goenawan Mohamad yang diterjemahkan ke
bahasa Jawa. Lalu, pada 7-8 Desember 2013, mereka membawakan repertoar Gundala
Gawat, juga karya Goenawan Mohamad, di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo.
Repertoar yang sebelumnya telah dipentaskan oleh Teater Gandrik
(Yogyakarta) ini dialihbahasakan ke bahasa Jawa oleh Pelok Trisno Santosa
dan sutradara Djarot B Santosa.
Pementasan Visa maupun Gundala
Gawat oleh Teater Lungid mengesankan repertoar-repertoar ”luar” itu
tampil tidak sekuat pementasan Teater Gapit dahulu. Pementasan Visa,
misalnya, tampil ”artifisial”. Wacana tentang ”visa” sendiri terasa amat
asing bagi para pemain. Mereka tampak gagap dan canggung memerankan gaya
hidup kaum elite urban dalam lakon itu.
Kesan pemaksaan terulang pada
pentas Gundala Gawat (dari serial komik ”Gundala Putra Petir”
karya Hasmi). Sekalipun repertoar ini berformat komedi, dan Teater Lungid
memang punya potensi itu; mereka tampak tidak sepenuhnya ”masuk” dalam
pertunjukan. Padahal, dalam terjemahan bahasa Jawa dengan dukungan akting
pemain, habis-habisan mengeksploitasi repertoar itu menjadi tontonan full banyolan,
baik dialog maupun adegannya.
Dalam adegan ketika sekelompok
warga menyerbu rumah Gundala, mereka memprotes ayah Gundala, Pak Petir.
Akibat ulahnya, menyebabkan seorang warga tewas, tanaman pertanian hangus,
dan sejumlah rumah porak poranda. Mereka meneriakkan ini: ”Sorak mrata,
jaya mrata. Imbang-imbang sasat padha. Heh, Gundala, kowe metua njaba. Endi
dhadhamu, iki dhadhaku. Ora wedi sudukanmu. Nya dhadha, endi dhadha. Waton
aja wuda. Ora bakal aku lunga.”
Bagi penonton yang penutur
bahasa Jawa, dialog serta akting para pemain dalam adegan seperti di atas
terasa komunikatif dan jenaka. Namun, tak terbayang bagi yang nonpenutur
Jawa. Bukan cuma kosakatanya yang sulit dicarikan padanannya dalam bahasa
Indonesia. Bahasa sebagai bagian dari kebudayaan (etnik) di sini menunjukkan
aspek kekayaan dan keunikannya.
Repertoar Gundala Gawat yang
diangkat Teater Lungid menunjukkan persoalan yang lebih rumit di balik
pementasan yang makan waktu 2,5 jam tersebut. Pertunjukan terasa panjang
dan ”meletihkan”– sekalipun dialognya kaya tawa! Rupanya penyusun naskah
lebih asyik ”bercerita” daripada bagaimana menyiasati pertunjukan agar
terasa padat namun mengena.
Dari pengalaman Teater Lungid
yang mengangkat repertoar Visa dan Gundala Gawat, mungkin
kita belajar tentang sastra panggung Jawa. Mereka agaknya canggung dalam
penghayatan; ini karena, betapa pun dua repertoar modern itu membawa pula world view (pola pikir)
kemodernan. Akan lebih mengena apabila repertoar yang diangkat berasal dari
pola pikir yang mereka hayati sendiri. Seperti lakon-lakon yang ditulis
oleh Bambang Widhoyo SP. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar