Jumat, 13 Desember 2013

Giatlah Belanja, Jangan Boros

Giatlah Belanja, Jangan Boros
Candra Fajri Ananda;   Dekan FEB UB dan Ketua ISEI Malang
JAWA POS,  12 Desember 2013

  

"Bisa kita lihat betapa penting peran belanja di dalam perekonomian... Dengan kata lain, berhemat yang berujung menunda belanja atau puasa belanja akan berdampak buruk pada perekonomian." 

LIMA tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu di atas 6 persen. Sektor yang berperan sebagai mesin pertumbuhan adalah konsumsi rumah tangga. Kondisi ini berulang kembali pada 2013. Pada kuartal III, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,62 persen, tetap ditopang konsumsi rumah tangga. 

Menkeu Chatib Basri juga mengakui konsumsi rumah tangga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi pada tahun ini. Sebab, dalam enam bulan pada 2014 akan banyak diselenggarakan kegiatan kampanye untuk pemilihan legislatif dan presiden yang tentu saja akan mendorong kegiatan belanja.

Di Jawa Timur, berdasar pada data Bank Indonesia (BI), konsumsi rumah tangga meningkat 4,44 persen (year on year) atau sebesar 68 persen dari PDRB berdasar penggunaan. Karena permintaan cukup tinggi, sektor perdagangan berkembang pesat dan merupakan sektor kedua yang mampu meningkatkan pertumbuhan, yakni 3,31 persen. 

Pergeseran Pola Konsumsi 

Hal yang menarik dan perlu kita perhatikan adalah munculnya pergeseran pola konsumsi masyarakat, yakni dari makanan ke nonmakanan. Berdasar data BPS, konsumsi nonmakanan ini meningkat signifikan 9,53 persen. Misalnya, pembelian kendaraan (motor dan mobil), elektronik, HP, internet, bahkan liburan akhir minggu. Karena itu, sektor jasa mampu menyokong pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. 

Namun, ekonomi konsumsi memerlukan kehati-hatian soal keberlanjutannya (sustainability). Sebagian besar barang nonmakanan adalah barang impor. Ini sangat rawan terhadap kurs dan regulasi perdagangan internasional. Jika terjadi guncangan di luar dan inflasi, pertumbuhan ekonomi akan mengalami koreksi yang signifikan. 

Pertumbuhan ekonomi yang seperti ini juga kurang mampu menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. Berbeda dengan pertumbuhan yang didorong oleh investasi, yang lebih melibatkan angkatan kerja dalam proses produksi barang maupun jasa. 

Ekonomi konsumsi juga tidak bisa mengurangi ketimpangan antardaerah. Jumlah penduduk yang melimpah tidak dapat ditampung oleh industri dan menimbulkan upah murah. Akibatnya, pendapatan masyarakat timpang. Menurut BPS, dalam lima tahun terakhir, distribusi pendapatan semakin lebar. Pada 2009, indeks gini hanya 0,37, menjadi 0,41 pada 2013.

Munculnya New Spenders 

Banyak orang terkaget-kaget saat berbagai produk mewah terjual seperti kacang rebus. Mobil Ferrari, Porsche, Audi, BMW, Range Rover bisa ditemukan dengan mudah di jalan-jalan raya kita. Konsumsi "kemewahan" lain juga meningkat drastis. Misal, menyemutnya jamaah umrah, penuhnya kelas kuliah double degree seramai menjamurnya pusat-pusat perdagangan dan peminat condotel.

Pertumbuhan memunculkan kelompok menengah baru. World Bank menyebut ada 20 persen kelas menengah baru di Indonesia. Mereka menjadi new spenders, yakni kelompok yang selalu berbelanja untuk produk-produk baru, selalu mencoba aktivitas ekonomi baru, dan belanja untuk kepuasan (utility) mereka sendiri. Mereka menjadi insentif bagi dunia usaha untuk terus berkarya menghasilkan barang-barang kebutuhan kelompok ini.

Kondisi seperti ini bisa sangat positif dan signifikan untuk perekonomian. Apalagi jika barang yang dikonsumsi produk dalam negeri. Belanja mereka menyemangati para pengusaha berekspansi. Namun, repotnya, produk impor masih mendominasi konsumsi mereka. 

Jangan Boros 

Bisa kita lihat betapa penting peran belanja di dalam perekonomian. Bahkan, Keynes melihat perekonomian yang lesu bisa didorong oleh konsumsi, khususnya konsumsi pemerintah. Selain pintar cari uang, kita semestinya juga bijak dalam berbelanja. Dengan kata lain, terlalu berhemat yang berujung menunda belanja atau puasa belanja akan berdampak buruk pada perekonomian.

Pola ekonomi konsumsi ini sebenarnya menjadi peluang bagi pemerintah untuk melakukan restrukturisasi sektor industri. Dari sisi fleksibilitas, UKM yang jumlahnya sekitar 45 juta memiliki kans yang lebih besar untuk bertransformasi memenuhi kebutuhan pasar ini. Pemerintah dapat memfasilitasi UKM untuk menghasilkan produk dengan standar kualitas setara impor. Dari sisi adopsi teknologi, usaha besar (UB) memiliki keleluasaan yang lebih daripada UKM. 

Jadi, betapa penting kita tetap membelanjakan pendapatan kita walaupun tetap rasional, tidak boros, dan sesuai dengan kebutuhan. Usahakan belanja pada produk dalam negeri untuk mendorong ekspansi usaha dan menciptakan lapangan kerja serta mendorong munculnya kelompok pembelanja baru. 

Nanti, agar tidak rentan, perlu redesain agar aktor penentu pertumbuhan ekonomi tidak lagi bersandar pada konsumsi, tetapi perlu diperlebar pada penguatan peran investasi serta perdagangan (ekspor-impor). Jika masyarakat kita boros (tidak rasional), pertumbuhan ekonomi yang kita capai tetap tidak mengentas pengangguran dan kemiskinan serta tetap lebarnya ketimpangan. Ayo tetap belanja, tetapi hati-hati, jangan boros, Bro... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar