SURPLUS beras, gula, buah-buahan,
kedelai, dan sapi potong meneguhkan posisi Jawa Timur sebagai provinsi
paling terjamin ketahanan pangannya. Ketangguhan itu menjadi benteng bagi
Jatim, yang tertutup bagi produk pertanian impor.
Tanpa impor, kebutuhan akan
bahan pokok bisa dipenuhi produk lokal. Namun, realitasnya pasar domestik
justru direcoki dengan gula rafinasi serta buah-buahan dan daging sapi
impor. Ini terjadi karena peraturan tak diimbangi dengan pengawasan yang
superketat.
Pemerintah membuat aturan bahwa
Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, hanya sebagai tempat transit produk
impor, sebelum diangkut ke daerah lain. Minimnya pengawasan membuat pasar
lokal dibanjiri produk impor.
Seperti diungkap petani jeruk di
Kota Batu dan Malang, begitu jeruk impor dari China tiba dan disalurkan di
pasar lokal, harga jeruk lokal pun anjlok. Posisi buah lokal di pasar
swalayan akan dipinggirkan dan buah impor ada di garda paling depan.
Padahal, dari segi kualitas, baik rasa, warna, maupun kesegaran, buah lokal
lebih unggul dan penggunaan pestisida tidak terlalu banyak.
Petani tebu juga kedodoran jika
gula rafinasi digelontor ke swalayan. Padahal, gula lokal setiap tahun
mengalami kelebihan produksi 300.000 ton. Produksi gula pada musim giling
tahun 2012 masih di gudang pedagang karena tak terserap pasar. Gula
rafinasi merambah ke pasar konsumsi, terutama melalui swalayan dan pasar
modern. Padahal gula rafinasi hanya untuk kebutuhan industri.
Menurut Ketua Asosiasi Petani
Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil, kebijakan impor tak hanya membonsai
petani, tetapi juga membunuh secara perlahan. Ketergantungan akan impor
dipertebal dengan memberi kelonggaran bagi importir.
Padahal, surplus berbagai
komoditas andalan Jatim tetap ada meski sudah berkontribusi terhadap
pemenuhan berbagai kebutuhan masyarakat secara nasional. Potensi yang
begitu besar itu menjadi salah satu alasan Pemerintah Provinsi Jatim
menutup rapat masuknya produk impor, terutama hortikultura. Kebijakan itu
harus dipertahankan pada tahun depan.
Arum Sabil mengatakan, petani
kini semakin putus asa karena hasil panen makin tak ada nilainya, sementara
biaya produksi makin melambung sehingga margin menipis. Sektor pertanian
digerogoti industrialisasi sehingga lahan pertanian menyusut, diperparah
dengan gempuran produk impor.
Memang, kata Kepala Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jatim Budi Setiawan, kebijakan untuk
menyelamatkan petani terus dilakukan. Salah satunya dengan menggarap
potensi pasar domestik melalui Kantor Perwakilan Dagang (KPD) di sejumlah
wilayah Indonesia. Hingga kini, sudah 15 KPD yang dibuka, terutama di
Indonesia timur. Cara ini juga untuk mengamankan produksi petani ketika
perekonomian global lesu.
Hal ini menolong hasil
pertanian, karena menurut Budi, nilai distribusi perdagangan ekspor
antarprovinsi pada 2012 mencapai Rp 301,48 triliun. Nilai distribusi impor
antarprovinsi Rp 238,63 triliun. Jatim surplus Rp 62,85 triliun di bidang
perdagangan antarprovinsi. Jatim masih sebagai pusat perekonomian Indonesia
bagian timur.
Tahan segala cuaca
Potensi sektor pertanian Jatim
tecermin dari kondisi di Malang dan sekitarnya, meski sepanjang 2013
tanaman tidak terlepas dari gempuran cuaca ekstrem dan fluktuasi harga.
Terkait cuaca, apa yang terjadi selama tahun ini memang tidak mulus.
Hujan yang masih turun sampai pertengahan
tahun berpengaruh terhadap sejumlah komoditas pertanian, termasuk di
dalamnya buah-buahan dan sayuran. Kreativitas petani diuji untuk mencari
solusi agar tanaman tak rusak dan bisa panen.
Selain gabah, komoditas utama
Jatim adalah apel, stroberi, sayuran, dan bunga hias. Namun, produksi
komoditas unggulan itu tahun ini terganggu cuaca dan hama pula. Bunga mudah
gugur dan sayuran cepat busuk.
Memang kondisi ini tidak
berlangsung lama karena memasuki Agustus cuaca normal seperti musim kemarau
pada umumnya dengan curah hujan rendah. Hampir semua tanaman bisa tumbuh
dan berproduksi dengan baik, termasuk hortikultura, sehingga produksi pun
melimpah.
Kendati melimpah, produksi itu
berbanding terbalik dengan harga jual hasil panen, kecuali padi yang
harganya naik di akhir musim panen (Oktober). Harga sejumlah sayuran turun,
sampai Rp 500 per kilogram (kg).
Untuk padi, harga jual naik dari
Rp 420.000 per kuintal (100 kg) gabah kering giling (GKG) pada Agustus jadi
Rp 450.000 per kuintal pada Oktober 2013. Petani mengaku kondisi tanaman
padi relatif bagus lantaran sebagian besar mengandalkan irigasi.
Kendati cuaca ekstrem, produksi
gabah di Jatim tidak mengalami penurunan. Target produksi GKG sebanyak 12,5
juta ton tahun 2013 bisa tercapai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar