Jumat, 13 Desember 2013

Mungkinkah Koalisi ‘Parpol Islam’?

Mungkinkah Koalisi ‘Parpol Islam’?
Marwan Jafar ;   Ketua Fraksi PKB DPR RI dan Ketua DPP PKB
KORAN SINDO,  12 Desember 2013

  

Belakangan ini wacana koalisi “parpol Islam” kembali mengemuka. Sebagai dinamika politik, hal seperti itu lumrah terjadi. Hanya saja kita perlu mendalami terlebih dahulu argumentasi yang dibangun elite “parpol Islam” atas koalisi. 

Memang, negeri ini membutuhkan kerja sama semua pihak, terutama partai politik (parpol). Namun kerja sama dalam konteks koalisi “parpol Islam” agaknya tak semudah membalikkan telapak tangan. Selain itu, kita harus memahami konteks nilai dan ideologi yang mendasari parpol Islam. Apakah parpol Islam sebatas parpol yang memiliki platform yang berasaskan Islam atau parpol yang berbasis massa Islam? 

Hal yang tak kalah penting, kita harus memahami konteks dinamika sosial. Sebab, pemahaman dan sikap rakyat selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman. Di era “kebebasan” ini, tuntutan rakyat atas eksistensi dan peran parpol, termasuk “Parpol Islam”, tak sebatas pada persoalan ideologis semata, tetapi juga mengarah pada hal-hal yang pragmatis. Pendekatan emosional- ideologis memang penting, tetapi tak berarti menafikan pendekatan program. 

Becermin pada Sejarah 

Kita coba telaah kembali pengalaman pemilu, termasuk terjadinya koalisi antarparpol maupun “Parpol Islam” yang pernah kita lalui selama ini. Pengalaman pemilu yang dikenal demokratis pada 1955, menurut catatan Deliar Noer (1980), mampu memunculkan 4 (empat) “partai besar”, yakni PNI (8,5 juta suara atau 22,3%), Masyumi (8 juta atau 20,9%), NU (7 juta atau 18,4%), dan PKI (6,1 juta atau 16.4%). Selain itu, ada pula partai- partai lain yang berasaskan Islam, yakni PSII (2,9%), Perti (1,3%), PPTI (0,2%), dan AKUI (Angkatan Kesatuan Umat Islam, 0,2%).

Keempat “partai besar” tersebut secara berturut-turut pada pemilu-pemilu selanjutnya hanya memperoleh 57 kursi, 57 kursi, 45 kursi, dan 39 kursi di parlemen yang terdiri atas 257 anggota. Munculnya keempat “parpol besar” seperti Nahdlatul Ulama (NU) merupakan wujud kesadaran dan partisipasi rakyat yang cukup tinggi akan pentingnya pemilu. 

Mengenai pengelompokan parpol, terutama pada awal Orde Baru, setahun pra-Pemilu 1971, Daniel Dhakidae (seri Prisma, 1986) mencatat parpol peserta pemilu dikelompokkan menjadi tiga golongan besar, yakni golongan nasionalis, golongan spiritual (NU, Parmusi, PSII, Perti), dan Golongan Karya. 

Penggolongan ini semakin diperkuat pada Pemilu 1977 dan hasil pemilu tersebut menunjukkan Golkar memperoleh suara 62,11%, diikuti PPP, fusi dari “Parpol Islam” (29,9%) dan PDI (8,9%). Perolehan suara golongan spiritual tampaknya tak mampu menandingi Golongan Karya meski telah dilakukan fusi dalam satu wadah parpol. Selama era Reformasi ini, kita memiliki pengalaman pemilu sebanyak tiga kali, yakni 1999, 2004, dan 2009. 

Data KPU menunjukkan hasil Pemilu 1999 meloloskan 20 parpol yang memperoleh kursi di parlemen. Koalisi antarparpol pun tak terelakkan, terutama munculnya koalisi Poros Tengah, yakni PKB, PPP, PAN, ditambah parpol Islam lain, plus Golkar. Koalisi ini berjalan efektif untuk mengusung KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai presiden RI keempat. 

Tapi, akhirnya, koalisi Poros Tengah ditambah kekuatan politik lain seperti Golkar, PDI Perjuangan minus PKB yang menjatuhkan Gus Dur pula dari kursi presiden di tengah jalan. Sebuah sejarah penuh pengkhianatan. Lantas Pemilu 2004 diikuti 24 parpol dan yang lolos di parlemen hanya 16 parpol, yakni Partai Golkar, PDI Perjuangan, PPP, Partai Demokrat, PAN, PKB, PKS, PBR, PDS, PBB, PPDK, Partai Pelopor, PKPB, PKPI, PNI Marhaenisme, PPDI. 

Pemilu 2009 diikuti 38 parpol dan yang lolos ke parlemen hanya 9 parpol, yakni Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKS, PAN, PPP, PKB, Partai Gerindra, dan Partai Hanura. Koalisi pun terjadi lagi, yakni Partai Demokrat, Partai Golkar, PPP, PAN, PKB, dan PKS. 

Tak hanya berhenti di situ, peserta koalisi itu juga membentuk Setgab (Sekretariat Gabungan) karena keberhasilannya mengusung Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden RI. Memang akhir-akhir ini Setgab mengalami “disfungsi” elan vitalnya karena sudah lama tidak ada rapat-rapat yang membahas hal-hal strategis mengenai berbagai masalah kebangsaan dan kenegaraan. 

Mungkinkah Koalisi? 

Melihat fakta tersebut, tampaknya ada hal penting yang patut kita cermati bahwa koalisi antarparpol tak lagi hanya ditentukan oleh kepentingan ideologis, tetapi ditentukan juga oleh faktor nonideologis. Peristiwa koalisi Poros Tengah, misalnya, tak hanya ditentukan oleh (sekadar penggolongan) “parpol Islam” semisal PPP maupun parpol berbasis massa Islam semisal PAN dan PKB, tetapi juga parpol nasionalis semisal Partai Golkar. 

Demikian pula keberhasilan koalisi pada Pemilu 2009 yang diikuti oleh (sekadar penggolongan) parpol nasionalis semisal Partai Demokrat dan Partai Golkar, “parpol Islam” semisal PPP dan PKS, serta parpol berbasis massa Islam semisal PAN dan PKB. Andai saja terjadi koalisi antarparpol, terlebih parpol Islam, kiranya perlu kita sikapi dalam perspektif yang lebih luas dan mendalam. 

Pertama, munculnya wacana koalisi antarparpol, termasuk parpol Islam, terkait capres dan cawapres merupakan hal wajar dan keputusan akhir pun masih menunggu hasil pemilu legislatif. Kedua, koalisi parpol Islam mungkin saja terjadi ataupun sebaliknya. 

Kemungkinan ini sangat ditentukan oleh beberapa hal seperti (1) ada tidaknya kepentingan nilai ideologis maupun pragmatisme, (2) ada tidaknya pasangan capres dan cawapres yang hendak diusung, yang benar-benar kredibel, berintegritas tinggi, dan akseptabel di mata rakyat. “Daya jual” ini penting agar sekaligus meningkatkan citra diri parpol dan mendongkrak tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu. 

Faktor-faktor penentu lainnya adalah (3) ada tidaknya agenda parpol maupun parpol Islam yang secara konkret prorakyat, prokeadilan, dan prokesejahteraan. Performa seperti ini tentu tak terjadi secara dadakan, tetapi berproses dari waktu ke waktu. Selanjutnya (4) ada tidaknya program pendidikan politik terkait politik bersih. Meski biaya politik tergolong mahal, tetap saja politik yang mengedepankan kejujuran masih menjadi dambaan rakyat. 

Kita tentu berharap pada parpol, termasuk parpol Islam maupun parpol berbasis massa Islam, agar menjadi bagian dari fungsi penjaga gawang demokrasi yang memberi jawaban atas problematika bangsa. Jika hal ini terjadi, kita yakin, dengan atau tanpa adanya koalisi parpol Islam, harapan perubahan Indonesia yang lebih baik akan terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar