Dokter
Setengah Dewa
Wahyu Dhyatmika ;
Wartawan Tempo
|
TEMPO.CO,
17 Desember 2013
Banyak
orang marah ketika dokter-dokter di seluruh Indonesia melakukan aksi
keprihatinan dan menolak melayani pasien selama satu hari, akhir November
lalu. Dokter yang memutuskan mogok bekerja atas nama solidaritas pada
koleganya yang dipenjara dituding egois dan arogan.
Kemarahan publik ini masuk akal. Ketika
dokter-dokter memutuskan turun ke jalan, otomatis mereka meninggalkan rumah
sakit, puskesmas, dan klinik-klinik tempat mereka bertugas. Para pasien,
warga yang membutuhkan perawatan kesehatan, merasa diabaikan. Mereka merasa
dinomorduakan.
Namun, menurut saya, ada alasan lain di
balik kemarahan publik ini. Akarnya ada pada perubahan persepsi kita
tentang dokter. Dulu kita memandang para dokter bak manusia setengah dewa.
Di mata kita, mereka punya pengetahuan ajaib untuk membuat kita sehat dan
sembuh dari sakit yang menyiksa. Datang dengan sejumlah keluhan, kita
berharap keluar dari ruang periksa dengan tubuh kembali bugar seperti sedia
kala.
Karena itu, di mata kita, dokter adalah
sosok mahasempurna. Bicaranya harus lemah lembut, perangainya kudu mulia.
Karena itu, kita keheranan ketika ada dokter yang memprotes soal gajinya
yang terlambat dibayar. Kita juga tak habis pikir ketika ada dokter yang
tak mau ditugaskan di daerah terpencil. Bukankah motivasi seseorang menjadi
dokter adalah pengabdian kepada umat manusia? Bahkan tidak dibayar pun
seharusnya tidak apa-apa.
Dalam satu bagian di bukunya yang berjudul
Blink, Malcolm Gladwell mengutip sebuah riset dari peneliti kasus
malpraktek, Wendy Levinson, yang menemukan bahwa semua tuntutan malpraktek
yang dialami para dokter di Amerika Serikat sebenarnya tidak ada
hubungannya dengan kemampuan medis mereka.
Problemnya ternyata simpel: para dokter yang
punya masalah dengan pasien rata-rata menghabiskan waktu lebih sedikit
untuk mendengarkan keluhan pasien dibanding dokter yang tak pernah diseret
ke pengadilan.
Riset ini dilengkapi oleh psikolog Nalini
Ambady, yang menemukan bahwa, ketika melakukan diagnosis, dokter yang nada
suaranya "dominan dan berjarak" kerap bermasalah dengan pasien.
Sedangkan dokter yang nada suaranya "hangat dan penuh perhatian"
cenderung tak pernah dituduh malpraktek, seburuk apa pun resep yang mereka
buat. Pendeknya, kita semua ingin dokter yang ramah, baik budi, dan tidak
sombong.
Inilah yang menjadi sumber masalah.
Belakangan ini, sosok dokter sebagai "manusia setengah dewa" kian
luntur pamornya. Kita sekarang cenderung memandang dokter dengan penuh
selidik dan curiga. Soalnya, kita sering terperangah melihat tagihan biaya
pemeriksaan kesehatan.
Kita juga makin sering mendengar kabar soal
dokter yang seenak perutnya memeriksa pasien. Banyak cerita soal kerabat
yang terpaksa menunggu berjam-jam sambil terbaring kesakitan di ranjang
rumah sakit, sedangkan sang dokter entah sedang praktek di mana. Ketika
pelayanan kesehatan kian komersial dan menjadi industri dalam skala
raksasa, kita mulai melihat dokter sebagai penjual jasa semata.
Dalam situasi seperti inilah muncul kasus
Dokter Ayu di Manado, Sulawesi Utara. Disadari atau tidak, dia adalah
korban dari persepsi buruk publik tentang dokter dan pelayanan kesehatan
secara umum. Keputusan Majelis Etik Kehormatan Dokter yang menilai Dokter
Ayu tidak bersalah menjadi tidak relevan lagi. Semua ingin melihat sang
manusia setengah dewa menjadi pesakitan. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar