"Bisa kita lihat
betapa penting peran belanja di dalam perekonomian... Dengan kata lain,
berhemat yang berujung menunda belanja atau puasa belanja akan berdampak
buruk pada perekonomian."
LIMA tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia
selalu di atas 6 persen. Sektor yang berperan sebagai mesin pertumbuhan
adalah konsumsi rumah tangga. Kondisi ini berulang kembali pada 2013. Pada
kuartal III, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,62 persen, tetap ditopang
konsumsi rumah tangga.
Menkeu Chatib Basri juga mengakui konsumsi
rumah tangga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi pada tahun ini. Sebab,
dalam enam bulan pada 2014 akan banyak diselenggarakan kegiatan kampanye
untuk pemilihan legislatif dan presiden yang tentu saja akan mendorong
kegiatan belanja.
Di Jawa Timur, berdasar pada data Bank
Indonesia (BI), konsumsi rumah tangga meningkat 4,44 persen (year on year)
atau sebesar 68 persen dari PDRB berdasar penggunaan. Karena permintaan
cukup tinggi, sektor perdagangan berkembang pesat dan merupakan sektor
kedua yang mampu meningkatkan pertumbuhan, yakni 3,31 persen.
Pergeseran Pola Konsumsi
Hal yang menarik dan perlu kita perhatikan
adalah munculnya pergeseran pola konsumsi masyarakat, yakni dari makanan ke
nonmakanan. Berdasar data BPS, konsumsi nonmakanan ini meningkat signifikan
9,53 persen. Misalnya, pembelian kendaraan (motor dan mobil), elektronik,
HP, internet, bahkan liburan akhir minggu. Karena itu, sektor jasa mampu
menyokong pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.
Namun, ekonomi konsumsi memerlukan
kehati-hatian soal keberlanjutannya (sustainability).
Sebagian besar barang nonmakanan adalah barang impor. Ini sangat rawan
terhadap kurs dan regulasi perdagangan internasional. Jika terjadi
guncangan di luar dan inflasi, pertumbuhan ekonomi akan mengalami koreksi
yang signifikan.
Pertumbuhan ekonomi yang seperti ini juga
kurang mampu menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. Berbeda
dengan pertumbuhan yang didorong oleh investasi, yang lebih melibatkan
angkatan kerja dalam proses produksi barang maupun jasa.
Ekonomi konsumsi juga tidak bisa mengurangi
ketimpangan antardaerah. Jumlah penduduk yang melimpah tidak dapat
ditampung oleh industri dan menimbulkan upah murah. Akibatnya, pendapatan
masyarakat timpang. Menurut BPS, dalam lima tahun terakhir, distribusi
pendapatan semakin lebar. Pada 2009, indeks gini hanya 0,37, menjadi 0,41
pada 2013.
Munculnya New Spenders
Banyak orang terkaget-kaget saat berbagai
produk mewah terjual seperti kacang rebus. Mobil Ferrari, Porsche, Audi,
BMW, Range Rover bisa ditemukan dengan mudah di jalan-jalan raya kita.
Konsumsi "kemewahan" lain juga meningkat drastis. Misal,
menyemutnya jamaah umrah, penuhnya kelas kuliah double degree seramai menjamurnya
pusat-pusat perdagangan dan peminat condotel.
Pertumbuhan memunculkan kelompok menengah
baru. World Bank menyebut ada 20 persen kelas menengah baru di Indonesia.
Mereka menjadi new spenders, yakni kelompok yang selalu berbelanja untuk
produk-produk baru, selalu mencoba aktivitas ekonomi baru, dan belanja
untuk kepuasan (utility) mereka
sendiri. Mereka menjadi insentif bagi dunia usaha untuk terus berkarya
menghasilkan barang-barang kebutuhan kelompok ini.
Kondisi seperti ini bisa sangat positif dan
signifikan untuk perekonomian. Apalagi jika barang yang dikonsumsi produk
dalam negeri. Belanja mereka menyemangati para pengusaha berekspansi.
Namun, repotnya, produk impor masih mendominasi konsumsi mereka.
Jangan Boros
Bisa kita lihat betapa penting peran belanja
di dalam perekonomian. Bahkan, Keynes melihat perekonomian yang lesu bisa
didorong oleh konsumsi, khususnya konsumsi pemerintah. Selain pintar cari
uang, kita semestinya juga bijak dalam berbelanja. Dengan kata lain,
terlalu berhemat yang berujung menunda belanja atau puasa belanja akan
berdampak buruk pada perekonomian.
Pola ekonomi konsumsi ini sebenarnya menjadi
peluang bagi pemerintah untuk melakukan restrukturisasi sektor industri.
Dari sisi fleksibilitas, UKM yang jumlahnya sekitar 45 juta memiliki kans
yang lebih besar untuk bertransformasi memenuhi kebutuhan pasar ini.
Pemerintah dapat memfasilitasi UKM untuk menghasilkan produk dengan standar
kualitas setara impor. Dari sisi adopsi teknologi, usaha besar (UB)
memiliki keleluasaan yang lebih daripada UKM.
Jadi, betapa penting kita tetap membelanjakan
pendapatan kita walaupun tetap rasional, tidak boros, dan sesuai dengan
kebutuhan. Usahakan belanja pada produk dalam negeri untuk mendorong
ekspansi usaha dan menciptakan lapangan kerja serta mendorong munculnya
kelompok pembelanja baru.
Nanti, agar tidak rentan, perlu redesain agar
aktor penentu pertumbuhan ekonomi tidak lagi bersandar pada konsumsi,
tetapi perlu diperlebar pada penguatan peran investasi serta perdagangan
(ekspor-impor). Jika masyarakat kita boros (tidak rasional), pertumbuhan
ekonomi yang kita capai tetap tidak mengentas pengangguran dan kemiskinan
serta tetap lebarnya ketimpangan. Ayo
tetap belanja, tetapi hati-hati, jangan boros, Bro... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar