Kamis, 19 Desember 2013

Impor Bisa Goyahkan Ketahanan Pangan

Impor Bisa Goyahkan Ketahanan Pangan
Defrie Werdiono dan Agnes Swetta Pandia  ;    Wartawan Kompas
KOMPAS,  19 Desember 2013
  


SURPLUS beras, gula, buah-buahan, kedelai, dan sapi potong meneguhkan posisi Jawa Timur sebagai provinsi paling terjamin ketahanan pangannya. Ketangguhan itu menjadi benteng bagi Jatim, yang tertutup bagi produk pertanian impor.

Tanpa impor, kebutuhan akan bahan pokok bisa dipenuhi produk lokal. Namun, realitasnya pasar domestik justru direcoki dengan gula rafinasi serta buah-buahan dan daging sapi impor. Ini terjadi karena peraturan tak diimbangi dengan pengawasan yang superketat.

Pemerintah membuat aturan bahwa Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, hanya sebagai tempat transit produk impor, sebelum diangkut ke daerah lain. Minimnya pengawasan membuat pasar lokal dibanjiri produk impor.

Seperti diungkap petani jeruk di Kota Batu dan Malang, begitu jeruk impor dari China tiba dan disalurkan di pasar lokal, harga jeruk lokal pun anjlok. Posisi buah lokal di pasar swalayan akan dipinggirkan dan buah impor ada di garda paling depan. Padahal, dari segi kualitas, baik rasa, warna, maupun kesegaran, buah lokal lebih unggul dan penggunaan pestisida tidak terlalu banyak.

Petani tebu juga kedodoran jika gula rafinasi digelontor ke swalayan. Padahal, gula lokal setiap tahun mengalami kelebihan produksi 300.000 ton. Produksi gula pada musim giling tahun 2012 masih di gudang pedagang karena tak terserap pasar. Gula rafinasi merambah ke pasar konsumsi, terutama melalui swalayan dan pasar modern. Padahal gula rafinasi hanya untuk kebutuhan industri.

Menurut Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil, kebijakan impor tak hanya membonsai petani, tetapi juga membunuh secara perlahan. Ketergantungan akan impor dipertebal dengan memberi kelonggaran bagi importir.

Padahal, surplus berbagai komoditas andalan Jatim tetap ada meski sudah berkontribusi terhadap pemenuhan berbagai kebutuhan masyarakat secara nasional. Potensi yang begitu besar itu menjadi salah satu alasan Pemerintah Provinsi Jatim menutup rapat masuknya produk impor, terutama hortikultura. Kebijakan itu harus dipertahankan pada tahun depan.

Arum Sabil mengatakan, petani kini semakin putus asa karena hasil panen makin tak ada nilainya, sementara biaya produksi makin melambung sehingga margin menipis. Sektor pertanian digerogoti industrialisasi sehingga lahan pertanian menyusut, diperparah dengan gempuran produk impor.

Memang, kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jatim Budi Setiawan, kebijakan untuk menyelamatkan petani terus dilakukan. Salah satunya dengan menggarap potensi pasar domestik melalui Kantor Perwakilan Dagang (KPD) di sejumlah wilayah Indonesia. Hingga kini, sudah 15 KPD yang dibuka, terutama di Indonesia timur. Cara ini juga untuk mengamankan produksi petani ketika perekonomian global lesu.

Hal ini menolong hasil pertanian, karena menurut Budi, nilai distribusi perdagangan ekspor antarprovinsi pada 2012 mencapai Rp 301,48 triliun. Nilai distribusi impor antarprovinsi Rp 238,63 triliun. Jatim surplus Rp 62,85 triliun di bidang perdagangan antarprovinsi. Jatim masih sebagai pusat perekonomian Indonesia bagian timur.

Tahan segala cuaca

Potensi sektor pertanian Jatim tecermin dari kondisi di Malang dan sekitarnya, meski sepanjang 2013 tanaman tidak terlepas dari gempuran cuaca ekstrem dan fluktuasi harga. Terkait cuaca, apa yang terjadi selama tahun ini memang tidak mulus.

Hujan yang masih turun sampai pertengahan tahun berpengaruh terhadap sejumlah komoditas pertanian, termasuk di dalamnya buah-buahan dan sayuran. Kreativitas petani diuji untuk mencari solusi agar tanaman tak rusak dan bisa panen.

Selain gabah, komoditas utama Jatim adalah apel, stroberi, sayuran, dan bunga hias. Namun, produksi komoditas unggulan itu tahun ini terganggu cuaca dan hama pula. Bunga mudah gugur dan sayuran cepat busuk.

Memang kondisi ini tidak berlangsung lama karena memasuki Agustus cuaca normal seperti musim kemarau pada umumnya dengan curah hujan rendah. Hampir semua tanaman bisa tumbuh dan berproduksi dengan baik, termasuk hortikultura, sehingga produksi pun melimpah.

Kendati melimpah, produksi itu berbanding terbalik dengan harga jual hasil panen, kecuali padi yang harganya naik di akhir musim panen (Oktober). Harga sejumlah sayuran turun, sampai Rp 500 per kilogram (kg).

Untuk padi, harga jual naik dari Rp 420.000 per kuintal (100 kg) gabah kering giling (GKG) pada Agustus jadi Rp 450.000 per kuintal pada Oktober 2013. Petani mengaku kondisi tanaman padi relatif bagus lantaran sebagian besar mengandalkan irigasi.

Kendati cuaca ekstrem, produksi gabah di Jatim tidak mengalami penurunan. Target produksi GKG sebanyak 12,5 juta ton tahun 2013 bisa tercapai.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar