Rabu, 18 Desember 2013

Risiko Politik Duet Mega-Jokowi

Risiko Politik Duet Mega-Jokowi
Bawono Kumoro  ;    Peneliti Politik The Habibie Center
TEMPO.CO,  17 Desember 2013

  

Di tengah melesatnya nama Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden (capres) dengan tingkat popularitas dan elektabilitas tertinggi dalam sejumlah survei, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ternyata juga mempersiapkan skenario mengusung Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai capres dan Jokowi sebagai cawapres. 

Skenario itu, sebagaimana diungkapkan Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristianto, merupakan hasil survei dan kajian internal partai mencermati adanya tantangan berat pemimpin bangsa di masa depan, seperti persoalan ekonomi global. Benarkah itu alasannya? Akankah hasil survei tetap menempatkan duet itu posisi teratas sebagaimana bila Jokowi diposisikan sebagai capres?

Sulit dimungkiri bila kemunculan skenario Megawati-Jokowi tidak dapat dilepaskan dari masih adanya ambisi politik Megawati untuk menjadi presiden mendatang. Ambisi politik itu dapat dicermati dari keengganan putri proklamator Bung Karno tersebut untuk menetapkan capres PDIP sebelum pemilu legislatif. Megawati tampak tidak peduli terhadap hasil survei sejumlah lembaga mengenai "Jokowi Effect". 

Sebagaimana diketahui, Megawati merupakan pendiri sekaligus tokoh utama PDIP. Posisi itu membuat Megawati diberikan peran strategis melalui rapat kerja nasional (rakernas) II PDIP untuk menetapkan capres. Seluruh pengurus ataupun kader partai akan tunduk pada keputusan Megawati. Karena itu, mustahil bagi Jokowi untuk tampil sebagai capres PDIP, apabila Megawati tidak memberikan restu politik.

Hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan PDIP akan memperoleh suara sebesar 37,8 persen jika mengusung Jokowi sebagai capres sebelum pelaksanaan pemilu legislatif. Namun, jika partai berlambang moncong putih itu tidak mencalonkan Jokowi sebelum pemilu legislatif, PDIP hanya akan bertengger di urutan kedua dengan perolehan suara sebesar 14,4 persen di bawah Partai Golkar yang meraup 21,8 persen suara.

Ketetapan hati Megawati untuk berkukuh mengumumkan capres PDIP setelah pemilu legislatif, meski hasil survei menunjukkan hal itu kurang menguntungkan secara elektoral, merupakan bentuk pesan politik kepada publik bahwa siapa pun kader PDIP terbuka kemungkinan menjadi capres, tidak terkecuali Megawati sendiri. Itulah pesan politik yang hendak disampaikan Megawati kepada publik di balik keengganan untuk menetapkan capres PDIP sebelum pemilu legislatif.

Kemudian bila kelak wacana untuk menduetkan Megawati dan Jokowi dalam pilpres 2014 benar terwujud, risiko politik apa saja yang mungkin akan muncul? Bagaimana pula nasib karier politik Jokowi di masa depan? Di dunia politik, setiap keputusan yang diambil tentu bukan tanpa risiko sama sekali. Demikian pula dengan keputusan PDIP bila benar akan menduetkan Megawati dan Jokowi dalam pilpres mendatang. 

Ada sejumlah risiko politik yang sangat mungkin akan muncul apabila Megawati dan Jokowi ditandemkan sebagai capres-cawapres. Pertama, kemungkinan duet Megawati-Jokowi kurang diminati pemilih. Benar bahwa Jokowi merupakan tokoh dengan tingkat popularitas dan elektabilitas tertinggi di antara tokoh-tokoh lain. Tapi, patut diingat bahwa tingkat popularitas dan elektabilitas yang tinggi itu terjadi dalam konteks penempatan Jokowi sebagai capres, bukan cawapres. Karena itu, menempatkan Jokowi sebagai cawapres pendamping Megawati menjadi perjudian politik terbesar bagi PDIP. 

Dengan menempatkan Jokowi sebagai cawapres, PDIP memandang remeh keinginan sebagian besar calon pemilih agar Jokowi tampil sebagai capres dalam pilpres mendatang sebagaimana terekam melalui hasil-hasil survei.

Kedua, apabila duet itu terpilih sebagai presiden dan wakil presiden periode 2014-2019, bukan tidak mungkin bintang politik Jokowi setelah Pemilu 2014 tidak akan lagi bersinar terang sebagaimana saat ini. Alih-alih semakin bersinar, bintang politik Jokowi justru berpotensi meredup secara perlahan. Mengapa?

Mengingat tampil sebagai wapres, di mana komando pemerintahan berada di tangan Megawati, apabila pemerintahan kelak tidak berjalan dengan baik atau membawa perubahan signifikan bagi perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak pelak lagi Jokowi akan turut terkena getah. Lebih jauh, hal itu membawa konsekuensi berupa kehilangan kesempatan untuk tampil sebagai capres dengan tingkat popularitas dan elektabilitas tinggi dalam pilpres 2019.

Karena itu, dengan mencermati berbagai hasil survei dan kondisi politik saat ini, di mana sebagian besar publik sangat menginginkan Jokowi tampil sebagai capres dalam kontestasi pilpres 2014, alangkah bijak bila Megawati selaku ketua umum bersikap legowo memberikan tiket kontestasi capres kepada mantan Wali Kota Solo tersebut, meski bukan berasal dari trah Sukarno.

Di samping itu, kelapangan hati Megawati untuk memberikan jalan kepada Jokowi akan dicatat sejarah dengan tinta emas sebagai bagian dari usaha regenerasi kepemimpinan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar