Di
tengah melesatnya nama Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden (capres)
dengan tingkat popularitas dan elektabilitas tertinggi dalam sejumlah
survei, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ternyata juga
mempersiapkan skenario mengusung Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri
sebagai capres dan Jokowi sebagai cawapres.
Skenario itu, sebagaimana diungkapkan Wakil
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristianto, merupakan hasil survei dan
kajian internal partai mencermati adanya tantangan berat pemimpin bangsa di
masa depan, seperti persoalan ekonomi global. Benarkah itu alasannya?
Akankah hasil survei tetap menempatkan duet itu posisi teratas sebagaimana
bila Jokowi diposisikan sebagai capres?
Sulit dimungkiri bila kemunculan skenario
Megawati-Jokowi tidak dapat dilepaskan dari masih adanya ambisi politik Megawati
untuk menjadi presiden mendatang. Ambisi politik itu dapat dicermati dari
keengganan putri proklamator Bung Karno tersebut untuk menetapkan capres
PDIP sebelum pemilu legislatif. Megawati tampak tidak peduli terhadap hasil
survei sejumlah lembaga mengenai "Jokowi Effect".
Sebagaimana diketahui, Megawati merupakan
pendiri sekaligus tokoh utama PDIP. Posisi itu membuat Megawati diberikan
peran strategis melalui rapat kerja nasional (rakernas) II PDIP untuk
menetapkan capres. Seluruh pengurus ataupun kader partai akan tunduk pada
keputusan Megawati. Karena itu, mustahil bagi Jokowi untuk tampil sebagai
capres PDIP, apabila Megawati tidak memberikan restu politik.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia
menunjukkan PDIP akan memperoleh suara sebesar 37,8 persen jika mengusung
Jokowi sebagai capres sebelum pelaksanaan pemilu legislatif. Namun, jika
partai berlambang moncong putih itu tidak mencalonkan Jokowi sebelum pemilu
legislatif, PDIP hanya akan bertengger di urutan kedua dengan perolehan
suara sebesar 14,4 persen di bawah Partai Golkar yang meraup 21,8 persen
suara.
Ketetapan hati Megawati untuk berkukuh
mengumumkan capres PDIP setelah pemilu legislatif, meski hasil survei
menunjukkan hal itu kurang menguntungkan secara elektoral, merupakan bentuk
pesan politik kepada publik bahwa siapa pun kader PDIP terbuka kemungkinan
menjadi capres, tidak terkecuali Megawati sendiri. Itulah pesan politik
yang hendak disampaikan Megawati kepada publik di balik keengganan untuk
menetapkan capres PDIP sebelum pemilu legislatif.
Kemudian bila kelak wacana untuk menduetkan
Megawati dan Jokowi dalam pilpres 2014 benar terwujud, risiko politik apa
saja yang mungkin akan muncul? Bagaimana pula nasib karier politik Jokowi
di masa depan? Di dunia politik, setiap keputusan yang diambil tentu bukan
tanpa risiko sama sekali. Demikian pula dengan keputusan PDIP bila benar
akan menduetkan Megawati dan Jokowi dalam pilpres mendatang.
Ada sejumlah risiko politik yang sangat
mungkin akan muncul apabila Megawati dan Jokowi ditandemkan sebagai
capres-cawapres. Pertama, kemungkinan duet Megawati-Jokowi kurang diminati
pemilih. Benar bahwa Jokowi merupakan tokoh dengan tingkat popularitas dan
elektabilitas tertinggi di antara tokoh-tokoh lain. Tapi, patut diingat
bahwa tingkat popularitas dan elektabilitas yang tinggi itu terjadi dalam
konteks penempatan Jokowi sebagai capres, bukan cawapres. Karena itu,
menempatkan Jokowi sebagai cawapres pendamping Megawati menjadi perjudian
politik terbesar bagi PDIP.
Dengan menempatkan Jokowi sebagai cawapres,
PDIP memandang remeh keinginan sebagian besar calon pemilih agar Jokowi
tampil sebagai capres dalam pilpres mendatang sebagaimana terekam melalui
hasil-hasil survei.
Kedua, apabila duet itu terpilih sebagai
presiden dan wakil presiden periode 2014-2019, bukan tidak mungkin bintang
politik Jokowi setelah Pemilu 2014 tidak akan lagi bersinar terang
sebagaimana saat ini. Alih-alih semakin bersinar, bintang politik Jokowi
justru berpotensi meredup secara perlahan. Mengapa?
Mengingat tampil sebagai wapres, di mana
komando pemerintahan berada di tangan Megawati, apabila pemerintahan kelak
tidak berjalan dengan baik atau membawa perubahan signifikan bagi perbaikan
kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak pelak lagi Jokowi akan turut
terkena getah. Lebih jauh, hal itu membawa konsekuensi berupa kehilangan
kesempatan untuk tampil sebagai capres dengan tingkat popularitas dan
elektabilitas tinggi dalam pilpres 2019.
Karena itu, dengan mencermati berbagai hasil
survei dan kondisi politik saat ini, di mana sebagian besar publik sangat
menginginkan Jokowi tampil sebagai capres dalam kontestasi pilpres 2014,
alangkah bijak bila Megawati selaku ketua umum bersikap legowo memberikan
tiket kontestasi capres kepada mantan Wali Kota Solo tersebut, meski bukan
berasal dari trah Sukarno.
Di samping itu, kelapangan hati Megawati
untuk memberikan jalan kepada Jokowi akan dicatat sejarah dengan tinta emas
sebagai bagian dari usaha regenerasi kepemimpinan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar