Senin, 16 Desember 2013

Sinterklas dan Mandela

Sinterklas dan Mandela
Jean Couteau  ;   Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS,  15 Desember 2013

  
Nelson! Saya tidak tahu apakah hal ini merupakan titah para dewata sedunia atau memang dilakukan dengan maksud khusus bagi orang Indonesia. Namun, kini kau, dari alam-Nya nun di sana, kau pasti tahu sebabnya. Kau telah meninggal pada tanggal 5 Desember, justru ketika Sinterklas, yang di Belanda dipercaya hari Sinterklasnya jatuh pada tanggal 6, sudah bersiap-siap turun ke marcapada.
Jadi, ketika arwahmu naik ke surga sana, Sinterklas sebaliknya turun untuk mengunjungi kami. Kalian pasti berpapasan. Seandainya dia seorang diri, pasti kau ber-hello-hello saja sama dia, oleh karena kau tidak lagi berprasangka sama orang kulit putih, kan? Apalagi sekarang kau sudah menjadi ikon dunia, mengangkat kemanusiaan atas segala unsur jati diri lainnya. Tetapi, Nelson, Sinterklas putih berjenggot ini tidaklah turun seorang diri. Dia diantar oleh pembantunya yang hitam, Zwarte Piet (Piet yang Hitam), yang mengangkut barangnya yang berat itu.
Kau hitam, Nelson, si Piet pun hitam. Maka pasti kalian bercakap-cakap di jalan surga. Pasti Piet bercerita bahwa ketika bosnya asyik membagi kado kepada anak-anak yang berperilaku baik, seperti lazim dilakukan menjelang Natal, dia sendiri harus berlagak kasar dan menghukum anak-anak yang dianggap kurang patuh. Ya, Nelson, kamu baru mengerti sekarang: tugasmu belum selesai! Dunia menyanjung kebesaranmu. Namun, belum
sempurna: Sinterklas tidak mengerti bahwa dia tidak adil sama pembantunya yang hitam. Dan Zwarte Piet tidaklah tahu dirinya korban dari rasisme. Pikirkanlah hal itu, Nelson, sebelum hanyut dalam kesenangan surga yang menantimu.
Ya! Ketika masih di marcapada kau telah dengan teguh melawan diskriminasi politik, Nelson. Tetapi mudah bila disadari melakukan hal itu, karena terbuka. Lebih sulit melawan rasisme yang hadir diam-diam di dalam benak tanpa kita menyadarinya. Saya pikir bahwa kamu telah bisa membebaskan bangsamu dari kegelapan dan menjadi ”Madiba” karena telah berhasil mencabut semua benih rasisme, baik sadar maupun tidak sadar, dari kedalaman hatimu. Maka kami kini perlu bimbinganmu! Kau tahu orang Perancis, Nelson! Sombong dan kerap tak konsisten. Pada ujung abad ke-18, ketika perbudakan masih merajalela, mereka memproklamasikan HAM yang pertama (1789) dan bahkan menerima sebagai warga negara penuh beberapa wakil rakyat dari Afrika. Luar biasa! Namun, baru Napoleon diangkat sebagai kaisar, dia mengesahkan kembali (1802) perbudakan.
Di luar Perancis lebih parah lagi: warna kulit dijadikan dasar diskriminasi hukum mutlak: di Amerika pra-1960-an, Nazi di Jerman, dan tentu saja Afrika Selatan. Nikah antar ”ras” tak boleh, maka orang kawin sembunyi-sembunyi saja! Apakah lebih baik sekarang? Mungkin: ada Obama dan macam-macam LSM prokemanusiaan. Namun, di negeri HAM itu pun sendiri, seorang menteri keturunan hitam masih dapat dihujat sebagai ”kera”, seperti terjadi baru-baru ini. Perjuangan tidak pernah selesai.
Kau pasti tahu tentang Indonesia, kan, Nelson? Pengaruh Zwarte Piet telah hadir di situ, tepat seperti di negerimu, dan orang Melayunya Capetown tak beda dengan yang ada di Indonesia. Apakah semua itu menjadikan penduduk negeri itu imun dari rasisme. Lebih rumit dari itu, Nelson! Tanyai orang China saja; tanyai sama Londo seperti saya yang kerap ditunjuk oleh orangtua untuk menakut-nakuti anaknya! Yang lucu, masalah itu—yang memang biasanya lunak—tidak pernah dibicarakan secara terbuka. Seakan-akan prasangka rasis dianggap bagian dari patologi sosial orang bule saja. Namun, ada beberapa hal yang aneh: pihak yang ”jahat” di pewayangan selalu raksasa mengerikan yang berkulit hitam. Mirip ”Zwarte Piet”, yaitu sama-sama mengusung prasangka yang terpatri dalam memori mitis rakyat. Apakah itu sebabnya wanita yang cantik selalu yang ”putih”? Atau sebabnya orang hitam dari Indonesia Timur harus kerap berhadapan, antara lain, dengan guyonan yang ”tak enak didengar” , bahkan oleh telinga siapa pun juga, tentang keanehan rambut, kulit, dan bagian tubuh lainnya? Saya tidak tahu. Meskipun begitu, di negeri tropis ini, sekat rasial tak sehebat sekat agama, yang kadang bahkan dipasang oleh menteri ini atau itu—siapa tahu—atas nama kemanusiaan yang berbeda.
Yang jelas, Nelson, bila kau masih asyik berdebat di tengah jalan kau ke surga, boleh saja kau minta Sinterklas yang putih agar kurangi sombong sedikit dan berkenan menjadi pembantu, serta minta Zwarte Piet untuk menuntut persamaan hak. Tetapi lebih-lebih saya mohon, Nelson, agar sesampainya di surga, kau minta kepada para dewata semua agama agar cepat-cepat mengirim orang luhurnya yang dapat membebaskan kami dari prasangka ras, bangsa, suku, kelas, dan terutama agama. Yang kita sadari maupun yang tidak kita sadari. Kami tidak perlu lagi kebebasan, Nelson, tetapi persaudaraan. Tolong, Nelson, mintalah kepada para dewata. Selamat jalan dan salam kepada-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar