Salah seorang anak buah saya di
kantor bercerita tentang sebuah perjalanan asmara teman dekatnya. Sekarang
saya ingin membagikan cerita itu kepada Anda. Sebuah cerita tentang
kekuatan cinta, tentang menjawab sebuah pertanyaan seberapa jauhkah saya
akan berjuang untuk cinta yang saya percayai akan memberi saya kebahagiaan.
Sebuah perjuangan
Ceritanya begini. Seorang
laki-laki jatuh cinta kepada seorang perempuan. Saya tak perlu
menceritakanprintilannya, tetapi langsung kepada permasalahannya yang unik.
Si perempuan menolak mentah-mentah cintanya. Kalau saya katakan menolak itu
tidak hanya dengan perkataan tetapi juga dengan perbuatan.
Perbuatannya kalau saya
ceritakan seperti anak buah saya menceritakannya, Anda pasti naik pitam.
Pokoknya saya sendiri geleng kepala, kok ya bisa ada seseorang bisa
memiliki kekuatan menghadapi hal semacam itu.
Saya tak akan membagi cerita
soal penolakan itu. Saya mau bercerita betapa gigihnya laki-laki ini
memperjuangkan apa yang ia yakini baik untuk diperjuangkan. Cerita ini
bukan cerita seorang laki-laki setengah baya. Ini sebuah cerita yang
dimulai saat laki-laki ini berusia dua puluh tiga tahun. Masa muda, yang di
mata saya, adalah masa untuk dinikmati dan tidak untuk dihina-dina.
Perjuangan laki-laki ini memakan
waktu enam tahun lamanya dan ia bergeming pun tidak untuk melunturkan perjuangannya
di tengah jalan. Bayangkan kalau Anda masih semuda itu, tidakkah Anda akan
berpikir mengapa sampai perlu bersusah payah berjuang seperti itu? Bukankah
wanita tak hanya satu diciptakan di dunia ini?
Kalau Anda berpikir demikian,
saya pun tak bedanya dengan Anda. Bahkan teman-teman dekat laki-laki itu
juga memiliki pemikiran yang sama. ”Apa sih yang
membuat elo sampai segila itu? Udah tinggalin aja, dia
dah terang-terangan nolak elo.”
Tetapi, laki-laki ini benar
seperti seorang kafilah yang kekeuh berlalu, ketika semua jenis
anjing menggonggong dengan kerasnya. Sejujurnya, saya sedang dalam sebuah
perjuangan cinta yang patut dilakoni.
Tetapi, apa bedanya laki-laki
muda itu dengan saya yang setengah abad ini? Rahasia laki-laki ini hanya
ada dua. Pertama, ia memiliki apa yang dikatakan cinta yang murni. Senjata
utama ini pun saya miliki. Senjata inilah yang mampu membuat banyak orang
bertanya. ”Apanya sih yang membuat kamu cinta banget sama dia?”
Untuk laki-laki itu, cinta
murninya mampu membuat ia santai melakoni perjuangan itu tanpa menepis
bahwa ia pun mengalami naik turunnya emosi. Cintanya yang murni itu
memampukan ia berjuang dengan memasang target harapan yang minim, bukan
malah menjadi kehilangan akal.
Tak ada yang mustahil
Hal inilah yang membedakan saya
dengan laki-laki muda belia itu. Karena seperti orang kebanyakan, saya mau
berjuang kalau di atas kertas semuanya tidak minim. Kalau otak bersuara ini
bisa gol, maka saya baru mau berjuang dan baru bisa berjuang dalam keadaan
santai.
Saya keliru besar. Minim atau
tidak, sayalah yang harus jeli supaya tak kecewa pada akhirnya dan menyerah
di tengah jalan. Semua orang berharap, tak ada yang bisa menihilkan
harapan. Orang bilang jangan pernah berharap, tetapi itu tak mungkin
terjadi.
Yang mungkin terjadi adalah
tetap berharap bahkan ketika harapan itu minim atau sama sekali tidak ada.
Mungkin inilah yang disebut melakoni hidup dengan beriman. Saya sudah
berkali-kali tahu soal melakoni hidup dengan beriman. Hanya saja, saya
selalu gagal ketika mencobanya. Karena, saya terbiasa melakoni hidup dengan
otak yang bisa memperhitungkan segala risiko.
Beberapa minggu yang lalu,
laki-laki muda belia itu naik ke pelaminan. Sebuah perjuangan yang diraih
dengan harapan yang minim. Prestasikah itu? Saya bertanya dalam hati.
Tidak. Ini bukan sebuah lomba antara seorang laki-laki dengan egonya. Ini
sebuah pembelajaran tentang berjuang dengan iman, bukan dengan otak, bukan
dengan angka.
Pertanyaannya kemudian, benarkah
wanita yang mendampinginya akan mencintainya sepenuhnya? Mungkinkah ada
rasa kasihan yang menyelinap sehingga wanita ini tak kuasa untuk menolak
pinangan laki-laki ini, apalagi melihat bagaimana ia berjuang untuk
memenangkan hatinya?
Saya sungguh tak tahu dan itu
bukan hal yang penting. Yang saya tahu dan yang penting sekali adalah,
cerita di atas memberikan saya kepastian bahwa melakoni hidup dalam iman
itu tidak hanya dicoba, tetapi patut dijadikan sebagai sebuah kebiasaan.
Apakah itu sesuatu yang mustahil?
Di suatu hari, saya dikirimi
pesan begini. No matter what
happens, no matter how far you seem to be away from where you want to be,
never stop believing that you will somehow make it. Have a unrelenting
belief that things will work out, that the long road has a purpose, that
the things that you desire may not happen today, but they will happen.
Persist and persevere, your desired path remains possible. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar