Belakangan
ini wacana koalisi “parpol Islam” kembali mengemuka. Sebagai dinamika
politik, hal seperti itu lumrah terjadi. Hanya saja kita perlu mendalami
terlebih dahulu argumentasi yang dibangun elite “parpol Islam” atas
koalisi.
Memang, negeri ini membutuhkan kerja sama
semua pihak, terutama partai politik (parpol). Namun kerja sama dalam
konteks koalisi “parpol Islam” agaknya tak semudah membalikkan telapak
tangan. Selain itu, kita harus memahami konteks nilai dan ideologi yang
mendasari parpol Islam. Apakah parpol Islam sebatas parpol yang memiliki
platform yang berasaskan Islam atau parpol yang berbasis massa Islam?
Hal yang tak kalah penting, kita harus
memahami konteks dinamika sosial. Sebab, pemahaman dan sikap rakyat selalu
berkembang sejalan dengan tuntutan zaman. Di era “kebebasan” ini, tuntutan
rakyat atas eksistensi dan peran parpol, termasuk “Parpol Islam”, tak
sebatas pada persoalan ideologis semata, tetapi juga mengarah pada hal-hal yang
pragmatis. Pendekatan emosional- ideologis memang penting, tetapi tak
berarti menafikan pendekatan program.
Becermin
pada Sejarah
Kita coba telaah kembali pengalaman pemilu,
termasuk terjadinya koalisi antarparpol maupun “Parpol Islam” yang pernah kita
lalui selama ini. Pengalaman pemilu yang dikenal demokratis pada 1955,
menurut catatan Deliar Noer (1980), mampu memunculkan 4 (empat) “partai
besar”, yakni PNI (8,5 juta suara atau 22,3%), Masyumi (8 juta atau 20,9%),
NU (7 juta atau 18,4%), dan PKI (6,1 juta atau 16.4%). Selain itu, ada pula
partai- partai lain yang berasaskan Islam, yakni PSII (2,9%), Perti (1,3%),
PPTI (0,2%), dan AKUI (Angkatan Kesatuan Umat Islam, 0,2%).
Keempat “partai besar” tersebut secara
berturut-turut pada pemilu-pemilu selanjutnya hanya memperoleh 57 kursi, 57
kursi, 45 kursi, dan 39 kursi di parlemen yang terdiri atas 257 anggota.
Munculnya keempat “parpol besar” seperti Nahdlatul Ulama (NU) merupakan
wujud kesadaran dan partisipasi rakyat yang cukup tinggi akan pentingnya
pemilu.
Mengenai pengelompokan parpol, terutama pada
awal Orde Baru, setahun pra-Pemilu 1971, Daniel Dhakidae (seri Prisma,
1986) mencatat parpol peserta pemilu dikelompokkan menjadi tiga golongan
besar, yakni golongan nasionalis, golongan spiritual (NU, Parmusi, PSII,
Perti), dan Golongan Karya.
Penggolongan ini semakin diperkuat pada Pemilu
1977 dan hasil pemilu tersebut menunjukkan Golkar memperoleh suara 62,11%,
diikuti PPP, fusi dari “Parpol Islam” (29,9%) dan PDI (8,9%). Perolehan
suara golongan spiritual tampaknya tak mampu menandingi Golongan Karya
meski telah dilakukan fusi dalam satu wadah parpol. Selama era Reformasi
ini, kita memiliki pengalaman pemilu sebanyak tiga kali, yakni 1999, 2004,
dan 2009.
Data KPU menunjukkan hasil Pemilu 1999 meloloskan
20 parpol yang memperoleh kursi di parlemen. Koalisi antarparpol pun tak
terelakkan, terutama munculnya koalisi Poros Tengah, yakni PKB, PPP, PAN,
ditambah parpol Islam lain, plus Golkar. Koalisi ini berjalan efektif untuk
mengusung KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai presiden RI keempat.
Tapi, akhirnya, koalisi Poros Tengah ditambah
kekuatan politik lain seperti Golkar, PDI Perjuangan minus PKB yang
menjatuhkan Gus Dur pula dari kursi presiden di tengah jalan. Sebuah
sejarah penuh pengkhianatan. Lantas Pemilu 2004 diikuti 24 parpol dan yang
lolos di parlemen hanya 16 parpol, yakni Partai Golkar, PDI Perjuangan,
PPP, Partai Demokrat, PAN, PKB, PKS, PBR, PDS, PBB, PPDK, Partai Pelopor,
PKPB, PKPI, PNI Marhaenisme, PPDI.
Pemilu 2009 diikuti 38 parpol dan yang lolos
ke parlemen hanya 9 parpol, yakni Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI
Perjuangan, PKS, PAN, PPP, PKB, Partai Gerindra, dan Partai Hanura. Koalisi
pun terjadi lagi, yakni Partai Demokrat, Partai Golkar, PPP, PAN, PKB, dan
PKS.
Tak hanya berhenti di situ, peserta koalisi
itu juga membentuk Setgab (Sekretariat Gabungan) karena keberhasilannya
mengusung Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden RI. Memang akhir-akhir
ini Setgab mengalami “disfungsi” elan vitalnya karena sudah lama tidak ada
rapat-rapat yang membahas hal-hal strategis mengenai berbagai masalah
kebangsaan dan kenegaraan.
Mungkinkah Koalisi?
Melihat fakta tersebut, tampaknya ada hal
penting yang patut kita cermati bahwa koalisi antarparpol tak lagi hanya
ditentukan oleh kepentingan ideologis, tetapi ditentukan juga oleh faktor
nonideologis. Peristiwa koalisi Poros Tengah, misalnya, tak hanya
ditentukan oleh (sekadar penggolongan) “parpol Islam” semisal PPP maupun
parpol berbasis massa Islam semisal PAN dan PKB, tetapi juga parpol
nasionalis semisal Partai Golkar.
Demikian pula keberhasilan koalisi pada Pemilu
2009 yang diikuti oleh (sekadar penggolongan) parpol nasionalis semisal
Partai Demokrat dan Partai Golkar, “parpol Islam” semisal PPP dan PKS,
serta parpol berbasis massa Islam semisal PAN dan PKB. Andai saja terjadi
koalisi antarparpol, terlebih parpol Islam, kiranya perlu kita sikapi dalam
perspektif yang lebih luas dan mendalam.
Pertama, munculnya wacana koalisi antarparpol,
termasuk parpol Islam, terkait capres dan cawapres merupakan hal wajar dan
keputusan akhir pun masih menunggu hasil pemilu legislatif. Kedua, koalisi
parpol Islam mungkin saja terjadi ataupun sebaliknya.
Kemungkinan ini sangat ditentukan oleh
beberapa hal seperti (1) ada tidaknya kepentingan nilai ideologis maupun
pragmatisme, (2) ada tidaknya pasangan capres dan cawapres yang hendak
diusung, yang benar-benar kredibel, berintegritas tinggi, dan akseptabel di
mata rakyat. “Daya jual” ini penting agar sekaligus meningkatkan citra diri
parpol dan mendongkrak tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu.
Faktor-faktor penentu lainnya adalah (3) ada
tidaknya agenda parpol maupun parpol Islam yang secara konkret prorakyat,
prokeadilan, dan prokesejahteraan. Performa seperti ini tentu tak terjadi
secara dadakan, tetapi berproses dari waktu ke waktu. Selanjutnya (4) ada
tidaknya program pendidikan politik terkait politik bersih. Meski biaya
politik tergolong mahal, tetap saja politik yang mengedepankan kejujuran
masih menjadi dambaan rakyat.
Kita tentu berharap pada parpol, termasuk
parpol Islam maupun parpol berbasis massa Islam, agar menjadi bagian dari
fungsi penjaga gawang demokrasi yang memberi jawaban atas problematika
bangsa. Jika hal ini terjadi, kita yakin, dengan atau tanpa adanya koalisi
parpol Islam, harapan perubahan Indonesia yang lebih baik akan terwujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar