Nelson! Saya
tidak tahu apakah hal ini merupakan titah para dewata sedunia atau memang dilakukan
dengan maksud khusus bagi orang Indonesia. Namun, kini kau, dari alam-Nya
nun di sana, kau pasti tahu sebabnya. Kau telah meninggal pada tanggal 5
Desember, justru ketika Sinterklas, yang di Belanda dipercaya hari
Sinterklasnya jatuh pada tanggal 6, sudah bersiap-siap turun ke marcapada.
Jadi, ketika
arwahmu naik ke surga sana, Sinterklas sebaliknya turun untuk mengunjungi
kami. Kalian pasti berpapasan. Seandainya dia seorang diri, pasti kau
ber-hello-hello saja sama
dia, oleh karena kau tidak lagi berprasangka sama orang kulit putih, kan?
Apalagi sekarang kau sudah menjadi ikon dunia, mengangkat kemanusiaan atas
segala unsur jati diri lainnya. Tetapi, Nelson, Sinterklas putih berjenggot
ini tidaklah turun seorang diri. Dia diantar oleh pembantunya yang hitam,
Zwarte Piet (Piet yang Hitam), yang mengangkut barangnya yang berat itu.
Kau hitam,
Nelson, si Piet pun hitam. Maka pasti kalian bercakap-cakap di jalan surga.
Pasti Piet bercerita bahwa ketika bosnya asyik membagi kado kepada
anak-anak yang berperilaku baik, seperti lazim dilakukan menjelang Natal,
dia sendiri harus berlagak kasar dan menghukum anak-anak yang dianggap
kurang patuh. Ya, Nelson, kamu baru mengerti sekarang: tugasmu belum
selesai! Dunia menyanjung kebesaranmu. Namun, belum
sempurna: Sinterklas tidak mengerti bahwa dia tidak adil sama pembantunya
yang hitam. Dan Zwarte Piet tidaklah tahu dirinya korban dari rasisme.
Pikirkanlah hal itu, Nelson, sebelum hanyut dalam kesenangan surga yang
menantimu.
Ya! Ketika masih
di marcapada kau telah dengan teguh melawan diskriminasi politik, Nelson.
Tetapi mudah bila disadari melakukan hal itu, karena terbuka. Lebih sulit
melawan rasisme yang hadir diam-diam di dalam benak tanpa kita
menyadarinya. Saya pikir bahwa kamu telah bisa membebaskan bangsamu dari
kegelapan dan menjadi ”Madiba” karena telah berhasil mencabut semua benih
rasisme, baik sadar maupun tidak sadar, dari kedalaman hatimu. Maka kami
kini perlu bimbinganmu! Kau tahu orang Perancis, Nelson! Sombong dan kerap
tak konsisten. Pada ujung abad ke-18, ketika perbudakan masih merajalela,
mereka memproklamasikan HAM yang pertama (1789) dan bahkan menerima sebagai
warga negara penuh beberapa wakil rakyat dari Afrika. Luar biasa! Namun,
baru Napoleon diangkat sebagai kaisar, dia mengesahkan kembali (1802)
perbudakan.
Di luar Perancis
lebih parah lagi: warna kulit dijadikan dasar diskriminasi hukum mutlak: di
Amerika pra-1960-an, Nazi di Jerman, dan tentu saja Afrika Selatan. Nikah
antar ”ras” tak boleh, maka orang kawin sembunyi-sembunyi saja! Apakah
lebih baik sekarang? Mungkin: ada Obama dan macam-macam LSM prokemanusiaan.
Namun, di negeri HAM itu pun sendiri, seorang menteri keturunan hitam masih
dapat dihujat sebagai ”kera”, seperti terjadi baru-baru ini. Perjuangan
tidak pernah selesai.
Kau pasti tahu
tentang Indonesia, kan, Nelson? Pengaruh Zwarte Piet telah hadir di situ,
tepat seperti di negerimu, dan orang Melayunya Capetown tak beda dengan
yang ada di Indonesia. Apakah semua itu menjadikan penduduk negeri itu imun
dari rasisme. Lebih rumit dari itu, Nelson! Tanyai orang China saja; tanyai
sama Londo seperti saya yang kerap ditunjuk oleh orangtua untuk
menakut-nakuti anaknya! Yang lucu, masalah itu—yang memang biasanya
lunak—tidak pernah dibicarakan secara terbuka. Seakan-akan prasangka rasis
dianggap bagian dari patologi sosial orang bule saja. Namun, ada beberapa
hal yang aneh: pihak yang ”jahat” di pewayangan selalu raksasa mengerikan
yang berkulit hitam. Mirip ”Zwarte Piet”, yaitu sama-sama mengusung
prasangka yang terpatri dalam memori mitis rakyat. Apakah itu sebabnya
wanita yang cantik selalu yang ”putih”? Atau sebabnya orang hitam dari
Indonesia Timur harus kerap berhadapan, antara lain, dengan guyonan yang
”tak enak didengar” , bahkan oleh telinga siapa pun juga, tentang keanehan rambut,
kulit, dan bagian tubuh lainnya? Saya tidak tahu. Meskipun begitu, di
negeri tropis ini, sekat rasial tak sehebat sekat agama, yang kadang bahkan
dipasang oleh menteri ini atau itu—siapa tahu—atas nama kemanusiaan yang
berbeda.
Yang jelas,
Nelson, bila kau masih asyik berdebat di tengah jalan kau ke surga, boleh
saja kau minta Sinterklas yang putih agar kurangi sombong sedikit dan
berkenan menjadi pembantu, serta minta Zwarte Piet untuk menuntut persamaan
hak. Tetapi lebih-lebih saya mohon, Nelson, agar sesampainya di surga, kau
minta kepada para dewata semua agama agar cepat-cepat mengirim orang
luhurnya yang dapat membebaskan kami dari prasangka ras, bangsa, suku,
kelas, dan terutama agama. Yang kita sadari maupun yang tidak kita sadari.
Kami tidak perlu lagi kebebasan, Nelson, tetapi persaudaraan. Tolong, Nelson, mintalah kepada para
dewata. Selamat jalan dan salam kepada-Nya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar